NovelToon NovelToon
SETIAP HUJAN TURUN, AKAN ADA YANG MATI

SETIAP HUJAN TURUN, AKAN ADA YANG MATI

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Hantu
Popularitas:571
Nilai: 5
Nama Author: Dranyyx

Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.

Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri


Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?

Ia pintar dalam hal .....


Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 : Wanita misterius

Riski tak melihat siapa pun di sana. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sesekali ia memainkan ponselnya.

"Katanya ada kejadian mana...... Na.. na.. Na..." Riski berteriak ke arah laut, memecah keheningan malam.

"Huhh.. Seharusnya tadi aku pulang saja. Tempat apa ini!!" Sesekali Riski menghentak kakinya ke jalan.

Malam kian larut. Kabut malam mulai menyelimuti sekitar jembatan itu. Hanya suara burung gagak yang terdengar. Selebihnya sunyi dan mencekam.

Riski lanjut berkeliling sekitar. Matanya menatap tajam ke seluruh arah. Ia mulai mendengar suara anak kecil yang menangis.

Tak.. Tak. Tak.

"Hihi..." Sesekali juga seperti suara tapak kaki anak kecil berlarian.

Punggungnya bergidik merinding. Di sudut matanya, ia mulai melihat bayangan yang samar. Seketika hilang.

Tiba-tiba ia merasa ada yang berjalan melewati tubuhnya. Aroma anyir darah yang pekat—dan bau bangkai langsung menyelimuti sekitar Riski.

Ia pun muntah sejadi-jadinya. Matanya berkunang-kunang—matanya menjadi kabur sekejap...

Pummm...!! Pumm....!!

Dari kejauhan terdengar bunyi klakson mobil truk yang terus melaju dengan kencang, memecahkan keheningan malam. Cahaya lampu mobil menerobos pekatnya kabut malam, bak kereta yang melaju tanpa henti di rel kereta tak berujung.

Riski yang belum siap sepenuhnya pun kaget. Saat ia mengangkat kepalanya, moBil truk yang melaju kencang itu sudah sangat dekat...!!!!!

Seketika, pandangannya terfokus ke arah suara itu. Suara dalam kepalanya berteriak, "Apa ini? Apakah ini akhir dari semua ini? Aku akan mati?"

"Tidak, Riski. Kau harus bisa. Ini bukan pertama kalinya kematian menghampiri dirimu."

Ia pun refleks menghindar saat mobil itu hampir menyambar tubuhnya. Otot memori masih menyimpan trauma itu dengan jelas. Refleks itu telah terbentuk sejak lama—bukan pertama kalinya lagi. Ia pernah melompat dari balkon, menghindari pecahan kaca, bahkan bertarung dengan preman di jalanan. Refleks yang ditempa dengan rasa sakit, dan hanya waktu yang bisa menjelaskannya.

Riski pun terhempas di samping jalan.

"Wtf. Sakitnya. Kenapa bisa ada mobil tiba-tiba? Atau aku yang tidak perhatikan?" Ia bergumam. Napasnya naik turun tak beraturan. Keringat dingin membasahi baju dalamnya. Wajahnya pucat pasi. Dahinya mengerut—diiringi keringat yang jatuh dari pelipisnya. Ia bangkit dan berjalan menjauh dalam tertatih menuju pinggir jalan. Ia bersandar di palang jembatan yang sedikit berkarat dengan cat yang terkelupas. Seketika ia terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang, saat kematian jelas terlihat di depan matanya. Nasib masih berpihak kepadanya.

Tangannya gemetaran kencang. Pakaiannya ia bersihkan dari debu jalanan yang menempel. Wajahnya sedikit tergores, tapi bukan luka yang berarti. Celana jeans panjangnya robek ketika ia berguling di atas aspal.

Ia pernah merasakan sakit yang lebih dari itu. Ia pernah melawan sendiri kematian itu.

Riski mencari tiang lampu neon. Ketika menemukannya, ia lalu bersandar dengan pelan. Ia menarik sebatang rokok dari bungkusnya yang tersimpan di saku celana. Suasana yang mencekam tak membuat rasa penasarannya surut. Ckk... ckk... Lampu neon dari tiang menyinarinya.

Pemantik rokok di malam itu bak musik indah pemusik jazz. Pelan tapi pasti.

Tangannya gemetaran ketika mencoba memantik korek itu.

"Shit... Tenanglah tangan." Sesekali pandangannya kabur tiba-tiba.

Ketika ia sudah sedikit tenang, ia pun membakar rokok itu.

Dihembuskannya asap rokok itu dengan halus. Asap rokok berterbangan pelan di bawah sinar lampu—bak air terjun yang naik dari bawah. Kemudian ia menarik napas dalam-dalam lagi.

"Hmm, haha... Hampir mati. Ini semakin menarik. Semakin seru... Ah... Adrenalin ini nikmat sekali." Ia tersenyum tipis, seraya tertawa terbahak-bahak.

Matanya masih awas. Semakin fokus. Ia melirik ke segala arah, bak elang yang mencoba memangsa anak ayam di padang rumput luas.

Tenangnya terusik kembali saat ia mendengar lagi suara. Suara itu jernih. Tapi ia masih belum bisa mengerti arti dari ucapan suara itu.

"Mana... mana... tunjukkan sosokmu, hantu..." Ia terdiam sejenak. "Hantu... apakah ada petunjuk? Ada keanehan sekitar sini." Matanya bergerak liar di dalam rongga matanya. Napasnya memburu. Suasana dingin malam hari tak terasa. Hangatlah yang menyelimuti sekujur tubuhnya.

Ia mencium lagi aroma darah yang menyengat. Aroma yang mempunyai sumber yang pasti. Hening seketika... Angin malam makin kuat berhembus. Beberapa daun kering yang terbawa angin jatuh, sesekali melayang sedikit ketika diterpa angin.

Ia waspada...!!

"Loncat...!!!"

Terdengar suara seperti di depan telinga. Sangat jelas. Suara seperti suara perempuan, tapi suara itu sedikit serak. Udara di sekitar semakin berat terasa.

"Hah? Suara apa itu?" Ia mencoba mencari sumber suara itu. Ditatapnya sekeliling. Napasnya diatur pelan. Seolah ia akan menghadapi sesuatu yang lebih buruk dari kematian.

"LON... CAT...!!"

"Suara itu...!"

Tiba-tiba, matanya tertuju ke sesuatu yang aneh. Ia melihat tulisan dari darah segar terpajang jelas di papan tanda larangan berhenti: "Loncat..." Ia mendekat perlahan. Tapi angin yang bercampur sedikit debu berhembus. Matanya kelilipan. Langsung, tanpa sadar, ia mengucek matanya. Ketika ia membuka matanya lagi, tulisan itu telah menghilang.

Tak sampai di situ, ia kemudian melihat motor dari ujung jalan.

"Hah, apa itu?"

Motor itu berhenti tiba-tiba. Tak lama kemudian, motor itu memainkan gas...

"Hei, boy... apalagi ini? Tadi truk. Sekarang apa? Motor yang mau tabrak?" Riski berlari menjauh dari tempatnya. Tapi entah apa sebabnya, ia tiba-tiba berhenti.

"Lari? Tidak akan. Majulah, motor. Kematian ketiga... Come onnn...!!!" Riski berteriak.

Motor itu melaju dengan kencang—perkiraan kasarnya 50 km/jam.

Ketika jarak motor itu tinggal kurang lebih 30 meter dari Riski, dan saat pengendaranya melaju dengan cepat, ia langsung berbelok menabrak pagar pembatas jembatan.

Riski yang melihat dari kejauhan pun kaget. Wajahnya yang haus akan adrenalin itu tiba-tiba pucat pasi. Di depan matanya ada orang yang dengan sengaja meloncat ke laut.

"WOOOOIIII..." Ia berlari sejadi-jadinya, bahkan lebih cepat dari orang yang dikejar setan. Tak berselang lama, ia berdiri di depan pagar yang rusak. Pagar itu bengkok dan hancur berantakan.

Seketika, Riski terdiam...!!

Ia mencari-cari di mana korban berada.

"Woiiii, bersuaralah jika kamu masih hidup...!!!"

"Woii...."

Tak ada jawaban dari dalam air itu. Hanya terlihat air yang bergelombang dengan kencang, diiringi suara deburan ombak.

"Woiii, bersuaralah.....!" Suara Riski menggema, memecah keheningan malam.

Suara motor lain terdengar dari kejauhan. Suara itu semakin dekat. Tapi Riski seperti tak menyadari hal itu.

Ia sebenarnya ingin meninggalkan tempat itu. Tapi ia merasa orang itu mungkin masih hidup atau bisa ditolong. Terlalu naif, tapi rasa penasaran itu meracuninya.

Saat ia berdiri, ia merasakan seperti ada tangan yang menyentuh pundaknya. Sentuhan halus. Seperti lentiknya jari-jemari wanita. Aroma bunga melati tercium. Halus dan lembut wangi itu. Ia tak sempat menoleh.

Ia pun tak sadar, badannya seperti tertarik untuk loncat...

Sentuhan itu makin padat. Saat ia ingin berbalik, tubuhnya malah bergerak maju.

"Sadar, Riski...!! Sadar!"

Ia sempat meraih pagar pembatas, namun salah satu kakinya tergelincir ke sisi luar. Celananya robek tersangkut besi, dan betisnya tergores keras oleh tepian tajam. Darah mulai merembes.

Deru motor itu semakin dekat. Dari arah kabut, terlihat seorang wanita yang mengendarai motor. Dari jarak sekitar sepuluh meter, wanita itu melihat Riski yang sedang kesulitan. Ia pun segera berhenti dan menarik lengan baju Riski.

Riski pun menepi dan menjauh dari pagar.

Ia duduk tertunduk di jalanan dengan napas yang memburu. Ia merasakan kram hebat pada tangannya dan rasa perih yang luar biasa di kakinya. Tubuhnya terasa lelah sekali. Meski tidak sampai bergelantungan, jantungnya tetap berdegup kencang. Bagaimana tidak, ia hampir saja jatuh dari ketinggian.

Wanita asing itu memberikan air minum kepada Riski.

Wangi parfumnya tipis, sejenak membuat nyaman. Tangannya yang putih dan mulus tersingkap dari lengan bajunya yang tak terkancing saat menyodorkan botol air.

"Kau gila? Hampir saja jatuh barusan... Kau pikir hidupmu cuma mainan, hah?"

"Kalau kau butuh bantuan... ada cara lain."

Tatapannya mengabur. Wanita itu masih menatapnya diam. Dan saat detik jam menunjukkan pukul Dua... dunia gelap lagi bagi Riski.

"Heii, jawab!" Wanita itu memanggil Riski.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!