Arani bingung ketika tiba-tiba saja dijadikan kekasih oleh lelaki yang namanya hampir mirip dengannya yaitu Areno. Sering terjadi perdebatan karena Arani tidak mencintai Areno. Arani berpikir Areno menjadikannya kekasih karena kalah taruhan, atau sedang menjadikan Ia sebagai mainan.
Arani adalah anak yang fokus pada pendidikan. Maka ketika Ia dijadikan kekasih oleh Areno, didekati oleh Areno, Arani merasa terusik. Pendidikan yang Arani tempuh saat ini atas dasar keinginan orangtuanya, yang pada akhirnya menjadi keinginannya juga. Belajar Farmasi tidak mudah bagi Arani tapi Ia mau berusaha, dan tetap fokus. Hadirnya Areno menambah warna baru dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arzeerawrites, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
“Kamu lama banget online nya. Aku perhatiin terus dari tadi, ada kali setengah jam online tapi nggak bales chat aku. Lagi ngapain sih? Lagi ngobrol sama siapa di whatsapp?”
Areno langsung melampiaskan rasa kesalnya ketika Arani baru membalas pesan yang sudah Ia kirim sejak beberapa jam lalu. Tidak kunjung dibalas oleh Arani, padahal sejak tiga puluh menit lalu Areno perhatikan Arani online terus. Karena penasaran dan kesal pada Arani akhirnya Areno menghubungi Arani. Beruntungnya tidak ada kata-kata “Nomor yang anda tuju sedang berada di panggilan lain”. Kalau saja Ia dengar kalimat itu, pasti rasa penasarannya kian meningkat.
“Aku abis bahas tugas farmakognosi nih. Ada tugas presentasi,”
“Oh, tugas kelompok ya? Perlu bantuan aku nggak? Aku udah nih. Cie sombong, mentang-kentang tugas kelompok udah selesai,”
“Nggak usah, ini ‘kan tugas kelompok aku, kalau tugas kelompok kamu beda lagi,”
“Ya nggak apa-apa aku bantu kalau emang kamu mau,”
“Nggak usah, sekarang kamu ngapain telepon aku? Aku penasaran nih,”
“Aku ganggu nggak?”
“Ganggu banget ya ampun, aku lagi mau buat tugas presentasi nya nih,” ujar Arani sengaja melebih-lebihkan alias mendramatisir supaya Areno kesal.
Tapi anehnya Areno tidak kesal, malah tertawa. “Dih kok malah ketawa sih?” Tanya Arani.
“Lebay banget kamu. Sini makanya aku bantuin, biar aku nggak cuma ganggu doang tapi juga ada bantuannya,”
“Nggak usah,”
“Kamu beneran udah cinta sama aku atau belum?”
Arani spontan memundurkan kepalanya menjauh dari ponsel setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Areno.
“Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?“
“Ya abisnya aku ragu aja gitu. Kok kamu cuek banget ya? Nggak kayak cewek-cewek kebanyakan,”
“Ya kamu udah jadi pacar aku mau nggak mau harus naksir lah,”
“Ya aku tanyain cinta, Sayang. Bukan naksir doang,”
“Itu jujur aku masih bingung sih. Cinta tapi aku ngerasa biasa aja, nggak cinta tapi aju ngerSa nyaman sama kamu. Jadi aku harus jawab apa?”
“Ya udah lah nggak apa-apa, yang penting pacaran ya ‘kan, kamu punya aku dan aku punya kamu,”
“Kamu ribet sih pake bahas itu segala tiba-tiba,”
“Aku penasaran, Sayang. Makanya aku nanya, soalnya kamu itu cuek, katanya cinta gimana sih?”
“Emang aku pernah ngomong gitu ya?”
“Nggak tau ah,”
“Ya kalaupun pernah, kenapa kamu nanya lagi? Aku emang gini orangnya, cuek. Lagian kalaupun kita belum saling cinta, aku rasa nggak apa-apa sih, ‘kan masih muda juga. Masih terlalu dini kalau kita bahas cinta karena kita masih SMK,”
“Hmm….iya sih. Ya udah deh, sekarang kita ngobrolin apa nih? Eh iya, kiriman pizza dari aku belum datang apa? Kok lama sih?”
“Hah? Kamu kirim pizza? Ya ampun, buat apa? Maksud aku, aku ‘kan nggak minta,”
Areno terkekeh mendnegar pertanyaan Arani. Buat apa katanya? Ya tentu untuk makan. Ia suka membuat hati Arani senang walaupun hanya dengan mengirimkan makanan yang sederhana.
“Dimakan ya, martabak itu untuk kamu makan,”
“Tapi aku udah—eh belum sih. Aku belum makan malam emang kebetulan,”
“Nah ya udah dimakan deh. Aku bukan sekedar cowok yang suka nanya udah makan atau belum aja tapi nggak ada action, aku nggak nanya tau-tau ngirimin makanan. Pacar kamu emang beda, makanya kamu jangan berpaling ya, Sayang?”
“Ih jangan manggil-manggil sayang deh, manggilnya pakai nama aja lebih enak didengar gitu,”
“Mau sayang aja,”
“Dih, geli ah, nama aja lebih—“
“Sayang sayang sayang,”
“Alay lo ah,”