Menjalani kehidupan rumah tangga sempurna adalah impian setiap wanita ketika memiliki seorang suami yang sangat mencintai dan menjadikan satu-satunya yang dicintai.
Namun, semuanya hancur ketika mengetahui bahwa pria yang selama ini dicintai telah menipunya dengan menciptakan sebuah konspirasi untuk bisa memilikinya.
Konspirasi apa yang membuat hidup seorang Diandra Ishana berubah penuh kepalsuan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dianning, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selalu beruntung
Sementara itu, Diandra hanya geleng-geleng kepala melihat sikap dua sahabat yang saling bersebelahan itu. Tadi ia memang pertama kali memperkenalkan diri sebagai kekasih Austin tanpa merasa canggung karena ingin mendalami peran.
Hingga ia merasa jika sikap dua sahabat itu sangat bertolak belakang. Jika Austin dianggap sangat tidak sopan dan menyebalkan, sedangkan Mirza kebalikannya karena terlihat lebih menghormati seorang wanita.
Hal itulah yang membuatnya cepat akrab dan merasa cocok ketika mengobrol dengan Mirza.
Kini, saat melihat dua sahabat itu berdebat, ia hanya geleng-geleng kepala. Meskipun sebenarnya ia sangat ingin tahu rahasia dari pria yang terlihat sangat arogan dan berkuasa tersebut, tapi malas melihat perdebatan.
Tidak ingin membuat dua pria itu ber-sitegang, refleks mengalihkan pembicaraan. "Aku mau pulang dan sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan rahasia kalian."
"Tunggu, Sayang!" Austin tidak ingin wanita yang diincarnya buru-buru, sehingga mencari alasan yang tepat. "Aku belum makan siang dan ingin kita makan bersama."
Sementara itu, Mirza yang merasa hanya jadi obat nyamuk dan melupakan tujuan datang, sehingga langsung mengeluarkan alat dari dalam tas.
"Sebelum aku ilfil melihat kemesraan pasangan kekasih, ingin segera memeriksamu." Menatap ke arah sosok wanita yang duduk di sebelah sahabatnya, seolah seperti tidak ingin diperiksa.
"Aku hanya pusing dan tidak perlu diperiksa," sahut Diandra yang refleks langsung menggelengkan kepala.
"Kamu harus diperiksa, Sayang. Jangan sampai terjadi sesuatu hal yang buruk padamu. Aku benar-benar sangat khawatir saat tadi kamu tiba-tiba pingsan."
Mirza yang kini bisa melihat jika raut wajah wanita yang diketahui bernama Diandra tersebut pucat dan tidak sama dengan wajah normal seseorang.
"Tenang saja karena hanya sebentar dan tidak akan menyuntikmu. Biar Austin saja yang nanti menyuntikmu."
"Sialan!" Austin yang mengerti ke mana arah pembicaraan dari sahabatnya, kini membuat gerakan melemparkan ponsel. Meskipun tidak melakukannya.
Mirza refleks menutupi wajah dengan kedua tangan. "Maaf. Aku hanya bercanda. Astaga!"
Wajah Diandra seketika memerah karena merasa sangat kesal atas kalimat ambigu bernada vulgar dari Mirza. Namun, tidak membuka mulut dan hanya diam melihat perdebatan mereka.
Austin yang kini bangkit berdiri, langsung meninju lengan kekar Mirza untuk melampiaskan kekesalan. Ia ingin terlihat baik di depan wanita itu, tapi jika Mirza selalu mengatakan hal-hal berbau vulgar, khawatir jika akan merasa ilfil.
"Ampun ... Ampun!" Mirza yang tadi meringis menahan rasa nyeri pada lengan, kini berusaha untuk menahan tangan dengan buku-buku kuat yang hendak kembali meninjunya.
Namun, Austin yang sama sekali tidak perduli, masih bergerak untuk memberikan pelajaran pada Mirza. Namun, ia tidak jadi melakukan itu karena mendengar suara wanita dengan paras cantik tersebut.
"Aku heran kenapa kalian bisa berteman jika asyik berdebat seperti ini. Sama persis seperti Tom and Jerry."
Diandra merasa jika persahabatan antara dua pria itu sangat kuat karena meskipun terlihat tidak akur, tapi saling memahami dan bisa membedakan mana waktunya serius dan bercanda.
Dewi masih sibuk merutuki kebodohan dari Mirza yang mempercayai kebohongannya karena mengaku sebagai kekasih.
'Dokter ini sangat jenius dalam hal kedokteran, tapi tidak untuk menilai kebohongan.'
'Demi mendapatkan pekerjaan, hal sepele seperti ini tidak akan jadi masalah, kan? Setelah hari ini, semuanya akan selesai. Lalu, besok aku bisa bekerja di perusahaan besar ini,' gumam Diandra yang mencoba untuk memenuhi pikiran positif di kepala.
“Dia yang selalu memancing amarah. Lebih baik kamu diperiksa sebelum kita makan siang, Sayang." Kemudian beralih menatap ke arah sahabatnya. "Cepat lakukan!"
"Aku butuh izin dari Diandra," sahut Mirza yang kini berbicara sangat santai dan ingin tahu apakah Diandra mau diperiksa.
Tentu saja saat ini Diandra tengah mendapatkan tatapan dari dua pria yang seolah ingin menyudutkannya. Karena tidak ada pilihan lain, sehingga kini memilih untuk menganggukkan kepala.
“Baiklah, mumpung gratis karena jika ke rumah sakit untuk periksa akan menghabiskan banyak uang, bukan? Jadi, kesempatan emas ini tidak boleh disia-siakan."
Mirza hanya tertawa begitu merasa jawaban iya bernada terpaksa itu benar adanya. Bahwa ia tidak akan menarik uang untuk biaya memeriksa hari ini karena berpikir sebagai salam perkenalan dengan wanita itu.
"Baiklah, karena kamu sudah mengizinkan, aku akan mulai memeriksa apakah hamil karena itu ciri-ciri orang hamil muda." Mirza mengeluarkan stetoskop yang ada di dalam tas kerjanya, tetapi kini merasakan pukulan yang kesekian kali dari wanita yang sudah mengarahkan tatapan tajam.
"Jaga bicaramu, Dokter! Apa kamu tengah berpikir aku sudah tidur dengan sahabatmu hingga hamil? Aku berubah pikiran dan kau tidak perlu memeriksaku."
Diandra merasa sangat kesal, beranjak berdiri dari tempat duduknya. “Kalian lanjutkan saja mengobrolnya."
Entah untuk kesekian kalinya, Austin menahan pergelangan tangan Diandra dan mendongak menatap wanita dengan wajah memerah itu.
"Maafkan Mirza, Sayang. Dia dari dulu memang selalu tidak bisa memfilter kata-katanya. Nanti lama-kelamaan kamu akan terbiasa melihat sikap pria dengan mulut tajam ini."
Diandra sebenarnya ingin pergi, tapi tidak ingin kesempatan emas menghilang, sehingga membesarkan hatinya, sehingga ia hanya terpaksa menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan kembali mendaratkan tubuhnya di sofa.
"Hanya untuk kali ini saja karena asli lagi berbicara tidak sopan, aku benar-benar akan pergi ”
"Maafkan aku. Aku dulu sangat cuek dan dingin seperti kulkas dan hidupku datar, tapi setelah bertemu dengan kekasihmu, jadi berubah seperti ini." Mirza mengangkat tangan ke atas membentuk simbol peace sambil tersenyum.
Tentu saja refleks Diandra ber-sitatap dengan Austin karena seolah sama-sama terkejut.
“Jangan dengarkan dia!” sahut Austin yang kini kembali merasa kesal pada sahabatnya.
“Aku percaya," sahut Diandra yang kini tidak ingin lebih lama berada di antara dua pria yang diakuinya sama-sama memiliki paras rupawan khas orang kaya.
“Orang tajir melintir seperti kalian lucu juga saat saling menyalahkan," ucap Diandra yang sekilas melirik ke arah Austin untuk melihat tanggapan dari pria yang seperti tengah tertangkap basah tersebut.
"Aku menyerah saja dan tidak ingin membantah karena yang namanya makhluk bernama wanita itu adalah mahluk maha benar." Sengaja Austin mengungkapkan sindiran karena berpikir jika saat ini tidak ada gunanya mendebat perkataan wanita.
Kalimat balasan sindiran yang berhasil menyudutkannya, membuat Diandra hanya diam tanpa berniat untuk meluruskan pemikiran pria itu.
"Iya, kamu benar, jadi aku kalah."
“Tapi jangan samakan aku dengan pria berengsek sepertinya karena aku bukan playboy." Mirza yang berbicara sambil memeriksa tanda-tanda vital wanita itu setelah mendapatkan lampu hijau, kini malah merasa sangat aneh seperti ada sesuatu yang dirasakan.
Namun, mencoba untuk melupakannya dan terus memeriksa. "Sepertinya kamu punya magh akut, ya? Jangan terlalu stres meskipun punya banyak masalah karena itu akan semakin parah. Ingat itu."
Setelah mengungkapkan ultimatum, ia mengeluarkan obat dari dalam tas kerja. Kebetulan hari ini baru saja membeli obat di apotik. "Minum ini tiga kali sehari."
Kemudian Mirza berlalu pergi meninggalkan pasangan kekasih yang membuatnya selalu merasa iri.
'Austin selalu beruntung karena mendapatkan wanita manapun yang diinginkan,' gumam Mirza yang kini tengah berjalan menuju ke arah lift dan menebak apa yang dilakukan oleh pasangan kekasih itu di dalam ruangan.
To be continued...
kan sdah bahagia d austin sdh berubah jdi baik...