NovelToon NovelToon
Hati-hati Dengan Keinginanmu

Hati-hati Dengan Keinginanmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Persahabatan / Kutukan / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Palma Jebugan

Kisah cinta?
Bisa jadi.

Mistik?
Mungkin bisa dikatakan begitu.

Aneh?
Sudah pasti, tapi memang ini yang terjadi.

Akira, pria muda berusia 38 tahun yang sukses dalam setiap hal di hidupnya, yang malah membuatnya sedemikian bosan karena ketiadaan tantangan disana, terjebak dalam lingkaran kehidupan aneh yang terus saja melemparkannya ke berbagai jenis kehidupan lain tanpa mampu ia cegah.

Sementara ia terus belajar banyak hal mengenai beragam jenis kehidupan yang sebelumnya tak pernah ia mengerti atau bahkan perhatikan, Akira menemukan hal yang selama ini ia cari.

Hidup yang pernah ia miliki adalah yang terbaik, dan ia mulai merindukan dirinya sendiri dan semakin lama, semakin ia mencoba untuk kembali...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Palma Jebugan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bless in Disguise (II)

Melihat gunung Merapi yang gagah berdiri megah di utara sana, tiba-tiba saja sedikit perasaan sentimental menyelusup masuk. Akira merasakan bahwa entah kenapa, hidup yang ia jalani saat ini penuh dengan hal-hal yang tak pernah ia perhatikan di masa hidupnya sebagai dirinya sendiri. Pengejaran yang terus saja ia lakukan selama waktu itu lebih banyak ia habiskan untuk dirinya sendiri. Ia tak pernah memikirkan hal lain dalam hidupnya, dan sekarang, mau tak mau ia sedikit berpikir akan apa saja yang mungkin telah ia lewatkan selama waktu-waktunya.

Jika hidup dalam diri seorang bocah berusia akhir tujuh belas ini aja udah sedemikian kompleks, kenapa dulu aku merasa hari-hariku seakan kosong dan hampa tanpa banyak hal lain untuk dipikirkan?

Benarkah hidupku dulu sehampa itu?

Atau aku yang acuh ke semua hal lain?

Banyak pertanyaan yang mulai muncul dan rupanya mulai membuat Akira sedikit menyesal.

Apa saja yang sudah kulewatkan selama ini...?

......................

Seperti angin yang tak pernah perduli pada pohon dan semua benda yang dielusnya, waktu tak berhenti apapun yang terjadi.

Dering handphone kembali menyeret lamunan Akira tanpa perduli, dan nama yang muncul pada layar tak mengijinkannya untuk mengacuhkan panggilan itu.

"Yo. Kenapa, Pin?" jawab Akira cepat seenggan apapun dia. Upin adalah nama rimba Andini, dan tampaknya gadis itu benar-benar kerepotan kalau sampai ia nekat menelpon ketika pesan singkatnya bahkan belum dibalas.

"Sorry yo, Mas. Mas bisa ke proyek nggak, agak pusing ini aku." jawabnya dengan memelas.

"Nggak bisa lewat telpon po? Tumben kamu panik gini?" jawab Akira sambil tertawa kecil. Jika ada hal lain yang bisa Akira banggakan adalah kemampuannya dalam membaca karakter dan menimbang potensi seseorang. Andini memiliki setiap hal yang dinilai tinggi oleh Akira dalam dunia profesionalisme, dan jika ia sampai bertingkah seperti ini, mungkin saja masalah yang ia hadapi memang memusingkan.

"Ah, Mas Kolep ini gitu ogh. Kalau bisa lewat telpon juga aku nggak ribet-lah. Sini Mas, bingung aku. Tak tunggu beneran ya." balasnya cepat ketika nada yang mendekati panik terdengar darinya dengan jelas.

Menyadari hal ini, Akira segera mengesampingkan apapun yang tengah mengganggunya saat ini. Tak butuh waktu lama baginya untuk bersiap dan segera pergi setelah meninggalkan catatan untuk Asih. Gadis itu tetap tak kelihatan hingga saat Akira meninggalkan rumah.

Ketika double cabin yang dikendarainya memasuki area pembangunan, tak banyak aktivitas yang terjadi di sana meski para pekerja terlihat berkerumun dalam beberapa kelompok di berbagai tempat. Sementara itu, beberapa sosok pria sangar yang tak ia kenal tampak terlihat di beberapa area. Meski sudah bisa menduga apa yang mungkin sedang berlangsung saat ini, Akira hanya tersenyum kecil. Ia terlalu terbiasa dengan kejadian seperti ini. Langkahnya mantap menuju ke bedeng yang difungsikan sebagai kantor sementara ketika Pak Bondan, seorang mandor tukang menghentikan langkahnya. Wajahnya tampak khawatir ketika mencoba memberitahu Akira kenapa banyak orang terlihat menganggur saat itu.

"Mas Akira, anu, ini ada beberapa orang dari Ormas di kantor. Mbak Andini dan Pak Kamto di kantor sekarang. Kami disuruh berhenti kerja dulu, makanya..."

"Ndak papa, Pak. Saya paham kok. Temen-temen ajakin ke warung dulu saja, Pak. Nanti saya yang bayar." potong Akira sambil tersenyum.

"Ndak usah ndak papa, Mas. Yang penting Mas tahu kalau bukannya kami yang malas atau nggak mau kerja..." jawab pria paruh baya berbadan gempal itu. Kelegaan tampak muncul di wajah yang habis dihajar matahari itu. Standard pembayaran yang diberikan Akira jauh diatas yang lain. Mandor itu benar-benar tak ingin kehilangan pekerjaan ini.

"Pak Bondan tenang saja. Ajak semua pekerja untuk ke warung saja dulu. Nanti saya yang bayar. Ndak papa, saya ngerti kok." jawab Akira sambil tersenyum menenangkan. Hal seperti memang sering terjadi dan seringnya memang para pekerja yang kena akibatnya.

Pungli, atensi, dana keamanan, atau sebut dengan beragam kata lain, intinya sama.Di setiap proyek, pasti akan muncul mahluk-mahluk seperti ini. Baik yang sopan tutur kata lengkap dengan berbagai istilah hukum menyertai pembicaraan hingga yang kasar dengan tampilan acak-acakan dan tak jarang dengan sajam di tangan, dan Akira sudah kenyang menghadapinya.

Langkahnya tenang ketika beberapa sosok tak dikenal yang terlihat duduk dengan jumawa di ruang kantor sementara itu, sementara Andini dan Pak Kamto, site manager yang bertugas memastikan pekerjaan berjalan sesuai dengan rencana tampak sedikit merasa takut. Apalagi bagi Andini yang mungkin baru pertama kali mengalami hal seperti ini. Gadis itu hampir terkesan panik ketika ia buru-buru menyambut Akira yang bahkan belum sempat duduk.

"Mas baru bangun tidur-kah? Aku kontak sejak tadi lho." sungutnya meski ia tampak lega ketika Akira datang.

"Iya, semalem nungguin dokter sampai malam. Sekar sakit." ujar Akira sambil tertawa kecil. Ia bahkan tak mengacuhkan beberapa pria berbadan besar yang tampaknya tak terkendali itu.

"Anu, Mas Akira, ini ada teman-teman dari ormas. Mereka minta ketemu sama Mas." kata Pak Kamto pelan sambil menunjuk ke beberapa orang yang tampaknya terlihat sangat tak sabar.

"Teman-teman Bapak?" sahut Akira sambil sedikit mengernyitkan dahi, sementara Pak Kamto langsung pucat.

"Ah, bukan teman saya, Mas. Maksud saya, ada Bapak-bapak, ehm, anu, eh, Mas Mas dari Ormas, katanya..."

Akira tertawa kecil memotong penjelasan Pak Kamto, yang tampaknya kelihatan sangat tidak nyaman dengan pertanyaan itu.

"Saya cuma bercanda Pak. Sudah, Bapak monggo (silahkan) tunggu di luar ndak papa. Temeni kawan-kawan pekerja lain di warung Bu Min. Tadi saya sudah suruh mereka kesana. Nanti saya yang bayar, Pak." jawab Akira lagi sambil tertawa melihat kegugupan Pak Kamto.

Tidak mungkin rombongan ini terkait dengan pria paruh baya yang ia percaya untuk jadi Site Manager ini. Belum ada orang yang akan tahu atau bahkan mengira kalau pria paruh baya ini akan sangat tenar dengan kemampuan landscape art dan tata kelola bangunan yang ia kuasai. Jangankan untuk kenal dengan model-model gangster kelas kambing seperti ini, Pak Kamto nyaris tidak akan punya waktu untuk kenal siapa RW di kampungnya. Waktu pria itu benar-benar habis dengan berbagai riset, pekerjaan dan sekolah malam yang ia ambil. Akira juga mengenal orang ini di kehidupannya terdahulu.

Melihat pemuda yang mungkin bahkan belum genap berusia dua puluh tahun yang tampaknya seakan meremehkan dengan tak mengacuhkan mereka, tampaknya orang-orang ini merasa tersinggung. Salah satu yang memiliki bekas luka di wajahnya segera mendekat dan mengulurkan sebuah map pada Akira.

"Siang, Mas. Saya ingin anda melihat ini. Bangunan Mas ini kayaknya nggak sesuai dengan aturan dan kalau ada pihak berwenang yang datang, mungkin saja ini dihentikan. Tapi mas tenang saja, kami di sini untuk membantu." tukasnya. Suaranya yang agak serak terkesan mirip geraman ketika ia berbicara. Mungkin ia beranggapan bahwa itu akan menambah kesan sangar yang bisa mengintimidasi lawan bicaranya.

Menerima map dan melemparkannya ke meja, Akira hanya tersenyum pada pria sangar itu. Ia malah menoleh pada Andini yang tampaknya ngeri dengan kejadian ini.

"Pin, kamu bikin minuman gih. Kasihan ini tamunya cuma dikasih air putih." ucapnya sebelum kemudian menoleh ke banyak orang yang tampaknya terlihat makin gerah itu.

"Mas sekalian mau minum apa? Kopi, teh?"

Mau tak mau Andini sedikit kagum melihat bagaimana Akira terlihat sangat tenang menghadapi preman-preman ini. Meski pertanyaan dengan nada khawatir tetap saja akhirnya muncul dari gadis itu ketika ia hendak meninggalkan kantor untuk memesan minuman.

"Mas nggak papa tak tinggal sendiri?"

Akira hanya tertawa kecil dan menyuruh gadis itu untuk pergi. Menghadapi kentang goreng kecil seperti ini bukanlah hal yang merepotkan baginya.

Akira bahkan tak duduk. Ia hanya bersender di meja sambil melihat sekilas isi map, yang sebenarnya tak perlu baginya.

"Oke, saya Akira. Kebetulan lahan dan proyek ini milik saya. Saya tidak akan bertanya mas semua ini dari mana..."

"Kami dari karang taruna sini, Mas." potong salah satu diantara mereka dengan lagak gangster.

Kerutan di dahi Akira semakin dalam. Ia paling tak suka dipotong ketika bicara. Tapi ia hanya tersenyum kecil dan baru kemudian melanjutkan omongannya.

"Oh, begitu. Kalau begitu silahkan tunggu sebentar."

"Mas itu mapnya silahkan dilihat, daripada nanti LSM yang datang lho." desak yang lain, tapi Akira kembali mengacuhkan mereka.

Mencari dalam phone book-nya, pemuda itu masih terus tersenyum tanpa memperdulikan orang-orang yang tampak gusar itu.

"Yo, hallo, Bang. Ini aku di proyek. He'em. Abang sini deh, kangen ngobrol aku." ucapnya membalas suara yang menyambut panggilannya dan segera mengakhiri panggilan ketika orang yang ia telpon mengiyakan ajakannya.

"Mas telpon siapa?" selidik salah satu anggota rombongan itu. Meski tak lupa mempertontonkan tampang sangar, sedikit nada khawatir yang tersamar muncul darinya.

"Oh, kakak saya. Ditunggu saja dulu, nanti kita ngobrol sambil ngopi. Nggak enak kalau ngobrol nggak ada minuman. Nah itu kawan saya datang." jawab Akira sambil terkekeh. Ia segera berdiri dan menghampiri Andini yang datang dengan plastik berisi banyak minuman di dalamnya.

Namun meski Akira terlihat sangat santai, rombongan ini terlihat semakin tak nyaman. Berkali-kali si muka bekas luka terus saja mendorong Akira untuk melihat isi map dengan seksama, hanya saja Akira tetap membiarkan map itu di meja dan malah mengobrol tentang hal lain. Baru ketika ketukan di pintu terdengar, Akira beranjak dan tersenyum lebar melihat siapa yang datang.

Pria ini yang sebelumnya membantu Akira dalam proses pembelian lahannya yang lumayan merepotkan. Seiring interaksi mereka yang makin sering ketika proses pembelian lahan itu berjalan, Akira semakin akrab dengannya.

Badannya biasa saja. Rambut hitamnya lurus dan tercukur dengan rapi. Dengan dandanan sederhana tapi rapi dan bersih, akan sulit untuk membedakan pria yang usianya baru sekitar awal empat puluhan itu dari banyak orang lain. Tapi ketika wajahnya jelas terlihat, rombongan pria-pria berbadan besar itu seakan mengerut di kursi mereka masing-masing.

"Ngopo Ra, kok koyone penting banget?" (kenapa Ra, kok kayaknya penting banget?)

Akira tertawa. Pria itu terbahak sambil menjabat tangan pemuda itu ketika Akira sedikit mengarahkan pandangannya pada rombongan yang terlihat makin gelisah itu. Warna cemas benar-benar tak bisa disembunyikan sekarang. Tampaknya mereka menendang plat besi untuk kali ini.

"Anu, kalau Mas baru ada tamu, mungkin kami besok saja kesini lagi Mas." tukas salah satu dari mereka cepat. Pria yang datang ini bukan orang yang bisa mereka provokasi sedikitpun.

"Kalian duduk." ujar pria itu dengan lembut, meski mungkin, di telinga rombongan itu, kalimat perintah singkat itu setara vonis mati bagi mereka. Duduk mereka tegak ketika warna mulai menghilang dari wajah mereka.

"Lha adikku cewek mana, Ra?" katanya lagi ketika dilihatnya sosok Andini tak terlihat dimanapun.

"Embuh, Bang. Upin kok, selalu menghilang sesuka hati. Cari ayam goreng kali." jawab Akira sekenanya, yang langsung disambut gelak tawa.

Tak ada orang yang mau berurusan dengan orang ini. Akrab dipanggil sebagai Bang Jek, orang ini mendominasi dunia hitam di kota ini tanpa kata. Meski sekarang pria ini sudah insyaf, hanya sedikit manusia di dunia premanisme yang mau bersinggungan dengannya. Ada kalanya orang ini sedemikian tak masuk akal ketika tersinggung, dan akibatnya seringkali tak mudah ditanggung.

Tampaknya orang-orang ini mengenal Bang Jek dengan baik. Wajah mereka makin pias ketika pria itu membuka map yang diangsurkan oleh Akira. Tak ada satupun diantara mereka yang berani mengeluarkan suara sedikitpun.

"Hmm, oke..."

"Baik..."

"Wah, yang ini baru tahu aku."

"Woooh, bisa kena hukum..."

Gumaman demi gumaman keluar dari pria itu ketika membaca isi lembar-lembar dalam kertas itu, sementara pria-pria itu tampak semakin dalam berusaha tenggelam di kursi mereka masing-masing.

"Itu dia Bang, aku kan jadi khawatir ya? Sementara kan waktu pembebasan lahan, Abang jamin hal seperti ini tidak akan muncul?" keluh Akira dengan ekspresi yang jelas dibuat-buat.

Sementara ketika mendengar perkataan Akira, warna yang tersisa di wajah mereka benar-benar menghilang.

Bang Jek yang ngurus lahan ini?

Fix, nyawa mereka tak akan selamat kalau ini tidak ditangani dengan benar....

1
Akbar Asahan
Lagi fokus baca dulu ya kak
Dpangky: ahihihi, silahkan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!