"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana dibalik pekerjaan
Pagi di Bali selalu punya caranya sendiri untuk membangunkan orang. Cahaya matahari menembus tirai tipis apartemen Zhavira, membawa aroma laut yang samar terbawa angin. Dari dapur kecil, terdengar bunyi pelan roti yang keluar dari toaster.
Zhavira berdiri di meja dapur, rambutnya masih sedikit berantakan. Dia menuang kopi ke dua cangkir, sementara Makes duduk di kursi bar, kemejanya sudah rapi tapi kancing bagian atas masih terbuka.
“Kopi kamu hitam, kan?” tanya Zhavira, memberikan cangkir.
Makes menerimanya sambil tersenyum tipis. “Masih inget aja.”
“Ya ingetlah. Tiap pagi kamu minum kayak mau begadang tiga hari,” goda Zhavira.
Mereka sarapan sambil sesekali melihat keluar jendela. Dari lantai 15 apartemen, garis pantai terlihat jelas, pasir putih berkilau di bawah sinar matahari.
“Kita berangkat bareng?” tanya Makes sambil mengaduk kopinya.
“Ya, sekalian. Biar sekalian ngecek progress sebelum meeting,” jawab Zhavira.
Makes menatapnya serius, lalu berkata pelan, “Zha… begitu proyek Wilson Resort ini selesai, aku mau kita langsung balik ke Jakarta. Dan… kita umumkan rencana pernikahan kita.”
Zhavira menatapnya, bibirnya setengah terbuka. “Kamu serius?”
“Banget. Aku nggak mau nunggu lebih lama.”
Dia hanya bisa menelan ludah. Sejujurnya, hatinya berdegup kencang membayangkan semua itu.
**
Kantor proyek terletak tak jauh dari lokasi pembangunan, sebuah bangunan semi-modern dengan dinding kaca menghadap laut. Begitu mobil mereka berhenti, beberapa staf sudah terlihat menunggu.
“Pagi, Pak Makes, Mbak Zhavira,” sapa Andi, salah satu site engineer.
“Pagi,” jawab mereka bersamaan.
Begitu masuk, suasana langsung terasa sibuk. Laporan teknis berserakan di meja, blueprint menutupi papan besar di ruang briefing. Tim proyek berkumpul untuk rapat pagi.
“Baik, kita mulai,” kata Makes sambil berdiri di depan. “Struktur utama sudah 80% selesai. Minggu depan kita masuk tahap finishing awal untuk area villa A dan B. Mbak Zhavira, update soal pengiriman marmer dari Italia?”
“Sudah di pelabuhan Benoa, hari ini mulai bongkar. Kalau cuaca mendukung, besok sudah bisa dibawa ke site,” jawab Zhavira cepat.
Dari belakang, Tika—admin proyek—membisikkan sesuatu ke rekannya sambil melirik ke arah mereka.
“Eh, mereka makin keliatan kayak pasangan.”
“Udah dari dulu, cuma pura-pura nggak ada apa-apa.”
**
Istirahat Siang
Di kantin proyek yang menghadap laut, Zhavira duduk bersama Sinta—rekan dekatnya. Mereka makan nasi campur sambil membicarakan deadline.
“Tapi, Zha… jujur aja, kamu sama Pak Makes tuh… gimana?” tanya Sinta setengah berbisik.
Zhavira pura-pura sibuk memindahkan sambal. “Profesional.”
“Profesional tapi tiap pagi datang bareng? Nginep di apartemen yang sama? Ayolah…” Sinta menatapnya penuh tanya.
Zhavira hanya tersenyum tipis. “Tunggu aja waktunya, Sin.”
Sementara itu, di meja sebelah, Makes makan sambil mendengar obrolan Andi dan Raka.
“Pak, kalau proyek ini selesai sesuai jadwal, kita bisa rekor tercepat di Bali.”
“Betul. Makanya kita harus jaga ritme,” jawab Makes. “Oh, dan nanti di Jakarta, aku bakal punya pengumuman besar.”
“Pengumuman apa tuh, Pak?” tanya Raka penasaran.
Makes hanya tersenyum, matanya sekilas melirik ke arah Zhavira. “Rahasia dulu.”
**
Sore di Lokasi Proyek
Mereka berjalan berdua menyusuri site. Suara mesin dan palu bercampur dengan deru ombak di kejauhan. Makes menunjuk ke arah villa yang hampir selesai.
“Bayangin, Zhq… setelah ini jadi, kita bisa liburan di sini, cuma kita berdua.”
Zhavira menatapnya sambil tersenyum kecil. “Tapi jangan lupa, ini resort komersial. Nggak bisa seenaknya.”
“Kalau pemiliknya mau, bisa aja,” jawab Makes santai.
Beberapa pekerja melirik mereka sambil tersenyum. Salah satu mandor, Pak Budi, bahkan sempat bersuara, “Wah, ini pasangan power couple proyek, nih.”
Zhavira menutup wajah dengan map sambil tertawa malu, sementara Makes hanya tersenyum puas.
**
Perjalanan Pulang
Mobil melaju di jalan pinggir pantai, cahaya oranye senja memantul di kaca.
“Makes, soal yang kamu bilang pagi tadi… kamu yakin?”
“Aku yakin banget, Zha. Begitu semua ini selesai, kita pulang ke Jakarta, umumkan rencana nikah kita. Aku mau semua orang tahu, nggak ada lagi yang nganggep kamu cuma rekan kerja.”
“Tapi… apa nggak terlalu cepat?”
“Kita udah nunggu hampir setahun, Zha. Aku nggak mau nunda lagi.”
Zhavira terdiam, matanya menerawang melihat laut. Dalam hatinya, ia tahu jawaban yang sebenarnya.
**
Malam di Apartemen
Setelah makan malam sederhana, mereka duduk di balkon, lampu kota Denpasar berkelip di kejauhan. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan.
“Kamu tau nggak, Zha?” kata Makes pelan. “Dulu aku nggak pernah mikir soal nikah. Tapi ketemu kamu, semua berubah.”
Zhavira tersenyum. “Kamu ngomong kayak drama Korea. Atau karna kamu imp” Zhavira tidak melanjutkan ucapannya.
“Jadi kamu masih belum percaya sama aku?"
Zhavira menggeleng pelan.
"Biarin. Kalau ujungnya kita bahagia, nggak masalah kan?”
Mereka duduk lama, hanya berbicara pelan sambil memandangi ombak.
Udara di balkon mulai terasa dingin, angin laut makin kencang. Zhavira memeluk dirinya sendiri, lalu berdiri.
“Masuk yuk, udah dingin. Nanti kamu masuk angin, susah juga kalau bos proyek sakit,” ujarnya sambil melangkah ke dalam.
Makes mengikutinya. Begitu pintu balkon tertutup, suasana apartemen kembali hangat. Lampu temaram dari sisi ranjang menciptakan cahaya lembut yang memantul di dinding.
Zhavira masuk ke kamar, mengambil kaus longgar dan celana pendek dari lemari. Dia menuju kamar mandi, lalu keluar beberapa menit kemudian dengan wajah segar, rambut basah separuh kering. Makes sudah berganti pakaian juga, hanya mengenakan kaus hitam dan celana santai.
Mereka berdua naik ke tempat tidur. Tidak langsung berbaring, hanya duduk bersandar di headboard.
“Makes…” Zhavira memecah hening.
“Hm?”
“Kamu beneran nggak nyangka bakal kerja bareng aku di Bali?”
Makes tersenyum kecil. “Jujur? Aku sengaja bikin kamu dapet project ini.”
Zhavira menatapnya tajam. “Kamu—serius?”
“Iya. Aku mau kita punya waktu bareng di luar Jakarta, jauh dari gangguan. Dan ternyata, aku nggak salah. Lihat kita sekarang.”
Zhavira mendengus sambil tersenyum. “Kamu licik.”
“Strategis,” koreksi Makes sambil terkekeh.
Hening sebentar. Mereka hanya mendengar suara AC dan sesekali deru kendaraan jauh di jalan bawah.
“Kamu inget nggak,” lanjut Makes, “malam pertama kita ketemu di ruang meeting Wilson Group, kamu bawa presentasi yang kebalik?”
Zhavira tertawa lepas. “Astaga, jangan diinget-inget! Itu gara-gara aku gugup ketemu CEO muda yang katanya killer.”
“Ternyata?”
“Ternyata CEO-nya nggak se-killer gosipnya… tapi bikin deg-degan dengan cara lain.”
Makes menoleh, menatapnya lama. “Zha, aku nggak tau hidup aku kayak gimana kalau waktu itu nggak ada meeting itu.”
Zhavira merasakan dadanya menghangat. “Kamu mulai lagi…”
“Aku serius. Semua perjalanan kita, bahkan sampai di Bali ini… rasanya kayak potongan puzzle yang akhirnya nyambung.”
Dia menggenggam tangan Zhavira. “Aku nggak mau puzzle ini hilang lagi.”
Zhavira balas menggenggam, menunduk sedikit. “Aku juga.”
Mereka akhirnya berbaring, posisi miring saling berhadapan. Makes mengusap lembut punggung tangan Zhavira.
“Begitu proyek ini selesai, kita balik ke Jakarta… dan aku mau kamu jadi tunanganku secara resmi.”
Zhavira menatapnya, kali ini tanpa senyum—hanya mata yang berbicara. “Jangan janji kalau kamu nggak bisa tepati.”
“Aku nggak pernah janji yang nggak bisa aku tepati, Zha.”
Hening kembali, tapi kali ini nyaman. Makes menarik selimut, membungkus mereka berdua.
“Tidur ya. Besok kita kerja lagi,” katanya pelan.
Zhavira menutup mata. “Iya…”
Tak lama, suara napas mereka mulai selaras, larut dalam keheningan malam Bali.