NovelToon NovelToon
Beauty To Crystal

Beauty To Crystal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Reenie

Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.

Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.

Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32. CroixWijaya

Setelah resmi menyandang gelar dokter, Elvareon Delacroix tak membuang waktu. Meski bekerja di salah satu rumah sakit swasta ternama di kotanya, ada satu impian yang terus ia genggam erat yaitu membuka klinik sendiri, klinik yang bisa diakses siapa pun, tanpa harus khawatir soal biaya.

Malam itu, di sebuah ruang rapat kecil di rumah Arvin, mereka berdua duduk berhadapan dengan setumpuk berkas.

“Aku udah hitung, Elv. Modal awalnya berat, tapi keluarga ku bisa cover sebagian. Sisanya kita cicil bareng hasil dari rumah sakit.” Arvin menunjuk proposal di depannya.

Elvareon menatap Arvin penuh terima kasih. “Aku gak tahu harus gimana kalau kau gak ada, Vin. Dari dulu sampai sekarang, kau selalu ada buat ku.”

Arvin tertawa kecil. “Ya iyalah. Aku bosen kalo kau gak ada buat ku debat di IGD. Lagian, ini mimpi mu, Elv. Aku pengen liat kau wujudin itu.”

Setelah berbulan-bulan menyusun rencana, akhirnya lokasi klinik yang diidamkan ditemukan. Sebuah ruko dua lantai di kawasan pemukiman, strategis namun tetap terasa akrab bagi masyarakat sekitar.

Nama kliniknya pun sudah disepakati: “Croixwijaya Medical Center” — gabungan dari nama marga Delacroix dan Wijaya. Bagi mereka, ini bukan sekadar klinik, tapi simbol perjuangan dua sahabat yang memulai dari bawah.

Hari pembukaan klinik tiba. Meskipun acara berlangsung sederhana, namun aura haru tak dapat disembunyikan.

Orang tua Elvareon hadir, duduk di deretan kursi depan dengan mata berkaca-kaca. Melihat putra mereka, yang dulu berangkat sekolah dengan sepeda tua, kini berdiri gagah dengan jas dokter dan senyum penuh keyakinan.

“Ibu, Ayah, ini bukan hanya klinik milikku. Ini rumah bagi siapa saja yang butuh pertolongan,” ujar Elvareon saat memberikan pidato singkatnya.

Di sudut lain, Arvin sibuk mengatur teknis dengan para staf baru mereka. Ia memeriksa ulang alat medis, memastikan semuanya siap.

Brianna dan Kaivan pun hadir, meski mereka kini sibuk di klinik tempat mereka bekerja. “Aku bakal nyusul ke sini suatu hari nanti, Elv. Kalo kau udah siap nahan keluhan pasien cerewet,” gurau Kaivan sambil menepuk bahu Elvareon.

Achazia sendiri tidak bisa hadir hari itu. Ia sedang menghadiri event make-up bersama Ciara di kota sebelah. Namun, di hari sebelumnya, ia sempat mengirimkan sebuah bingkisan.

Isinya adalah sebuah nameplate dengan ukiran sederhana:

“dr. Elvareon Delacroix — Founder & Chief Doctor, Croixwijaya Medical Center”

Diselipkan di dalamnya, sebuah catatan kecil berisi tulisan tangan Achazia:

"Semoga klinik ini menjadi rumah untuk harapan banyak orang, seperti kamu adalah harapan bagi hidupku.”

Elvareon menerima bingkisan itu dan tersenyum. Dia memajang itu dimeja kerjanya. Arvin menyenggol siku Elvareon

"Ciee dapat bingkisan dari cewek tuh"

Elvareon menahan wajah merahnya dan hanya mengangguk.

Meski kini Elvareon memiliki klinik, ia tetap memegang tanggung jawabnya sebagai dokter umum di rumah sakit swasta ternama. Rutinitasnya menjadi lebih padat. Pagi di klinik, sore hingga malam di rumah sakit. Namun, Elvareon tak pernah mengeluh.

Terkadang dia bergantian menjaga klinik dengan Arvin. Saat Elvareon bekerja sift sore hingga malam. Arvin menjaga klinik mereka setelah dia menyelesaikan sift pagi-siang di rumah sakit swasta juga tempat ia bekerja.

Mereka berdua bekerja dirumah sakit swasta berbeda.

Di sela-sela kesibukannya, ia sering berbagi cerita dengan Arvin tentang tantangan membangun kepercayaan pasien.

“Kau tau gak, Vin, hari ini ada ibu-ibu yang datang cuma karena dia suka cara ku senyum,” cerita Elvareon sambil tertawa lelah.

Arvin membalas dengan tawa serak. “Bagus lah. Minimal kau dapet nilai plus dari hal sesimpel itu. Pasien itu butuh rasa nyaman, bukan sekadar diagnosis dingin.”

Mereka tahu, membangun klinik dari nol bukan hal mudah. Tapi bagi Elvareon dan Arvin, setiap pasien yang mereka bantu adalah langkah menuju mimpi besar mereka: pelayanan kesehatan yang adil.

Malam itu, Achazia duduk di ruang tamunya yang telah disulap menjadi mini studio make-up. Ia baru saja selesai merias seorang klien saat ponselnya berdering.

“Zia, klinik Elvareon udah buka hari ini. Sayang banget kamu gak bisa datang,” suara Brianna terdengar di seberang.

Achazia tersenyum kecil. “Iya, aku titip hadiah aja kemarin. Tapi aku seneng banget dengernya. Akhirnya dia sampai juga di titik itu.”

Brianna terdiam sebentar, lalu berkata, “Zia, kamu masih takut untuk datang langsung ya?”

Achazia menghela napas. “Bukan takut, Bri. Aku cuma gak mau kehadiranku jadi beban di tengah semua pencapaian dia. Dia berhak dapat sorotan tanpa embel-embel ‘putri Velmorin’ di sekitarnya.”

Brianna mengerti, meski di hatinya ia ingin Achazia berhenti menyiksa dirinya sendiri dengan jarak yang ia ciptakan.

Hari-hari berjalan cepat. Pasien di Croixwijaya Medical Center mulai meningkat. Dari yang awalnya hanya warga sekitar, kini klinik itu mulai dikenal di kalangan masyarakat luas karena prinsip Elvareon yang tetap memprioritaskan kemanusiaan dibanding uang.

Arvin sering bercanda, “Lama-lama kita harus buka cabang nih, Elv. Klinik kita udah kayak tempat nongkrong orang sekecamatan.”

Elvareon tertawa lelah. “Aku gak masalah buka cabang, asal kamu yang urus administratifnya.”

Di tengah kesibukan itu, Elvareon tidak pernah tahu bahwa Achazia sering melewati kliniknya diam-diam. Berdiri di seberang jalan, hanya untuk memastikan bahwa Elvareon baik-baik saja. Melihat klinik itu hidup, membuat hatinya tenang.

Namun, di dalam dirinya, ada keinginan besar untuk suatu hari bisa masuk ke dalam dan berkata, “Aku bangga sama kamu, El.”

Malam itu, setelah shift panjang di rumah sakit, Elvareon duduk di ruang dokter, memandangi foto kecil yang ia simpan di dompetnya. Foto Achazia, terselip di balik ID Card-nya.

“Zia, aku gak tahu kapan kamu bakal datang ke klinik ini. Tapi aku yakin, kamu selalu ada di setiap sudutnya.”

Sementara itu, di rumah Achazia, Ciara datang membawa kabar gembira.

“Zia! Ada undangan buat kamu dan aku dari event beauty expo. Kita diundang jadi pembicara. Kamu gak bisa nolak kali ini.”

"Iya? Kamu selalu semangat kalau kita diundang ya," ucapnya.

"Iya dong. Aku juga ingin kita naik lagi, gak stuck disitu-situ aja. Apa salahnya kita menjadi lebih baik lagi kan?"

"Ciara, kamu memang beda." Seketika Achazia memeluk Ciara sebagai tanda ucapan terima kasih.

Achazia tersenyum lelah, tapi ia tahu, Ciara benar. Dia tak sendiri. Banyak orang yang mendukungnya untuk lebih maju. Ia harus terus melangkah, meski bayangan Elvareon terus ada di hatinya.

"El, aku merindukanmu." ucapnya dalam hati.

Dan jauh di dalam dirinya, ia berharap, mungkin suatu hari nanti… jalannya dan jalan Elvareon akan kembali bersinggungan.

1
Nana Colen
ceritanya ringan tapi asiiik 🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!