Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Gila
Pagi itu udara terasa berat. Rumah Ratna dipenuhi keheningan yang aneh, seperti ada sesuatu yang mati di dalamnya. Diana berdiri di depan pintu kamar mamanya, tangannya bergetar sebelum akhirnya ia mengetuk perlahan. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras.
“Ma… Mama, buka pintunya. Aku sama Dion ingin bicara sebentar,” ucapnya pelan.
Namun tetap tidak ada respon. Hanya suara langkah kecil dari balik pintu, lalu sunyi lagi. Diana memandang Dion yang berdiri di belakangnya. Wajah adiknya terlihat cemas. “Kak, kalau Mama terus seperti ini, kita harus segera melakukan sesuatu,” kata Dion lirih.
Diana mengangguk pelan, lalu menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk memutar gagang pintu. Terkunci. Ia akhirnya meminta Dion menjemput tukang kunci yang sudah mereka panggil sejak pagi. Butuh beberapa menit sebelum kunci berhasil dibuka. Begitu pintu terbuka, aroma pengap langsung menyergap.
Ratna duduk di sudut kamar, rambutnya berantakan, matanya kosong menatap lantai. Tirai tertutup rapat, hanya sedikit cahaya yang masuk dari celah kecil.
“Ma…” panggil Diana perlahan sambil mendekat. Tapi Ratna tidak menoleh.
Dion mencoba membantu, ia berjalan mendekat dengan hati-hati. “Mama, ini kami."
Tiba-tiba Ratna berdiri dan berteriak, “Jangan bawa aku! Aku tidak mau pergi ke penjara! Aku tidak bersalah!” Suaranya serak dan parau, penuh ketakutan. Diana tersentak mundur, air mata langsung menggenang di matanya.
“Ma, tidak ada yang membawa Mama ke penjara. Kami ingin Mama diperiksa biar bisa sembuh,” ujar Diana lembut, mencoba menenangkan. Tapi Ratna justru memukul dadanya sendiri dan terus menangis.
Dion akhirnya menatap kakaknya dan berbisik, “Kita tidak bisa terus seperti ini, Kak. Mama harus dapat pertolongan.”
Setelah banyak perdebatan dan air mata, akhirnya dengan bantuan dua petugas medis yang mereka panggil, Ratna berhasil dibawa keluar rumah. Ia berteriak sepanjang jalan, memohon agar tidak dibawa ke “tempat orang gila”, tapi tidak ada pilihan lain. Tubuhnya yang kurus tampak lemah, tapi matanya penuh ketakutan yang membuat Diana hampir tak sanggup menatapnya.
Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat panjang. Diana duduk di kursi depan mobil ambulans, menatap keluar jendela dengan mata basah. Di belakangnya, Ratna terus bergumam sendiri, kadang berteriak menyebut nama Amar, kadang memohon agar tidak dipenjara. Dion hanya bisa diam, tangannya terkepal di pangkuan. Ia merasa gagal menjadi anak yang bisa melindungi mamanya.
Sesampainya di rumah sakit jiwa, mereka disambut oleh dokter perempuan bernama Yulinda. Perawakannya tenang dan lembut, membuat Diana sedikit lega. Setelah berbicara sebentar, dokter meminta waktu untuk memeriksa Ratna di ruang khusus. Ratna sempat menolak masuk, tapi akhirnya berhasil dibujuk oleh suster yang berpengalaman.
Diana dan Dion menunggu di ruang tunggu yang sunyi. Hanya terdengar suara langkah petugas dan pintu yang sesekali terbuka-tutup. Waktu berjalan lambat, dan suasana semakin menekan.
Setelah hampir satu jam, dokter Yulinda keluar. Wajahnya tampak serius. Diana langsung berdiri, “Bagaimana Dok kondisi Mama saya?”
Dokter itu menarik napas pelan sebelum menjawab, “Ibu Ratna mengalami depresi berat. Kondisi psikologisnya sangat rapuh, bahkan setiap kali kami mencoba menanyakan penyebab stresnya, beliau langsung menunjukkan reaksi panik. Ada kemungkinan beliau mengalami trauma mendalam yang belum terselesaikan.”
Dion menatap dokter itu tidak percaya. “Tapi Mama saya tidak pernah bercerita apa-apa. Mama berubah begitu saja.”
“Depresi bisa muncul tiba-tiba kalau seseorang menekan perasaan bersalah atau ketakutan dalam waktu lama,” jelas dokter Yulinda lembut. “Tadi beliau sempat berteriak berulang kali, katanya tidak mau masuk penjara. Saya khawatir ada hal besar yang beliau sembunyikan dan tidak sanggup dihadapi.”
Diana menggigit bibirnya. Matanya berkaca-kaca. “Jadi Mama saya, harus dirawat di sini?”
“Sebaiknya begitu,” jawab dokter itu tegas tapi lembut. “Kalau dibiarkan pulang, kondisinya bisa makin memburuk. Kami akan bantu dengan terapi dan obat penenang ringan. Tapi, kalian harus siap, proses pemulihan ini nggak akan cepat.”
Diana hanya bisa mengangguk lemah. Dion menatap lantai, rahangnya menegang. Keduanya sama-sama tak sanggup berkata apa pun lagi.
Beberapa jam kemudian, Ratna resmi masuk ke ruang perawatan. Ia diberikan pakaian pasien, dan suster menuntunnya menuju kamar. Namun Ratna terus menolak, berteriak histeris saat melihat pintu yang terkunci dari luar.
“Aku tidak mau! Aku bukan orang gila! Jangan kunci aku! Aku tidak mau ke penjara!” teriaknya sambil menangis. Diana menutup mulutnya, mencoba menahan tangis. Ia tak pernah membayangkan hari di mana ia harus meninggalkan mamanya di tempat seperti ini.
Suster meminta mereka untuk keluar agar pasien bisa tenang. Tapi sebelum pergi, Diana sempat menatap mamanya dari jendela kecil di pintu. Ratna duduk di lantai, menggigil, memeluk lututnya. Pandangannya kosong.
“Maaf, Ma…” bisik Diana pelan. Air matanya menetes deras. “Kami hanya ingin Mama sembuh.”
Malam itu, setelah semua proses administrasi selesai, Diana dan Dion pulang dalam diam. Tak ada satu pun dari mereka yang bicara sepanjang perjalanan. Hujan turun rintik-rintik, menambah kesan muram di antara mereka.
Begitu tiba di rumah, Diana langsung duduk di sofa dan menatap ruang kosong. Semua terasa begitu cepat, pagi masih mereka di rumah bersama Mama, kini Mama sudah berada di rumah sakit jiwa.
Dion berjalan ke dapur, menuangkan air ke gelas lalu menatap ke luar jendela. “Kak,” katanya pelan, “kalau semua ini gara-gara Amar, aku akan mencari dia. Aku akan menuntut penjelasan pada bajingan itu."
Diana menoleh dengan mata merah. “Tapi Amar bukan orang biasa, Dion. Dia tahu sesuatu yang kita tidak tahu. Mama bahkan takut sampai seperti itu. Itu artinya rahasia mereka cukup besar.”
“Justru karena itu kita harus mencari tahu,” balas Dion tegas. “Kita tidak bisa diam saja dan menunggu Mama semakin hancur.”
Diana menghela napas, suaranya gemetar. “Kita bahkan tidak tahu mulai dari mana...”
Dion menatap kakaknya lama, lalu berkata, “Mulai dari Elma.”
Diana menatapnya heran. “Maksudmu?”
“Elma satu-satunya orang yang berhubungan dengan Amar dan Mama. Dia pasti tahu sesuatu tentang Amar. Besok, kita temui dia.”
Diana menatap wajah serius adiknya, lalu perlahan mengangguk. Ia tahu keputusan itu berisiko, tapi mereka sudah kehabisan cara.
Sementara itu, di rumah sakit jiwa, Ratna terjaga di tempat tidurnya. Matanya terbuka lebar, memandangi langit-langit ruangan yang dingin. Tetesan air hujan menetes dari atap, menciptakan suara monoton yang mengisi kesunyian malam. Ia menggenggam erat ujung selimut, tubuhnya gemetar.
“Amar…” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar. “Kamu tidak akan menang, aku masih memiliki cara."
Tapi setelah itu, ia menunduk, matanya basah oleh air mata. Suara tangis kecil terdengar pelan, menggema di ruang sepi itu.
Dan di tempat lain, di sebuah rumah yang remang, Amar duduk di depan jendela sambil menatap langit. Di tangannya, ia menggenggam selembar foto lama, foto bayi laki-laki yang pernah ia tunjukkan pada Ratna. Senyum tipis terukir di wajahnya.
“Ini baru permulaan, Ratna,” gumamnya dingin. “Kau baru akan merasakan sedikit dari apa yang dulu kau lakukan pada semua keluargaku."
Malam terus berjalan dalam kesunyian. Dan di dua tempat berbeda, dua hati terikat oleh masa lalu yang belum selesai, satu diliputi ketakutan, satu lagi dikuasai dendam yang tak akan berhenti sampai semuanya hancur.
Sekarang tinggal dirimu menyongsong bahagia tanpa ada bayang masa lalu yang menyakitkan