Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuntutan Martin
Martin tidak menjawab sapaan formal Sumi. Ia hanya beranjak dari duduknya untuk sedikit membungkuk hormat, sebuah gestur sopan yang lebih merupakan kebiasaan dibanding ketulusan.
Matanya tak lepas dari sosok perempuan yang berdiri beberapa langkah darinya—perempuan yang semalam berada dalam pelukannya, yang kini bertindak seolah mereka tak lebih dari kenalan biasa.
"Silakan duduk kembali, Tuan van der Spoel," ucap Sumi, dengan senyum dipaksakan.
Perempuan itu masih menghindari tatapannya, dan Martin mulai merasa kesal. Setelah semalam mereka seperti sepasang kekasih, pagi ini ia seakan dicampakkan begitu saja. Dibuang seperti sesuatu yang memalukan, yang perlu disembunyikan.
Martin duduk kembali, mengambil cangkir teh yang masih hangat dan menyesapnya perlahan.
Tatapannya tak lepas dari Sumi yang duduk dengan postur sempurna, begitu anggun dan terjaga.
Tidak ada tanda-tanda dari perempuan bebas dan penuh gairah yang ia temui semalam di Kedung Wulan.
Matanya menangkap bekas kemerahan yang hampir rata di leher Sumi, sedikit terlihat di atas kerah kebayanya yang tinggi.
Seperti bekas kerokan yang sering ia temui pada para pelayan pribumi di rumahnya ketika mereka sedang tidak enak badan.
Martin tahu persis bahwa itu bukan hanya bekas kerikan—itu bekas ciumannya semalam, bekas yang dengan susah payah coba disembunyikan Sumi di balik kerah tinggi dan pengobatan tradisional.
Bayangan bagaimana semalam ia memuja leher itu berkelebat dalam benaknya, membuat kekesalannya pada Sumi semakin bertambah.
Sementara Sumi yang berusaha tenang mulai bertambah ketakutan saat Martin tak kunjung bersuara.
Keheningan di antara mereka terasa menyesakkan, diperparah oleh tatapan Martin yang tak lepas darinya. Ia memberanikan diri sedikit mengangkat wajah, penasaran mengapa pria itu diam saja.
Ketika tatapan mereka bertemu. Dada Sumi berdetak keras, sampai terasa nyeri. Martin tersenyum tipis melihat bagaimana wajah Sumi bersemu, dan bagaimana perempuan itu kembali menundukkan pandangan, seperti gadis muda yang baru pertama kali bertemu lelaki tampan.
"Tuan van der Spoel," akhirnya Sumi membuka suara, berusaha keras menjaga nada suaranya tetap tenang. "Maaf, tadi Anda berkata akan mengembalikan barang-barang saya yang tertinggal?"
Martin masih diam. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—sebuah kekecewaan yang tidak ia duga akan terasa begitu dalam.
Perempuan di hadapannya kini memanggil namanya dengan cara yang sama seperti saat mereka pertama bertemu—formal, dingin, penuh jarak.
Seolah-olah malam yang mereka habiskan bersama tak pernah terjadi. Seolah kata-kata mesra yang dibisikkan Sumi di telinganya semalam hanyalah omong kosong.
Entah mengapa Martin merasakan sakit di hatinya. Ini pertama kalinya ia merasa begitu dekat dengan seorang perempuan, dan kini perempuan itu memperlakukannya seperti orang asing yang baru dikenal.
Sumi yang tidak kunjung mendapat tanggapan dari Martin mulai merasa tidak nyaman. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha tenang, menolak untuk terlihat lemah di hadapan pria ini.
Dengan menarik napas panjang, Sumi kembali mengangkat wajahnya, mencoba tegar saat bertemu dengan mata biru Martin yang tampak terluka.
"Tuan Martin," ucapnya lirih, mencoba melepaskan sedikit keformalan dalam sapaannya. "Maafkan saya tentang semalam."
"Hanya maaf saja?" tanya Martin dengan suara beratnya yang terdengar serak, campuran antara kecewa dan marah.
Sumi menunduk lagi, susah payah menelan ludah. Kerongkongannya terasa kering, dan jantungnya berdebar semakin kencang.
"Apa yang Anda harapkan dari saya yang sedang putus asa, Tuan?” Suara Sumi semakin lirih. “Saya juga tidak mengerti bagaimana semalam ... saya bisa seperti itu. Jadi, katakan apalagi yang bisa saya lakukan selain meminta maaf?"
Martin menatap lama wajah cantik di hadapannya. Ada jeda yang menyiksa Sumi sebelum akhirnya ia berkata, "Kenapa kau tidak menanyakan kabarku sore ini?" Nada suaranya sedikit melunak, tapi tetap ada pedih di dalamnya. "Seperti semalam kau yang begitu peduli, menanyakan apa aku sudah puas? Apa setelah apa yang terjadi di antara kita, kau tidak ingin tahu bagaimana keadaanku?"
"Ah, maaf.” Sumi mencoba tersenyum dan mengangkat wajahnya lagi, kali ini dengan usaha yang lebih besar. “Bagaimana kabar Tuan, sore ini?"
"Kabarku?" Martin tersenyum sedih. "Tidak baik, Nyonya. Aku terus memikirkanmu sepanjang hari, dan aku …," ia terdiam sejenak, seperti mencari kata yang tepat, atau mungkin keberanian untuk mengucapkannya. "Aku merindukanmu."
Napas Sumi tertahan mendengar kata-kata itu. Jantungnya berdetak semakin cepat. Mulutnya terbuka tapi tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan.
“Apa kau tidak merindukanku?” tanya Martin dengan mencondongkan tubuhnya ke depan, berharap Sumi juga merasakan apa yang dia rasakan.
"Tuan Martin," ucap Sumi pelan, matanya melirik gugup ke sekitar, takut ada abdi atau garwo ampil yang mendengar percakapan mereka. "Saya mohon jangan katakan hal seperti itu. Kita tidak bisa—"
"Kenapa tidak?" potong Martin, suaranya lebih tegas. "Apa yang terjadi semalam bukan sekadar kebetulan, Sumi. Ada sesuatu di antara kita, sesuatu yang ... kuat."
Sumi menunduk semakin dalam. "Semalam adalah kesalahan, Tuan. Saya ... saya tidak melihat Anda. Saya melihat suami saya."
Martin tampak semakin terluka mendengar pengakuan itu. "Apa?"
"Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya," Sumi melanjutkan, suaranya semakin pelan dan bergetar. "Tapi semalam, ketika saya melihat Anda di tepi sendang, yang saya lihat adalah Kangmas Soedarsono, bukan Anda. Saya tidak tahu bagaimana atau mengapa, tapi itu yang terjadi."
Martin terdiam, mencoba mencerna informasi ini. Apakah itu alasan mengapa Sumi begitu berbeda semalam?
Apakah ia benar-benar mengira sedang bersama suaminya, tapi itu benar-benar tidak masuk akal, Sumi tidak sedang mabuk semalam?
"Jadi …," ucapnya perlahan, "semua yang terjadi semalam, semua yang kau katakan, semua yang kau lakukan ... itu bukan untukku? Itu untuk suamimu?"
Sumi tidak menjawab, tapi keheningannya cukup menjadi jawaban. Martin merasakan sakit yang lebih dalam di hatinya, seolah seseorang baru saja menusuknya dengan sebilah pisau.
"Aku tidak terima itu," ucap Martin tegas, mengejutkan Sumi.
Sumi mengangkat wajahnya, mulai takut dengan nada suara Martin yang mendadak keras. "Apa maksud Tuan?"
"Kau tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa itu kesalahan dan melupakan apa yang terjadi semalam," lanjut Martin, suaranya kini lebih tenang namun penuh tekanan. "Kau harus bertanggung jawab."
Sumi tersentak, seolah baru saja ditampar. Wajahnya memucat bingung. "Bertanggung jawab?"
Ia memberanikan diri bertanya, meski suaranya nyaris seperti bisikan. "Bagaimana caranya saya ... bertanggung jawab?"
Martin terdiam sejenak, seolah memikirkan kata-kata yang tepat. Lalu, ia beralih ke bahasa Belanda.
“Jika apa yang terjadi semalam adalah sebuah kesalahan, baiklah. Tapi bagaimanapun, kau telah menodaiku. Aku bukan perjaka lagi.”
Sumi mengerutkan dahi, kebingungan. "Maaf, Tuan. Saya tidak begitu mengerti maksud Anda."
Martin beralih kembali ke bahasa Melayu. "Aku meminta kau bertanggung jawab dengan menikahiku."
"Apa?" Sumi hampir tersedak. "Itu ... itu tidak mungkin, Tuan Martin!"
"Mengapa tidak?" Martin tersenyum tipis, seolah menikmati keterkejutan Sumi. "Itu sangat mungkin. Lagipula, bukankah kau akan diceraikan? Aku akan sabar menunggu sampai waktu itu tiba."
Wajah Sumi semakin pucat. Dari mana Martin tahu tentang kemungkinan perceraiannya? Apakah berita itu telah tersebar begitu luas hingga ke telinga orang Belanda?
"Itu hanya desas-desus," sanggah Sumi cepat. "Tidak ada perceraian. Dan bahkan jika itu terjadi, tetap saja Tuan Martin seorang Eropa dan saya Jawa. Kita ... kita tidak bisa ...."
"Kita bisa," potong Martin. "Sekarang ini banyak sekali pernikahan campuran yang terjadi."
"Tuan Martin," Sumi mencoba kembali menguasai diri. "Mungkin Tuan tidak memahami sepenuhnya kerumitan situasi ini. Saya seorang Raden Ayu, istri utama dari keluarga Prawiratama. Saya tidak bisa begitu saja ... meninggalkan semua itu."
"Mengapa tidak?" tantang Martin. "Jika suamimu memang akan menceraikanmu demi perempuan lain, apa yang membuatmu tetap bertahan? Kesetiaan pada apa? Pada siapa?"
Sumi terdiam. Pertanyaan Martin menghantam tepat di titik keraguan terdalamnya. Mengapa ia tetap bertahan?
Demi kehormatan keluarga? Demi status sosialnya? Atau hanya karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukan jika bukan menjadi Raden Ayu Prawiratama?
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
gapai kebahagiaanmu, jangan terus berkorban
dia kan istri ya pasti bgg lah mau gmg apa secara kan udh bersuami mana mgkin dia mau memanfaakan kmu itu oengaru dr sirep mbah dukun kali martin