New Happiness, Begins

Molly mengerutkan kening. "Tidak. Kenapa juga ia melakukan hal bodoh begitu?"

Kendall percaya padanya. "Silahkan duduk dan mari kuperiksa." Kendall berjalan ke lemari dan mengeluarkan sepasang sarung tangan lateks, lalu menarik kursi ke dekat Molly dan memeriksa bintil-bintil merah di sela jemarinya yang kasar karena banyak bekerja. Di tangannya juga ada noda kebiruan samar.

"Losion blueberry yang Kris berikan manjur beberapa saat, tapi lalu ruamnya memburuk. Meskipun begitu, bau losionnya enak."

Kendall berdecak-decak sedih. "Ini benar-benar dermatitis kontak. Kau mungkin harus mengganti deterjen dan memakai sarung tangan karet pasti sangat membantu." Ia tersenyum. "Sementara ini, krim steroid akan mengurangi gatal dan menyembuhkan tanganmu. Sayangnya, baunya tidak akan seenak losion blueberry, tapi kabar baiknya kau tidak akan berubah jadi Smurf."

"Aku tidak peduli, asalkan manjur mengobati gatal."

Kendall berdiri dan berjalan ke lemari, memeriksa wadah sampel dan mengeluarkan tube. Ia berjalan kembali dan memberikan tube itu kepada Molly. "Kalau masih tak ada perubahan, aku bisa menuliskan resep untuk obat yang lebih keras, tapi aku tak punya stoknya."

Molly mengangguk. "Terima kasih." Lalu ia membuka tutup tube, mengeluarkan sedikit krim yang berwarna putih dan mengoleskannya ke kulit. Ekspresi wanita itu langsung tampak lega. "Rasanya sudah mendingan."

"Bagus."

"Berapa?"

Kendall mengibaskan tangan. "Gratis. Itu hanya sampel."

"Bagaimana dengan waktumu?"

"Aku hanya memanfaatkan waktu sampai mobilku selesai diperbaiki." Kata Kendall, berpikir tak apa-apa memberitahu wanita itu bahwa ia merencanakan untuk pergi.

"Aku menyesal mendengarnya," sahut Molly, lalu berdiri untuk pergi. "Tapi aku mengerti. Keahlianmu hanya akan sia-sia di tempat ini."

"Maksudku bukan begitu," kata Kendall, merasa jahat. "Aku salah sudah datang ke sini." Ia memberi isyarat samar ke arah pintu dan keluar. "Wanita-wanita lain datang ke Happiness untuk menetap dan membangun keluarga. Rasanya... aku munafik ada di sini."

"Menurutmu di sini tak ada tempat untuk orang yang tidak mau menikah dan punya anak?"

Kendall sadar Molly sedang membicarakan diri sendiri. "Bukan," tukasnya cepat. "Aku hanya berpikir kota ini pantas mendapat dokter yang berkomitmen pada tujuan masyarakat. Semua hal tentang rumah dan kehidupan berkeluarga... bukan sesuatu yang kuinginkan."

"Ah... menurutmu itu omong kosong."

Kendall menggigit bibir. "Aku bukan bermaksud tidak hormat."

"Tidak apa-apa," kata Molly. "Prasangka tentang orang-orang Utara memang bukan tanpa alasan. Kami cenderung lebih sentimental tentang hal-hal yang di anggap kuno oleh orang-orang dari negara bagian lain. Kami merasakan dengan lebih mendalam, tertawa lebih nyaring dan manangis lebih keras. Aku mengerti kenapa hal seperti itu membuat orang-orang tidak nyaman, terutama orang-orang dari luar."

Kendall terkejut sekaligus terganggu oleh analisis wanita itu. "Tapi aku bukan merasa tidak nyaman."

"Tidak perlu malu," sahut Molly sambil beranjak ke pintu. "Memang begitulah kenyataannya." Ia tersenyum. "Terima kasih banyak atas krimnya."

"Sama-sama," kata Kendall, merasa malu. "Hmm, Molly... kau berhasil menemukan pemilik arloji saku yang kutemukan?"

Molly tersenyum lebar. "Ya. Scott Michael Disick. Ia tetangga keluarga Booker yang pindah ke Florida setelah badai. Ia senang sekali mendengar arlojinya di temukan. Benda itu hadiah dari ayahnya. Ia memintaku mengucapkan terima kasih kepada wanita yang menemukannya."

Hati Kendall meluap oleh perasaan senang. "Aku ikut senang untuk Mr. Disick."

"Sebenarnya, Dokter Disick. Selama bertahun-tahun ia dokter di Happiness ini. Ia sangat senang mendengar bahwa yang menemukan arlojinya dokter baru kami, katanya itu pertanda. Kuharap itu tidak membuatmu tak nyaman." Molly mengedipkan mata, lalu pergi.

Setelah pintu ruang praktik menutup, Kendall tiba-tiba merasa hampa... dan dangkal. Ia tidak bermaksud bahwa orang-orang di Happiness ini agak... berlebihan. Ia menganggap ketidakmampuannya untuk membaur dalam usaha kota itu sebagai kelemahannya sendiri, bukan sebaliknya. Matanya panas oleh air mata. Ia sudah meremehkan harapan mereka pada dirinya, tak menyadari betapa hancurnya ia akibat perpisahan dengan mantan tunangannya dan betapa sedikit yang tersisa untuk dibagikan kepada orang lain.

Kesepian menyergapnya, membuat dadanya sakit, Kendall mengerang. Dan sakit kepalanya yang menyiksa akibat hidung mampet sama sekali tidak membantu. Ia membuang ingus untuk menyingkirkan sebagian tekanan, lalu tiba-tiba merasakan dorongan untuk makan sesuatu yang menghibur, seperti teh hangat atau bolu cokelat.

Atau bolu cokelat hangat.

Benaknya melayang pada permen kayu manis yang tadi Kristofer bawakan. Ia tak percaya sama sekali bahwa permen itu bisa menyembuhkan alerginya, tetapi setidaknya akan memuaskan keinginannya makan yang manis-manis. Ia menarik laci meja tulis terbawah tempatnya menyimpan permen tadi dan mengeluarkan kantong permen tadi. Baris-baris permen hitam itu menggumpal dan tidak rata, ujung-ujungnya bergerigi. Kelihatan agak... tidak higienis.

Kendall menelan ludah dan membuka kantong. Aroma tajam permen itu pasti menusuk hidung kalau bisa menembus sinusnya yang bengkak. Air liurnya menetes. Diambilnya sepotong permen dan dengan hati-hati di gigitnya sedikit, bersiap-siap memuntahkannya kalau rasanya menjijikkan.

Ternyata tidak.

Permen itu lembut, meleleh dan lengket. Membanjiri mulutnya dengan rasa ceri manis dan enak, yang membuatnya mengatupkan rahang penuh apresiasi. "Hmm," erang Kendall. "Mmm." Ia mengigit lagi dan menikmatinya juga, perasaannya terhadap Kristofer melunak karena saat-saat menyenangkan ini. Kendall menghabiskan permen berukuran satu jari itu, lalu mengembalikan sisanya ke dalam laci, merasa seperti bocah nakal.

Tiba-tiba ia gelisah dan berjalan ke jendela untuk mengetahui apakah bisa melihat kegiatan. Pria dan wanita berbondong-bondong bergerak ke arah lokasi pembangunan klinik, jelas penasaran. Kendall juga penasaran, tetapi meski tubuhnya sangat ingin pergi, ada sesuatu yang menahannya. Ia tidak mau makin terikat pada tempat ini. Selain itu ia tidak ingin bertemu dengan David dan menghadapi tatapan tajam pria itu saat kondisi tubuhnya sendiri sedang lemah.

Kata-kata Molly menggema dalam kepalanya, pernyataan bahwa orang-orang luar takut menghadapi dalamnya perasaan orang-orang Utara. Meskipun memprotes, pendapat Molly bahwa Kendall takut menjalin kedekatan emosional itu nyaris benar.

Tapi ia berhak melindungi diri agar tidak terluka lagi. Dengan jempol, Kendall mengusap-usap jari manis. Bekas lingkaran cincin di sana menunjukkan betapa dalamnya ia sudah tertipu. Dari pengalaman pahit ini, ia belajar bahwa tak ada orang lain yang akan menjaganya.

Kendall berbalik dari jendela dan kembali ke meja tulis. Makin cepat ia menyelesaikan tugasnya, makin cepat ia bisa meninggalkan Happiness dengan hati yang bersih.

...****************...