"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
...****************...
Aku menatap layar ponselku dengan pandangan kosong. Pengumuman resmi untuk kompetisi itu sudah keluar. Nama-nama peserta yang lolos seleksi akhir terpampang jelas.
Namaku tidak ada di sana.
Bukan karena aku gagal seleksi. Tapi karena aku bahkan tidak bisa ikut.
Tenggat waktu pemulihanku terlalu lama. Kompetisi yang seharusnya menjadi puncak perjuanganku selama bertahun-tahun… sekarang hanya bisa kulihat dari kejauhan.
Aku melempar ponsel ke tempat tidur dan menarik lutut—satu-satunya yang masih bisa kutekuk dengan normal—ke dadaku. Lutut yang cedera masih dibalut erat, terasa seperti belenggu yang mengingatkanku pada batasanku sekarang.
Aku menggigit bibir, menahan isakan yang sudah menumpuk di tenggorokan. Tapi akhirnya aku menyerah.
Air mata jatuh tanpa bisa kuhentikan.
"Sienna?" suara Arsen terdengar dari arah pintu.
Aku cepat-cepat menyeka wajahku, tapi aku tahu dia sudah melihatnya.
Dia masuk, menutup pintu, lalu duduk di sofa dekat ranjang.
Aku tidak bicara. Tidak ingin bicara.
Dia juga tidak memaksa.
Hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah menghitung waktu yang berjalan lambat.
"Aku tahu ini menyakitkan," kata Arsen akhirnya, suaranya rendah. "Aku tahu seberapa besar kau ingin ada di kompetisi itu."
Aku tertawa kecil, tapi terdengar lebih seperti isakan tertahan. "Kau gak tahu, Arsen."
Dia menatapku, ekspresinya tetap tenang. "Kalau begitu, jelaskan padaku."
Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Tapi begitu bibirku terbuka, kata-kata keluar tanpa bisa kuhentikan.
"Aku udah berlatih seumur hidupku buat ini. Aku udah mengorbankan segalanya. Aku gak punya kehidupan di luar skating, Arsen! Semua orang menaruh harapan besar padaku. Dan sekarang? Sekarang aku cuma duduk di sini, gak bisa apa-apa."
Suaraku pecah di akhir.
Arsen tetap diam, membiarkanku meluapkan semuanya.
"Aku gak tahu lagi apa yang harus aku lakukan," bisikku, suara bergetar. "Aku merasa… hampa."
Aku menggigit bibirku sampai terasa perih. Tanganku mengepal di atas selimut.
Arsen menghela napas panjang, lalu bergerak. Aku pikir dia akan bicara, tapi yang dia lakukan malah menarikku ke dalam pelukannya.
Aku kaku sejenak, lalu tanpa sadar mencengkeram bajunya.
Dan akhirnya, aku menangis di dadanya.
Bukan hanya menangis. Tapi terisak, terpuruk, hancur.
"Aku gak tahu lagi siapa aku kalau bukan sebagai atlet…" ucapku pelan.
Arsen mengusap punggungku, gerakannya lembut. "Sienna… kau lebih dari sekadar atlet. Kau lebih dari sekadar figure skater."
Aku menggeleng, menekan wajahku di dadanya. "Aku gak tahu…"
Kami diam cukup lama. Aku masih terisak, sementara Arsen tetap memelukku tanpa berkata apa-apa.
Baru setelah beberapa saat, dia berbicara lagi, suaranya pelan. "Kau tidak sendiri. Aku ada di sini. Maya ada di sini. Coach juga."
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi rasanya sulit.
Saat aku perlahan melepaskan diri dari pelukannya, Arsen menatapku lekat-lekat. "Aku akan membantumu, apa pun yang kau butuhkan."
Aku menatapnya balik, mata kami bertemu.
Aku tahu dia serius. Tapi tetap saja… perasaan kehilangan ini terlalu besar.
Aku hanya bisa mengangguk lemah. "Aku butuh waktu, Arsen."
Dia mengangguk. "Ambil waktu sebanyak yang kau butuhkan."
Tapi bagaimana kalau waktu pun tak cukup untuk mengobati ini?
...****************...
Aku duduk di balkon kamar hotel, menatap kota Milan yang terang benderang. Tapi tidak ada satu pun dari cahaya itu yang bisa menghangatkan hatiku yang terasa kosong.
Lututku masih sakit. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan.
Aku merasa hancur.
Aku sudah kehilangan kesempatan untuk bertanding, dan kini aku mulai kehilangan arah.
Tiba-tiba, pikiranku kembali ke masa lalu. Ke tempat yang sudah lama aku coba lupakan.
...****************...
Dulu, aku bukan siapa-siapa.
Aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku.
Aku hanya ingat diriku yang masih kecil, duduk di sudut panti asuhan dengan boneka rusak di pelukan. Anak-anak lain bermain bersama, tapi aku lebih suka sendirian.
Lalu, suatu hari, seseorang datang dan mengulurkan tangan padaku.
"Mulai sekarang, kau adalah bagian dari keluarga kami."
Aku tidak mengerti apa itu "keluarga" saat itu. Tapi aku mengangguk saja. Aku pikir, mungkin ini adalah kesempatan untuk memiliki tempat yang bisa kusebut rumah.
Awalnya, semuanya baik-baik saja. Ayah angkatku adalah pria yang baik. Dialah yang memperkenalkanku pada ice skating.
"Kau suka meluncur di es?" tanyanya saat pertama kali membawaku ke arena es.
Aku hanya mengangguk, lalu mencoba meluncur.
Dan sejak saat itu, aku jatuh cinta dengan ice skating. Tapi… tidak semua orang di keluarga itu menyukaiku.
Ibu angkatku? Dia bahkan tidak pernah menganggapku ada. Dan saudara tiriku, Olivia? Dia membenciku sejak hari pertama aku datang.
"Kau bukan bagian dari keluarga ini," katanya dingin suatu malam. "Jangan berharap terlalu banyak."
Aku tidak mengerti kenapa dia membenciku. Tapi aku tahu satu hal—aku harus bertahan.
Jadi aku berlatih lebih keras. Aku ingin membuktikan bahwa aku pantas berada di sana.
Tapi semua itu tidak ada gunanya.
Begitu ayah angkatku meninggal, segalanya berubah. Aku diusir dari rumah. Tanpa uang, tanpa tempat tujuan. Aku berjuang sendiri. Bertahan hidup sendiri.
Tapi aku tidak pernah menyerah. Aku terus berlatih. Aku terus maju. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkanku.
...****************...
Aku menarik napas dalam, kembali ke masa sekarang.
Arsen berdiri di ambang pintu balkon, menatapku dalam diam. Aku menghapus air mataku cepat-cepat.
"Apa?"
Dia tetap diam beberapa saat sebelum akhirnya berbicara. "Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu."
Aku tertawa kecil. "Aku tidak seistimewa itu."
"Aku yang menilai itu atau bukan."
Aku mendesah, menatap ke bawah. "Apa gunanya? Masa lalu tetap masa lalu."
Arsen berjalan mendekat, duduk di kursi di seberangku. "Masa lalu membentuk siapa dirimu sekarang."
Aku diam.
"Sienna…" suaranya lebih lembut kali ini. "Aku ingin benar-benar mengenalmu. Bukan hanya Sienna si atlet, tapi juga Sienna yang sebenarnya."
Aku menatapnya. Ada sesuatu di matanya—kesabaran, ketulusan.
Dan untuk pertama kalinya… aku merasa ingin berbagi.
Jadi aku pun mulai bercerita. Tentang panti asuhan, tentang keluarga angkatku, tentang bagaimana aku harus bertahan sendirian.
Arsen tidak menyela. Dia hanya mendengarkan, dengan cara yang membuatku merasa… dihargai.
Ketika aku selesai, dia menatapku lama.
"Kau kuat," katanya akhirnya. "Lebih dari yang kau sadari."
Aku tertawa sinis. "Aku tidak merasa kuat sekarang."
Dia menggeleng. "Bahkan orang terkuat pun bisa merasa lemah. Tapi itu tidak membuat mereka berhenti menjadi kuat."
Aku tidak tahu harus berkata apa.
Jadi aku hanya duduk di sana, membiarkan kata-katanya meresap.
.
.
.
Next 👉🏻