Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Karenin Bertemu Claira
Karenin kembali ke kamar mereka, dengan hati-hati meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur melihat Shanaira di atas ranjang. Saat itu, Shanaira belum benar-benar tidur—matanya perlahan terbuka, dan mencium aroma bubur hangat yang lembut.
“Karenin…?” gumamnya lirih.
Karenin menghampiri dan duduk di sisi ranjang. “Kamu kebangun? Aku masak bubur sayur untuk kamu.”
Shanaira tersenyum lemah, duduk perlahan sambil disandarkan Karenin dengan beberapa bantal.
“Aku suapin, ya?” tawar Karenin.
Shanaira tertawa pelan. “Nggak usah kayak anak kecil.…”
“Tapi kamu memang lagi kecil. Eh, maksudku kamu lagi bawa yang kecil,” Karenin terkekeh dan membuat Shanaira menggeleng pasrah.
Akhirnya Shanaira makan bubur sendiri tanpa perlu disuaipi oleh Karenin.
Suapan demi suapan pun masuk perlahan ke mulut Shanaira. Dan untuk pertama kalinya hari itu, ia bisa makan tanpa mual.
Karenin memperhatikan Shanaira makan dengan lahap merasa sedikit tenang, untungnya bubur yang dibuatnya bisa mengisi perut gadis itu.
Setelah suapan terakhir bubur masuk ke mulutnya, Shanaira meletakkan sendok di mangkuk kosong dan menghela napas pelan. Perutnya terasa jauh lebih nyaman sekarang. Meski tubuhnya masih sedikit lemas, pusing yang sempat ia rasakan sejak pagi sudah benar-benar reda sejak diinfus di rumah sakit.
Karenin datang dari arah dapur kecil, membawa segelas air putih dan meletakkannya di samping tempat tidur. “Minum dulu. Kamu butuh cairan juga,” ujarnya dengan suara lembut.
Shanaira mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan. Setelah itu, ia menatap Karenin. “Makasih… buburnya enak. Aku jadi lebih enakan sekarang.”
Karenin tersenyum ringan. “Bagus kalau gitu.”
Ia mulai membereskan nampan makan dengan gerakan hati-hati agar tidak membuat suara gaduh. Tapi sebelum ia beranjak, Shanaira baru teringat sesuatu.
“Kamu belum makan siang, kan?” ucap Shanaira dengan nada pernyataan bukan pertanyaan.
Karenin mengangguk pelan. “Belum. Aku bisa makan nanti.”
Shanaira menunduk sesaat, merasa tidak enak. “Kamu masakin aku bubur, tapi kamu sendiri malah belum makan….”
“Nggak apa-apa,” sela Karenin cepat. “Aku memang sengaja masak buat seporsi saja biar nggak lama. Kamu yang butuh tenaga. Kalau begitu sekarang aku akan keluar sebentar cari makan, nggak jauh-jauh kok. Kalau kamu butuh apa-apa, langsung telepon aku ya.”
Shanaira mengangguk kecil. “Iya. Hati-hati, ya.”
Karenin mengangguk dan mengambil ponselnya sebelum melangkah ke pintu. Sebelum keluar, ia sempat menoleh dan berkata lembut, “Kalau merasa nggak enak badan lagi, jangan tunggu sampai parah. Langsung bilang.”
Shanaira menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia memeluk bantal, tubuhnya mungkin masih lemah, tapi hatinya mulai terasa hangat.
*****
Suasana lobi Hotel Sagara Renault menjelang sore cukup tenang. Musik instrumental lembut mengalun dari speaker tersembunyi, berpadu dengan aroma bunga segar yang diletakkan di sudut-sudut ruangan. Claira baru saja tiba dan melangkah masuk dengan anggun, menelusuri lantai marmer yang mengilat. Di tangannya, sebuah tas tangan kecil tergenggam erat, sementara itu seorang pegawai hotel menarik kopernya mengikuti dibelakang.
Tatapannya menelusuri sekeliling, mencari meja resepsionis, tapi pandangannya tiba-tiba terhenti saat melihat seorang pria keluar dari lift.
Langkah Claira melambat. Wajah pria itu tampak akrab. Bukan karena pernah bertemu secara langsung, tapi karena dia pernah melihatnya sekilas—bersama Shanaira. Ibunya juga sempat menyebut nama pria itu dengan nada menyindir: “Suami baru Shanaira itu namanya Karenin, laki-laki biasa yang hanya bisa masak.”
Claira menajamkan pandangannya. Ya, dia yakin.
Ia segera menghampiri pria itu. “Kamu Karenin, kan? Suami Shanaira?” tanyanya dengan nada datar namun langsung.
Karenin yang berjalan di lobi menuju pintu keluar sedikit terkejut saat dipanggil. Ia menoleh, menatap wanita muda di hadapannya yang tidak dikenalnya. Wajahnya tidak asing, tapi dia yakin belum pernah berbicara atau berkenalan secara langsung.
“Iya, saya Karenin,” jawabnya sopan. “Suaminya Shanaira. Tapi... maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
Claira tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Belum. Aku Claira,” jawabnya santai. “Adik Shanaira dan istrinya Ethan.”
Karenin sempat menautkan alis, lalu perlahan mengangguk, “Oh... begitu. Saya belum pernah bertemu kalian secara langsung.”
Dalam hati dia berpikir bahwa gadis inilah yang menggantikan Shanaira menikah dengan Ethan dan dia melihatnya di pelaminan waktu itu.
Claira menyilangkan tangan di depan dada, sikapnya santai tapi matanya mengamati Karenin dengan cermat. “Apa yang kamu lakukan di sinii? Ku dengar kamu seorang koki. Apakah kamu tidak bekerja?” tanyanya penuh selidik.
Jika diperhatikan pria ini sangat tampan, sayangnya dia hanya seorang koki kecil yang tidak bisa dibandingkan dengan Ethan. Dia tidak mengerti apakah wajah pria itu yang membuat Shanaira rela melepaskan Ethan yang kaya dan malah menikah dengannya.
Karenin sedikit mengeryit mendengar nada angkuh gadis itu, tapi dia tetap menjawab dengan sopan mengingat dia adalah adik istrinya. “Ya, saya menang seorang koki. Kami di sini karena dapat undangan liburan dari perusahaan istri say."
“Kami? Jadi, Shanaira juga ada di sini?” tanya Claira terkejut.
"Iya. Jika kamu ingin bertemu, kamar kami ada di lantai dua nomor 205. Shanaira sedang istirahat di kamar sekarang." Karenin yang tidak mengetahui hubungan Shanaira dan Claira berkata dengan tenang.
Menurutnya karena mereka bersaudara dengan adanya Claira, Shanaira mingkin akan merasa lebih baik.
Mendengar Shanaira di juga ada di hotel ini muncul kegelisahan yang bergejolak dalam hati Claira. Kenapa harus di hotel yang sama? pikirnya. Lalu dengan hati-hati, ia bertanya,
Shanaira ada di sini. Dan itu berarti... sangat mungkin Ethan juga akan tahu, apalagi jika mereka tak sengaja bertemu.
Wajah Claira berubah sekilas. Tapi ia cepat mengembalikan senyumannya, kini lebih seperti topeng. “Menarik sekali. Karena Ethan juga sedang menginap di sini. Aku menyusul dia atas permintaan ibu mertuaku.”
Karenin hanya mengangguk sopan tanpa komentar. Meski tahu hubungan rumit antara istrinya dan pria itu, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa jika mereka bertemu. Hotel ini milik Ethan dan Shanaira bekerja untuk Ethan, dia tidak mungkin bisa menghalangi keduanya untuk bertemu.
Claira memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya tampak penasaran. “Kupikir kalian akan tetap di rumah. Tapi ternyata… kalian memilih liburan. Sepertinya kalian cukup dekat, ya.”
Karenin menatap Claira dengan tenang, tidak terganggu dengan nada yang samar-samar menyelidik. “Kami sedang belajar untuk menjadi lebih dekat,” jawabnya singkat.
Claira hanya tersenyum, lalu melirik ke arah lift. “Kalau begitu, selamat menikmati liburan kalian. Aku yakin akan jadi liburan yang... berkesan.”
Ia berbalik dengan anggun, meninggalkan Karenin di depan lift, lalu melangkah menuju meja resepsionis. Tapi dalam hati, ia tahu—kedatangan Shanaira di hotel ini bisa mengubah segalanya. Claira tidak boleh lengah. Jika Ethan tahu Shanaira ada di sini… semuanya bisa berantakan.
Dan ia tak akan membiarkan itu terjadi.
Yang tidak diketahui Claira justru karena tahu Shanaira menang undian hadiah makanya Ethan juga berlari ke sini. Dia tidak ingin membuat Shanaira dan Karenin semakin dekat di hotelnya sendiri. Namun, yang tidak diketahui Ethan justru pengaturan pegawainya sendiri yang akan membuat keduanya lebih dekat.