Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar Aruna. Gadis itu membuka matanya perlahan, menatap langit-langit putih dengan senyum samar. Semalam ia nyaris tidak bisa tidur karena terus memikirkan rencana besar keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka yang sudah semakin dekat membuat Aruna harus benar-benar menyiapkan mental, sekaligus menjaga hubungan baik dengan Arkan yang belakangan semakin sering mereka habiskan bersama.
Namun, pagi ini hati Aruna entah kenapa terasa sedikit berdebar aneh. Ada firasat tak biasa, meski ia tidak tahu apakah itu firasat baik atau buruk. Ia menghela napas, lalu bangkit untuk bersiap-siap. Hari ini Arkan berjanji akan menjemputnya untuk sarapan bersama keluarganya, sebelum mereka membicarakan detail persiapan acara.
Saat jam menunjukkan pukul 08.00, bel rumah berbunyi. Aruna bergegas menuruni tangga dan membuka pintu. Benar saja, Arkan sudah berdiri di sana dengan kemeja kasual biru tua yang membuat auranya tampak semakin dewasa dan berwibawa.
“Pagi,” sapa Arkan singkat sambil menyunggingkan senyum tipis.
Aruna mengangguk, “Pagi juga. Tunggu sebentar ya, aku ambil tas dulu.”
Mereka berdua lalu berangkat. Sepanjang perjalanan, suasana mobil sempat hening, namun nyaman. Sesekali Arkan melirik Aruna yang terlihat sibuk memainkan jemarinya sendiri.
“Kenapa, Nervous?” tanya Arkan.
“Enggak, cuma… kepikiran aja. Acara nanti kan pasti rame, takut salah ngomong,” jawab Aruna.
Arkan terkekeh kecil. “Jangan terlalu mikir. Yang penting jadi diri sendiri.”
Aruna melirik sekilas, lalu tersenyum. “Gampang kalo ngomong gitu, karena kamu kan selalu kelihatan tenang.”
Percakapan mereka yang ringan itu sempat membuat Aruna lebih rileks. Ia tidak tahu bahwa hari itu akan menjadi titik awal ujian besar dalam hubungannya dengan Arkan.
Sesampainya di rumah keluarga Arkan, mereka langsung disambut hangat. Ibu Arkan menyiapkan sarapan khas rumahan, sementara ayah Arkan sudah menunggu di ruang tamu. Suasana berjalan normal, penuh canda ringan dan obrolan mengenai persiapan acara pernikahan.
Aruna duduk kaku di kursi panjang, tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Ia bahkan tidak berani menoleh terlalu lama ke arah Arkan yang duduk di seberang. Tatapan tajam pria itu selalu berhasil membuat jantungnya berdebar tak karuan. Sejak awal, ia memang belum terbiasa dengan keberadaan calon suaminya itu—wajah tegas, tatapan dingin, dan aura yang terkesan jauh darinya.
Aruna masih mencoba menata napas ketika suara pintu depan terdengar terbuka. Ia mengangkat wajahnya sekilas, dan saat itu juga seorang perempuan masuk dengan langkah percaya diri. Senyumnya manis, tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Arkan…” suara itu meluncur lembut, seakan menyimpan kerinduan lama.
Aruna mematung. Ia tidak mengenal perempuan itu, tapi jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat tanpa alasan jelas. Ada hawa asing yang langsung membuatnya gelisah.
Arkan, sebaliknya, langsung menegang. Rahangnya mengeras, tatapannya berubah dingin menusuk. “Rani.”
Nama itu membuat Aruna semakin bingung. Ia hanya bisa menunduk, tak tahu harus bersikap apa.
Rani berjalan mendekat, seakan tidak peduli dengan keberadaan Aruna di sana. “Sudah lama sekali ya kita nggak ketemu. Kamu masih sama seperti dulu.” Suaranya terdengar lembut, tapi juga penuh maksud tersembunyi.
Aruna menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya siapa perempuan itu sebenarnya, tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokan. Apalagi sejak awal ia memang tidak pernah berani bicara banyak di depan Arkan.
“Ngapain kamu datang ke sini?” suara Arkan tegas, penuh amarah yang ditahan.
Rani tersenyum, tatapannya melirik sekilas ke arah Aruna, lalu kembali fokus pada Arkan. “Aku cuma ingin bicara. Aku… kangen sama kamu, Arkan.”
Ucapan itu membuat Aruna tercekat. Ia menunduk makin dalam. Jadi perempuan ini… pernah dekat dengan Arkan? Tapi siapa dia sebenarnya?
Aruna tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ketakutan dalam dirinya semakin menjadi-jadi, apalagi saat melihat raut wajah Arkan yang gelap dan tajam. Ia memilih diam, pasrah, seolah dirinya hanya penonton dalam adegan yang tiba-tiba terjadi di depan matanya.
“Cukup, Rani. Kamu nggak punya hak lagi buat datang ke sini,” ucap Arkan dengan suara meninggi.
Namun Rani tidak gentar. Ia justru melangkah lebih dekat, nyaris berdiri di hadapan Arkan. “Kenapa? Karena sekarang kamu bersama dia?” Tatapannya mengarah ke Aruna dengan sinis. “Dia? Gadis yang bahkan nggak bisa ngomong apa-apa di depanmu?”
Aruna merasakan dadanya perih. Tapi ia tetap diam. Ia memang tidak tahu harus bicara apa. Baginya, rasa takut lebih kuat daripada keberanian untuk menjawab.
Ketegangan semakin terasa. Rani tersenyum sinis, sementara Aruna hanya bisa duduk dengan kepala menunduk, jemarinya gemetar tak beraturan.
“Jaga mulutmu, Rani.” Suara Arkan terdengar tegas, tajam, dan penuh penekanan.
Namun Rani hanya tertawa kecil, seolah amarah Arkan sama sekali tak berarti. Ia melipat tangannya di dada, lalu menoleh ke arah Aruna yang masih menunduk.
“Lucu sekali. Jadi ini gadis pilihan keluargamu, Kan? Perempuan yang bahkan nggak berani menatap mata orang lain. Apa dia bahkan cukup pantas untuk duduk di sampingmu?”
Kata-kata itu menusuk telinga semua orang di ruangan itu. Aruna merasakan wajahnya panas, jantungnya semakin berdegup cepat. Jemarinya bergetar, tapi ia tetap diam. Suaranya seolah terkunci, tenggelam di dalam kerongkongan.
Arkan tampak semakin kehilangan kesabaran. “Aku bilang jaga mulutmu!” bentaknya lagi.
Namun sebelum Arkan bisa melanjutkan, suara lantang seorang perempuan terdengar, memenuhi ruangan.
“Cukup, Rani!”
Semua orang menoleh. Ibu Arkan berdiri dengan wajah merah padam, matanya menyorot tajam ke arah tamu tak diundang itu.
Rani sempat tertegun sejenak, namun cepat-cepat menyunggingkan senyum manis pura-pura sopan. “Tante, saya cuma bicara apa adanya. Saya khawatir Arkan hanya terbawa suasana, memilih orang yang jelas-jelas nggak sepadan dengannya.”
“Berani sekali kamu bicara begitu di rumah saya.” Nada suara Ibu Arkan bergetar menahan emosi. “Kamu pikir siapa kamu? Datang tanpa izin, lalu menghinakan calon menantu saya di depan keluarga?”
Aruna spontan mengangkat wajah, matanya membesar melihat bagaimana Ibu Arkan membela dirinya. Ada rasa hangat yang merayap di hatinya, bercampur dengan perasaan takut karena situasi semakin memanas.
“Tante salah paham. Saya hanya peduli. Saya kenal Arkan, saya tahu dia butuh seseorang yang bisa mendukungnya, bukan hanya diam dan pasrah begitu saja.” Rani sengaja menekankan kata-kata itu, lagi-lagi menohok Aruna.
“Diam, Rani!” bentak Ibu Arkan, nadanya tegas tak terbantahkan. “Kalau kamu masih berani menginjakkan kaki di rumah ini hanya untuk menjatuhkan Aruna, jangan pernah harap keluarga ini akan menghargai keberadaanmu. Kamu sudah membuat kesalahan besar di masa lalu, jangan kira kamu bisa datang seenaknya sekarang!”
Rani menggertakkan giginya, namun masih mencoba tersenyum sinis. “Jadi Tante benar-benar menerima dia? Gadis lemah yang bahkan tak berani bicara di depan saya?”
“Ya!” suara Ibu Arkan meninggi. “Justru karena dia gadis baik, sopan, dan tahu tata krama. Tidak seperti kamu yang hanya tahu cara menyakiti dan menghancurkan! Kamu tidak pantas dibandingkan dengan Aruna, satu helai rambutnya saja tidak sebanding denganmu!”
Aruna terperanjat. Ia tidak pernah membayangkan akan dibela seperti itu, apalagi oleh Ibu Arkan. Ada rasa ingin menangis, bukan karena sakit hati, melainkan karena terharu.
Arkan menatap ibunya dengan sorot mata penuh rasa hormat. Ia tahu ibunya jarang meninggikan suara, tapi kali ini—demi Aruna—ibunya benar-benar tidak bisa menahan amarah.
Sementara Rani berdiri kaku, wajahnya berubah pucat. Ia tidak menyangka akan diserang balik dengan begitu keras.
“Sekarang keluar dari rumah ini,” tegas Ibu Arkan lagi. “Sebelum saya sendiri yang memanggil orang untuk mengusir kamu.”
Suasana hening. Semua orang terdiam, hanya terdengar napas berat masing-masing.
Aruna kembali menunduk, tapi kali ini matanya berkaca-kaca. Ia tidak bisa berkata apa-apa, hanya hatinya yang berteriak penuh syukur karena ada seseorang yang membelanya saat ia tak mampu bersuara.