Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 31 | Fights in Airport
Langkah kaki berat tiba-tiba mendekat. Anala bisa merasakan tubuh Nathael menegang sesaat. Perlahan Anala mulai mengangkat pandangan, lalu membelalak tajam saat menyadari bahwa yang berdiri didepannya adalah sosok yang paling tak ingin ia temui.
"Anala."
Suaranya terdengar lembut namun membawa angin dingin dihati Anala. Ia membawa Nathael makin dekat pada dekapannya, matanya mengerjap takut didepan orang itu. Perasaannya tak enak, namun ia harus berani memasang batas yang jelas.
"Mama..." Nathael memeluk pinggang Mamanya makin erat, ada gelengan pelan yang coba ia perlihatkan. "Jangan pergi sama Om jahat itu, Ma."
Anala mengepalkan tangannya, ia turut menenangkan Nathael lewat senyuman hangat. "Sebentar ya, Sayang." ekspresi lembutnya sontak berubah saat ia menatap Yohane. "Mau apa kamu disini?"
Pria itu Yohane—sang kakak ipar yang merangkap jadi selingkuhan. Anala ingin memukul wajah yang tersenyum tanpa tau malu itu. Yohane berjalan makin dekat, sorotnya tak berubah, tetap tenang dengan senyuman senang.
"Aku pikir kamu bakalan batalin rencana penerbangan kita. Tapi ternyata kamu masih mikirin aku ya." ia memiringkan kepalanya, matanya menyipit terbawa senyum.
Anala bergidik ngeri, mendadak rasa dingin menjalar di hatinya. Ia menatap Yohane ragu, nafasnya melambat tiba-tiba. "Apa yang kamu bicarakan?" matanya tak berkedip didepan pria ini.
Yohane berdiri sambil memasukkan satu tangannya ke kantong celana, matanya berubah serius. Lurus tepat pada Anala. "Loh, kamu pesan tiket ini kan waktu aku bilang mau ada kerjaan di Tokyo. Aku tau kamu selalu pengertian dan siap pergi kemanapun aku mau."
"Kamu gila ya?" ia mengepalkan tangan, sebelahnya masih kuat mendekap Nathael. "Aku nggak gila, kamu sendiri yang pesan tiket kita diwaktu yang sama." ia mengulurkan ponselnya, menunjukkan waktu pembelian tiket yang sama persis seperti Anala.
Anala menolehkan kepalanya dengan cepat. Ekspresi jengkel tak bisa disembunyikan lagi. matanya sampai menyipit hingga meninggalkan sedikit bulatan hitam. "Aku kesini buat liburan sama anakku, bukan karena kamu!"
Pria itu terlihat lelah bertengkar. Ia menghela napas pelan, tangannya perlahan keluar dari saku celana dan mulai meraih tangan Anala. "Udahlah sayang, nggak usah main tarik ulur lagi. Lama-lama aku bisa muak kalau kamu terus bertingkah menyebalkan kayak gini."
Namun Anala menepisnya secepat mungkin. Alisnya makin menyatu meninggalkan ekspresi muak. "Ya aku nggak peduli! justru bagus kalau kamu muak. Aku udah bilang kalau kita selesai! nggak usah pikun, bisa?"
Yohane makin tak sopan. Tangannya mulai menggenggam kedua tangan Anala, matanya menatap dalam penuh rasa kepemilikan. Sorot mata yang memaksa lawan bicara untuk fokus padanya. "Hei, sayangku yang cantik nggak mungkin ngomong kasar kayak gini. Ayo ikut aku, kita istirahat di hotel yang udah aku reservasi."
Ia hendak menyeret Anala begitu saja, dengan langkah percaya diri. Namun lagi-lagi Anala melepaskan tangan Yohane dengan kasar. "Nggak!" Ngapain juga aku harus ikut kamu." bibirnya mengerucut seperti menahan umpat.
Raut wajah Yohane berubah kesal. Rahangnya mengeras jelas menahan amarah. Namun saat Anala menatapnya, ekspresi itu seketika berubah lembut dan manis. "Sayang... udah dong ngambeknya. Udah hampir dua bulan loh ini." tangannya masih berusaha meraih, namun Anala menjauh secepat mungkin.
Wanita ini sudah kehilangan akal, tak ada satupun cara yang berhasil mengusir pria najis ini. Ia mengepalkan tangannya, menghela napas kasar. "Aku nggak lagi ngambek Yohane! jangan bikin anakku takut."
Nathael berdiri dibelakang Anala, memegang Coat mamanya dengan erat. Saat matanya bertemu dengan Yohane, anak itu langsung memeluk ibunya makin erat. Tatapan tajam Yohane menakuti Nathael. "Lagian kamu kenapa sih pake bawa anak nakal ini, kamu merasa bersalah udah cuekin dia selama ini?"
"Nggak sok tau!" potong Anala cepat, matanya menusuk tajam pada pria itu. Sementara Yohane hanya menanggapi santai seolah bukan apa-apa. Dia makin menjadi bicara omong kosong. "Kalau kamu mau kita bisa punya anak juga kok, yang lebih baik dari anak cerewet ini. Kamu selalu bisa dapatkan apapun bareng aku, sayang."
Plak.
"Shut the fucking up!" pupil matanya bergetar bersamaan dengan napas yang perlahan memburu makin cepat. Telunjuknya fokus pada mata Yohane seolah siap mencongkelnya kapanpun. "Kau pikir siapa yang mau punya anak dari orang gila kayak kamu? babi aja ogah!"
Yohane terlihat kaget, matanya membulat sampai wajahnya pun ikut mengeras. Ia memegang bekas tamparan Anala, namun senyum seringai itu masih kokoh dibibirnya. "Kamu semarah itu cuma gara-gara bocah sialan ini?"
"Bocah sialan?" Anala mengerjapkan matanya, mencoba mengulang kalimat kurang ajar yang ditujukan untuk putranya. Tepat sebelum bicara, ia menutup kuping Nael dengan kedua tangannya. "Dasar pantek! Anakku seribu kali lebih berharga dari pada kamu dan seluruh obsesi gila yang memuakkan itu. Jangan bikin aku tambah jijik sama kamu, Yohane babi!"
Yohane sampai dibuat mematung, pertama kali melihat Anala se-gragas ini. Beberapa kali ia mencoba mundur karena Anala makin dekat dan terus menunjuknya tanpa ampun. "Ka–kamu serem banget, sayang."
"Makanya pergi, monyet! nggak usah budek!" emosinya sudah diujung tanduk, mukanya sampai memerah dan nafasnya terdengar sangat kasar. Yohane sampai menegak ludah dengan kasar, matanya berkedip-kedip saking kagetnya. "A–aku akan pergi asal kamu ikut!"
Tanpa disadari ada sosok lain yang mengamati percakapan mereka. Elliot berdiri tak jauh dari sana, bersembunyi dibalik tiang bandara. Matanya melotot saat didepannya Anala bicara dengan banyak umpatan pada Yohane.
Sejak kapan Anala belajar bahasa umpatan sebanyak itu?
Nathael takut Mamanya dibawa, dia mendorong Yohane dengan tangan kecilnya. Matanya menatap tajam, tidak lagi takut. "Pergi! jangan ganggu Mama!"
Namun tenaga orang dewasa tentu jauh lebih kuat. "Aduh anak kecil diem deh. Kamu tuh nggak tau apa-apa soal orang dewasa. Minggir sana!" ia mendorong tubuh kecil itu hingga ia terjatuh di lantai. "Awh..." ringisnya sambil memegang pantatnya yang jatuh menapak.
Anala langsung menghampiri Nathael, mengamati setiap jengkal bagian tubuhnya dengan mata meredup. "Astaga sayang! apa yang sakit ,nak?" si kecil pun hanya menggeleng meskipun telapak tangannya berdarah. "Nggak apa-apa, Ma. Nael nggak mau Mama sedih."
Sontak tanduk Anala langsung keluar saat melihat tangan Nael berdarah. Matanya berubah horor menatap Yohane hingga bulatan hitam itu nyalang memandangnya. "Dasar setan! kamu mau cari mati ya!" Anala sampai mendorong tubuh kokoh Yohane dengan sekuat tenaga.
Semakin cepat Anala mendorongnya, makin cepat pula tangan Yohane menahan serangan itu."Hei tenang dulu. Aku ini pacar kamu loh." tapi Anala makin menjadi, dia sudah berapi-api sampai rasanya sesak didada. "Beraninya kamu nyakitin anakku!"
"Anala... sayang. liat aku! kamu kenapa? apa aku ada salah?" tangan Yohane tak berhenti menahan Anala, ia terus mencoba untuk tenang, merangkul perempuan yang kini berubah jadi sumala.
Elliot disisi lain sudah tak tahan lagi bersembunyi tanpa bisa melakukan apa-apa. Ia hendak menolong anak dan istrinya sekarang juga, membawa mereka lari dari Yohane dan semua obsesinya.
Namun, sebuah ucapan dari mulut Yohane berhasil menghentikan niatnya. Yohane mengangkat tangan kirinya yang dilingkari jam tangan, menunjukkan dengan percaya diri pada Anala. "Liat ini, aku udah pakai jam tangan yang kamu belikan. Kamu selalu nyuruh aku pakai ini kan? jam tangan 20 juta yang kamu belikan waktu kita bertengkar di jembatan biru."
Anala mengernyit, keningnya sudah kusut bak setrikaan yang diperas abis-abisan. Ia memejamkan matanya, menaikkan kembali emosi yang masih dipuncaknya. "Apasih? ngapain aku harus beliin kamu jam tangan seharga 20 juta?" ia memperhatikan jam itu lalu kemudian menepuk keningnya.
"Karena kamu cinta sama aku."
"Najis!" ujarnya tanpa pikir. Tangannya dengan sigap meraih jam itu dan membukanya dengan paksa. "Sini balikin lagi jam nya. kamu nggak pantes make barang mewah!"
Elliot yang memperhatikan itu hanya bisa kebingungan dan terus bertanya pada hati nuraninya. Jelas tak ada cinta dimata Anala saat memandang Yohane, ia berubah. Dan kali ini Elliot memutuskan untuk percaya seratus persen.
Untung lah aku mengejar kamu sampai ke sini.