⚠️Mature Content (Harap bijak memilih bacaan)
“Dia hanya bosku… sampai aku terbangun di pelukannya."
Aku mencintainya apapun yang mereka katakan, seburuk apapun masa lalunya. Bahkan saat dia mengatakan tidak menginginkan ku lagi, aku masih percaya bahwa dia mencintaiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Priska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Atas Udara yang menggoda
Amstel Core Group – Lantai 25
Pagi itu, suasana kantor terasa sibuk. Anna langsung masuk ke ruang kerja setelah dipanggil melalui interkom.
Di dalam, Jonathan berdiri di depan jendela besar, membelakangi pintu, mengenakan setelan abu gelap dan jam tangan mewah di pergelangan kirinya.
“Selamat pagi, Mr. Jonathan,” ucap Anna pelan.
“Pagi,” jawab pria itu tanpa menoleh.
Anna menyerahkan tablet dengan daftar jadwal dan catatan rapat yang telah disusun ulang.
“Semua agenda minggu ini sudah saya sesuaikan. Termasuk detail keberangkatan ke Berlin. Kita akan berangkat Minggu sore pukul tiga, menggunakan jet pribadi anda.”
Mr. Jonathan mengambil tablet itu tanpa komentar.
“Dokumen untuk pertemuan dengan investor Jerman akan saya pastikan selesai besok, Mr. Jonathan,” tambah Anna.
Pria itu mengangguk kecil.
“Baik. Dan setelah dari Berlin, siapkan juga keperluan untuk Zurich minggu depan. Kau ikut.”
Anna mencatat. “Siap, Mr. Jonathan.”
Tak ada yang berubah. Nada suaranya tetap datar. Ekspresinya tenang. Seolah tidak ada yang ganjil. Seolah malam-malam itu... tidak pernah terjadi.
Minggu Siang – Rumah Anna
Anna menuruni tangga dengan koper kecil di tangannya. Ibunya menyodorkan bekal kecil—roti isi dan air mineral.
“Kau pasti sibuk di sana,” kata Isabell.
“Ya, Ma. Dua hari penuh rapat,” jawab Anna sambil tersenyum.
Ayahnya berdiri di depan pintu, menunggu mobil jemputan datang.
“Berlin, ya?” tanyanya, menepuk bahu Anna.
Anna mengangguk. “Doakan semua lancar, Yah.”
“Selalu. Dan ingat, jangan sampai terlalu larut dalam dunia kerja sampai lupa siapa dirimu.”
Kata-kata itu menghantam lembut di dada Anna. Ia hanya menjawab dengan anggukan dan senyum tipis.
Bandara Schiphol – Jet Pribadi
Di dalam jet pribadi perusahaan, Jonathan duduk di sisi jendela, membaca dokumen dalam diam. Anna duduk di kursi seberang lorong, merapikan file presentasi yang akan digunakan esok hari.
Tak ada percakapan.
Pramugari menawarkan anggur, yang ditolak halus oleh Anna, namun diterima oleh Jonathan tanpa banyak bicara.
Setelah satu jam terbang, pria itu meletakkan dokumennya dan menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Matanya terpejam. Wajahnya tetap tenang.
Anna melirik sekilas. Lalu kembali menatap layar tabletnya.
Namun sore yang tenang di dalam kabin jet itu terasa terlalu hening...untuk dua orang asing yang telah menyaksikan terlalu banyak hal dalam beberapa hari ini.
Pesawat terus melaju menembus langit sore. Di luar, masih tampak cahaya sore dan cahaya matahri yang sebentar lagi akan meredup di gantikan dengan langit malam. Di dalam, kabin jet pribadi Amstel Core Group terasa seperti ruang isolasi kelas atas—senyap, mahal, dan sedikit mencekam.
Anna memeriksa ulang jadwal presentasi di Berlin. Tangannya sibuk, matanya tajam menatap layar tablet, tapi hatinya… gelisah.
Ia bisa merasakan tatapan dari seberang kursi.
“Kau selalu begitu tegang, Nona Anna,” ucap Jonathan tiba-tiba, suara rendahnya memecah keheningan.
Anna mengangkat wajah. “Saya hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar, Mr. Jonathan.”
Pria itu bersandar santai di kursinya, satu tangan menopang dagu. Matanya tajam namun mengandung nada bermain yang tidak biasa.
“Apakah aku terlihat seperti akan membunuhmu jika ada kesalahan kecil?” tanyanya, nada bicaranya pelan, seperti menggoda.
Anna sempat tersedak napas kecil sebelum menjawab, “Tentu tidak, Pak. Tapi Anda tipe yang... mengingat semuanya.”
“Benar.” Jonathan tersenyum sekilas, tatapannya turun ke layar tabletnya lagi.
“Termasuk siapa yang lupa menyisakan espresso hitamku minggu lalu.”
Anna memutar bola mata diam-diam, lalu kembali fokus ke catatannya.
“Tapi tidak apa,” lanjutJonathan, kali ini nadanya sedikit naik. “Kalau kau terlalu serius setiap waktu, wajah cantikmu bisa cepat keriput.”
Anna terdiam. Lalu buru-buru membenarkan duduknya.
“Terima kasih atas perhatiannya, Mr. Jonathan,” jawabnya formal, menahan ekspresi.
“Tenang saja. Aku tidak menggoda,” katanya cepat, lalu menoleh ke luar jendela.
“Atau mungkin sedikit... hanya karena kau terlalu lucu saat gugup.”
Anna hampir menjatuhkan beberapa bekas dari tangannya. Ia buru-buru merapikan tablet dan berpura-pura mencari file lain.
Jonathan tertawa pelan. Bukan tawa lepas, tapi cukup untuk membuat udara di dalam kabin terasa... lain.
“Kau selalu kaku seperti robot. Apa kau tidak pernah bersantai?”
Anna menahan napas lalu menjawab, “Saya rasa... pekerjaan saya tidak memberi ruang untuk santai.”
“Salah,” balas Jonathan cepat. “Kau bekerja untukku. Dan kadang, aku suka melihat stafku... kehilangan kontrol sedikit.”
Anna mendongak, memandang lurus padanya.
“Apakah itu instruksi resmi, Mr. Jonathan?”
Lelaki itu tertawa lagi. “Belum. Tapi bisa saja.”
Anna menggeleng pelan, setengah bingung, setengah ingin tertawa... tapi tidak bisa. Ia tahu batasannya. Ia tahu siapa pria itu.
Dan ia tahu, meski kata-katanya terdengar seperti rayuan, Mr. Jonathan tidak benar-benar bermaksud demikian.
Ia hanya... menikmati rasa kuasa atas segalanya. Termasuk atas kegugupan kecil di wajah asisten pribadinya.
Setengah jam kemudian, suara pilot terdengar di speaker internal, mengumumkan bahwa mereka akan segera mendarat di Berlin.
Mr. Jonathan mengenakan jasnya kembali. Anna membereskan tabletnya.
Saat mereka sama-sama berdiri, jarak mereka hanya beberapa sentimeter. Anna sempat menatap dada jas pria itu tanpa sengaja, lalu buru-buru mengalihkan pandangan.
“Tenang saja, Nona Anna,” gumam Jonathan. “Aku tidak menggigit.”
Anna menelan ludah.
“Noted, Mr. Jonathan.”