Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Nasib Tiga Abdi
Tidak peduli bahwa junjungannya dan Pasukan Kadipaten sedang berperang dengan pasukan dari Kerajaan Pasir Langit, Indah dan Ampila yang kini menjadi wanita pesolek dan berstandar hidup tinggi, sedang asik di kamar milik Adipati Kubis Ganda.
Kedua wanita berdandan menor dengan pakaian bagus dan perhiasan emas di mana-mana itu sedang menjajal pakaian-pakaian bagus. Mereka bukan menjajal baju-baju milik Adipati Kubis Ganda, tetapi menjajal baju-baju milik Tiwang Karini, istri sang adipati.
Perlu diketahui bahwa Adipati Kubis Ganda sekamar dan seranjang dengan istri tuanya.
Meski usia Tiwang Karini jauh lebih tua dibandingkan dengan Indah dan Ampila, tetapi baju-baju pada masa itu tidak mengenal usia.
Kemarin, mereka memang tidak memiliki kesempatan untuk menggeledah isi kamar-kamar di rumah itu karena ada Kentang Kebo.
“Hihihi! Bagus sekali. Ini jauh lebih mewah dibandingkan baju-baju istri Demang Awok,” kata Indah setelah tertawa cekikikan dengan menyebut mantan penguasa Kademangan Pantekubi yang dikudeta oleh Kentang Kebo sebelum menyerang ke ibu kota kadipaten tersebut.
Sementara Ampila sedang mengendusi botol-botol minyak wangi koleksi Tiwang Karini. Botol-botol itu terbuat dari bambu-bambu kecil yang memiliki ukiran.
“Wangiiii. Hmmm wangiii!” ucap Ampila seraya matanya merem melek mengendusi mulut botol yang dia buka bergantian. Mencium wewangian itu seolah-olah membuatnya terbang ke alam fantasi raya.
“Coba kau periksa lemarinya, pasti ada tempat menyimpan emas perhiasan,” kata Indah kepada Ampila.
“Sudah aku buka semua. Bahkan celanaku sudah aku buka, tapi tidak ada emas,” jawab Ampila.
“Husy! Apa maksudmu bicara buka celana di depan suamiku?” hardik Indah, lalu beralih melirik Puyul yang berdiri bersandar lengan di ambang pintu kamar.
Puyul yang adalah suami Indah, memang sejak tadi berdiri di pintu memerhatikan kerja kedua wanita itu. Dia tersenyum saat mendengar Ampila bicara “buka celana”, menjadi sinyal tentang apa yang sedang terlukis di dalam otaknya yang terbatas.
“Apa yang kau pikirkan, Kakang Puyul?!” hardik Indah kepada suaminya.
“Hahaha! Buka celana,” jawab Puyul yang didahului dengan tawa mesumnya.
“Celana siapa yang kau pikirkan?!” hardik Indah lebih kencang dan lebih melotot.
“Celana Ampila,” jawab Puyul jujur secucur-cucurnya.
Mendengar jawaban Puyul, tersenyum malu Ampila seperti perawan telat puber.
Pak!
“Kenapa pula kau bertingkah genit seperti itu?” bentak Indah setelah lebih dulu menepak kepala Ampila. “Apakah kau pikir celana Kakang Puyul lebih berwarna dari celana Kakang Suoto?”
“Aku tidak memikirkan celana suamimu!” sangkal Ampila seraya merengut karena telah dipukul, meski tidak sekeras pakai dendam.
“Awas saja jika aku memergoki kalian main di belakang!” ancam Indah yang wajahnya jelas-jelas menunjukkan suasana hatinya yang tidak sejuk.
“Kalian sejak tadi memilih-milih baju, tetapi tidak ada yang dipakai. Kalian ini aneh,” kata Puyul.
Terbeliak Indah disebut “aneh”. Dia merasa tersinggung oleh perkataan suaminya.
“Kakang, sini!” panggil Indah, nadanya masih agak tinggi.
Puyul yang bertipe takut istri itupun datang kepada istrinya dengan wajah agak merengut. Terlebih Indah adalah Abdi Nomor Dua, kedudukannya lebih tinggi di sisi Kentang Kebo, junjungan mereka bersama.
“Ini pakai!” kata Indah saat suaminya berdiri di depannya.
Indah tiba-tiba memasukkan kepala Puyul ke dalam baju kebaya warna merah muda yang dipegangnya.
“Apa yang kau lakukan, Indah?” tanya Puyul, tapi tidak berusaha menolak.
“Baju ini sangat bagus dan mahal, lebih mahal dari nyawamu. Jadi pakai saja, selagi kita dapat cuma-cuma,” kata Indah sambil memakaikan baju kebaya itu dengan paksa kepada suaminya.
Seperti sedang memakaikan baju kepada anaknya, Indah juga meraih tangan Puyul dan memasukkannya ke lengan baju. Puyul hanya merengut, tetapi tidak menolak. Dia seperti kambing yang dicucuk hidungnya.
“Hihihik…!” tawa Ampila terkikik-kikik melihat Puyul dipaksa memakai baju perempuan.
“Nanti aku malu jika dilihat oleh Gusti Pendekar,” kata Puyul.
“Justru Gusti Pendekar suka jika melihat yang lucu-lucu. Jika Kakang membuat senang Gusti Pendekar, mungkin saja Kakang akan naik pangkat menjadi Abdi Nomor Sepuluh,” kata Indah.
“Kau benar juga, Indah,” kata Puyul. Dia akhirnya tersenyum.
“Hihihik!” Ampila masih saja tertawa.
Dung dung dung…!
Drap drap drap…!
“Jiwa kami di dalam air! Kaki kami di dalam air! Kepala kami di dalam air! Kentut kami di dalam air!”
Tiba-tiba ketiganya terdiam karena mendengar suara keramaian dari tempat yang masih cukup jauh.
“Suara apa itu?” tanya Ampila dengan kening berkerut.
“Suara kentut. Hahaha!” jawab Puyul dengan maksud berseloroh, makanya ia tertawa setelahnya.
Namun, leluconnya tidak membuat Indah dan Ampila tertawa. Tersenyum pun tidak.
Dung dung dung…!
Drap drap drap…!
“Kami Pasukan Buaya Samudera! Sekuat buaya rawa! Seganas buaya muara! Selihai buaya jejaka!”
Kembali terdengar suara genderang yang dipukul, disusul suara berisik sesuatu yang dipukul ramai-ramai dan kompak. Lalu disusul teriakan banyak suara lelaki yang terdengar kian mendekat karena suaranya kian kencang.
“Mungkin itu Pasukan Kadipaten yang pulang perang. Gusti Pendekar pasti menang perang,” kata Indah.
Dia lalu berlari kecil ke pintu kamar untuk keluar. Puyul dan Ampila segera ikut keluar dengan meninggalkan apa yang tadi mereka jajal. Sementara Puyul tetap memakai baju kebaya warna pink yang melapisi bajunya.
Ketika ketiganya tiba di teras rumah, mereka melihat banyak lelaki gagah berbadan atletis tanpa berbaju. Yang membuat Indah dan Ampila ternganga karena para lelaki berotot kekar itu hanya memakai celana pendek.
Dung dung dung…!
Drap drap drap…!
“Jiwa kami di dalam air! Kaki kami di dalam air! Kepala kami di dalam air! Kentut kami di dalam air!”
Para lelaki kekar bersenjata panahan itu tidak lain adalah Pasukan Buaya Samudera yang mengawal kereta kuda yang dinaiki oleh Permaisuri Kerling Sukma. Kereta kuda yang berlari pelan itu juga dikawal oleh Adipati Kubis Ganda bersama ketiga istri dan keenam anak gadisnya.
“Hahaha!” tawa Puyul mendengar nyanyian Pasukan Buaya Samudera yang berjalan sambil memasuki halaman kediaman Adipati Kubis Ganda.
“Mereka lucu ya, Kang Puyul. Hihihik!” kata Ampila yang juga tertawa.
“Ini bukan pasukan Gusti Pendekar. Ini pasti pasukan musuh!” kata Indah yang cepat tersadar. Perkataannya yang bernada tegang membuat Puyul dan Ampila berhenti tertawa.
“Pasukan musuh? Cepat lari, Gusti Pendekar pasti sudah kalah,” kata Ampila panik juga.
“Lari!” teriak Indah sambil lari duluan keluar dari teras lalu berbelok untuk menjauhi pasukan yang masuk.
Wajah Puyul dan Ampila berubah pias karena panik. Mereka juga cepat lari terbirit-birit.
Tindakan ketiga abdi Kentang Kebo itu dilihat jelas oleh pasukan pimpinan Perwiramadya Tanggal Muda.
Satu orang yang lebih terkejut melihat ketiga orang asing itu adalah Tiwang Karini. Dia mengenali kebaya merah mudanya yang dipakai oleh Puyul.
“Bajuku!” teriak Tiwang Karini sambil menunjuk Puyul dan kedua wanita yang bersamanya.
Set!
Satu orang prajurit Pasukan Buaya Samudera segera merespons teriakan istri Adipati dengan melepaskan satu anak panah dari busurnya.
Tsuk!
“Ciaaak!” jerit Indah histeris ketika satu anak panah tahu-tahu menancap di tanah, beberapa langkah di depannya.
Seketika lari Indah terhenti.
“Aaakk!” pekik Puyul dan Ampila juga di belakang Indah. Keduanya juga berhenti lari dengan wajah ketakutan.
Mereka bertiga cepat berbalik hendak kabur lewat jalur lain.
“Huaaakkk!” pekik Puyul, Indah dan Ampila kencang. Mereka terkejut seperti sedang melihat penampakan setan buruk rupa.
Setombak di depan mereka, sudah berdiri sepuluh lelaki gagah-gagah berbadan besar dengan senyum setannya. Mereka kompak menggerak-gerakkan otot dadanya, memberi intimidasi dengan visual yang kocak.
“Ampun ampun ampun, Gusti!” teriak Indah sambil buru-buru turun berlutut menyembah-nyembah.
“Ampun, Gusti! Ampuuun!” Puyul dan Ampila juga turun berlutut menyembah-nyembah.
“Hahaha!” tawa kesepuluh prajurit itu melihat ketakutan yang dialami oleh ketiga orang di depan mereka.
“Gaya!” ucap satu prajurit tiba-tiba.
Dan tetiba pula kesepuluh lelaki yang masih muda-muda itu melakukan pose patung dengan gaya bebas masing-masing. Tawa mereka pun terhenti.
Gaya kesepuluh prajurit itu membuat Puyul, Indah dan Ampila berhenti memohon. Mereka terpanah dalam kondisi wajah yang ketakutan dengan mulut yang menganga. Intinya mereka terbengong.
Permaisuri Kerling Sukma memandang kejadian itu sembari berjalan menuju pendapa yang ada di tengah-tengah lingkungan kediaman Adipati Kubis Ganda. (RH)