Erina (29th) dipaksa Ayahnya bercerai dari suaminya. Erina dipaksa menikah lagi untuk menebus kesalahan Ayahnya yang terbukti telah menggelapkan uang perusahaan.
Agar terbebas dari hukuman penjara, Erina dipaksa menikah dengan Berry, seorang CEO dari perusahaan ternama tempat Ayahnya bekerja.
"Tolong Nak. Ayah tidak ada pilihan lain. Bercerai lah dengan Arsyad. Ini jalan satu-satunya agar ayahmu ini tidak masuk penjara," Wangsa sangat berharap, Erina menerima keputusannya,
"Tinggalkan suamimu dan menikahlah denganku! Aku akan memberimu keturunan dan kebahagiaan yang tidak kau peroleh dari suamimu." pinta Berry tanpa peduli dengan perasaan Erina saat itu.
Bagaimana Erina menghadapi polemik ini? Bagaimana pula reaksi suami Erina ketika dipaksa bercerai oleh mertuanya sebagai syarat agar Erina bisa menikah lagi?
Yuk baca kisah selengkapnya, seru dan menegangkan! Happy reading!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 Dewa Penolong
"Badan Alana sejak sore tadi belum juga turun," jelas pengasuh benar adanya.
"Ya Allah kenapa tidak kau antar ke dokter atau puskesmas?" tanya Erina langsung mengecek suhu badan Alana dengan termometer.
"Maaf Bu. Saya sedang tidak pegang uang. Jadi saya tidak bisa membawanya ke Puskesmas atau pun ke dokter. Tapi tadi saya sudah memberinya madu dan mengolesinya dengan minyak bawang, tapi panasnya belum juga reda. Maafkan saya Bu," ujar pengasuh menunduk sedih.
"Ya Allah..." Erina dengan sigap memeriksa isi dompet yang ada di dalam tasnya.
Dia menelan salivanya dengan susah payah. Seraya mencari sesuatu yang bisa dijadikan alat pembayaran untuk dijual. Dalam dompetnya hanya sisa sepuluh ribu rupiah saja.
"Kita harus bawa Alana ke rumah sakit!" lirihnya bersiap membawa Alana pergi dari rumah tersebut setelah mendapatkan sesuatu dari bawah tumpukan bajunya.
"Tapi Bu ini sudah malam. Pasti sudah tidak ada angkot di luar sana," ujar pengasuh mengingatkan.
"Allah mahakuasa, pertolongan Allah pasti akan datang dengan sendirinya," ujar Erina yakin.
Seraya memeluk Alana yang masih terpejam lalu mengangkatnya dengan pelan.
"Sabar sayang. Kamu pasti sembuh," lirihnya mencium kening Alana yang suhunya 40⁰ C.
Pengasuhnya membuka pintu depan secara perlahan. Wajahnya seketika berbinar manakala melihat sebuah mobil mewah di depan pintu pagar rumah kontrakan Erina.
"Ya Allah, benar Bu. Allah maha penolong. Lihat di sana ada mobil yang berhenti. Nanti saya coba untuk meminta tolong sama sopirnya," pengasuh setengah berlari menuju mobil yang berada di depan pagar rumah kontrakan Erina.
Pengasuh tersebut segera meminta tolong pada sopir yang sedang menelepon seseorang. Seraya mengetuk-ngetukkan kaca mobil.
Kaca jendela dibuka perlahan, "Tolong bawa pulang. Saya masih ada urusan penting!" ujar lelaki itu menutup teleponnya.
"Ada apa Mbak?" tanya lelaki yang ternyata Berry, dia belum beranjak dari tempat itu karena harus menerima telepon dari Roni terlebih dahulu.
"Mas, tolong bisa bantu kami?" tanya pengasuh yang masih terlihat muda.
"Bantu apa ya?" tanya Berry menautkan kedua alisnya.
"Itu anak majikan saya sakit demam dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Tolong antar mereka ya Mas! Kasihan mereka orang baik tapi nasibnya sedang tidak baik-baik saja," jelas pengasuh yang membuat Berry merasa khawatir.
Berry cepat tanggap. Dia langsung keluar lalu menuju rumah tersebut. Tidak peduli dengan pengasuh yang terlihat bingung menatap punggungnya.
"Kenapa anakmu?" tanya Berry saat Erina keluar sambil menggendong anaknya.
"Panasnya tinggi Tuan. Kalau tidak keberatan bisakah Tuan mengantarkan kami ke rumah sakit terdekat? Kumohon Tuan, bisa ya! Saya tidak tahu harus minta tolong ke siapa lagi. Malam-malam begini biasanya tidak ada mobil angkot yang beroperasi," jelas Erina memohon dengan sangat agar Berry mau membantu mengantarkannya ke rumah sakit.
Berry menatap waktu di pergelangan tangannya, memang saat itu waktu menunjukkan hampir jam 12 malam.
"Bisa. Sini biar aku yang gendong," ujar Berry menawarkan diri untuk menggendong Alana.
"Tidak usah Tuan, biar saya aja," Erina menolak dengan halus. Dia tidak ingin kehilangan moment cinta pada anak angkatnya itu.
"Baiklah." Berry setengah berlari menuju mobilnya. Seraya membukakan pintu mobil.
"Teh, sebaiknya Teteh tunggu di rumah saja ya, tidak usah pulang!" pesan Erina sebelum masuk ke dalam mobil.
"Baik Bu. Lagi pula saya sudah ngantuk,"
"Oh iya, Teteh istirahat saja ya! Jangan lupa kunci semua pintu!"
"Baik Bu!"
Setelah menitip pesan untuk pengasuh Alana, Erina segera menaiki mobil tersebut. Seraya mendekap erat putrinya. Rasa khawatir jelas tergambar dari wajahnya.
"Kamu tenangnya! Anakmu pasti akan baik-baik saja," ujar Berry menenangkan jiwa Erina yang terlihat sangat khawatir.
"Ya Tuan. Emmm Tuan bisa kah aku minta tolong lagi?" tanyanya lirih.
"Minta tolong apa?"
Erina membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Ini Tuan. Tolong beli cincin ini untuk biaya anak saya. Saya akan tebus cincin tersebut jika memang Tuan tidak berkenan. Saya janji akan menebusnya setelah saya mendapatkan gaji dari sekolah. Kumohon Tuan, saya tidak memiliki benda lain selain ini," lirih Erina mengiba.
Berry terhenyak, sekurang itu kah Erina dalam perekonomian? Berry merasa sangat prihatin pada keadaan Erina saat ini. Dia Sesekali menatap cincin tersebut.
"Ini cincin kawin?" tebak Berry benar adanya.
"Iya Tuan. Ini memang sudah tidak berharga lagi buat saya, namun saya sangat membutuhkan biaya untuk pengobatan anak saya. Kalau berkenan, Tuan bisa menjualnya lagi atau berikan pada orang lain kalau tidak suka. Tapi saya mohon, ini penting bagi saya agar cincin ini bisa diuangkan saja," jelas Erina dengan wajah sendu.
Sungguh pemandangan yang sangat bertolak belakang dengan peristiwa sebelumnya. Erina yang ceria, cerewet, berani, kini terlihat rapuh dengan mendekap seorang anak kecil yang sedang tertidur dalam keadaan sakit.
"Simpanlah dulu cincin itu! Suatu saat kau bisa menjualnya untuk keperluan lain. Kalau masalah biaya pengobatan anakmu nanti aku yang tanggung semuanya sampai sembuh," jelas Berry tanpa mau dibantah.
"Tapi Tuan..." ujar Erina dengan bibir bergetar. Entah apa yang ingin ia katakan pada lelaki yang selama ini sering membuatnya kesal. Kini lelaki itu bak malaikat yang menjelma sebagai manusia, baik sekali.
"Jangan pernah membantah! Simpan cincin itu!" ujarnya datar.
Erina menatap Berry dengan sendu. Dia tidak menyangka di saat genting seperti ini Berry yang bisa menolongnya.
Berry merasa kikuk dipandang seperti itu. Seraya melirik Erina yang masih menatapnya dengan sendu.
"Sudah jangan pandangi aku segitunya. Nanti kamu benar-benar naksir sama aku lagi," ujarnya cukup menyentil Erina. Namun sebenarnya dia ingin mencairkan suasana.
Erina sedikit malu berkali-kali tertangkap basah tengah menatap dan melakukan kesalahan yang memporak-porandakan perasaannya. Erina bergeming sampai akhirnya tiba ke tempat tujuan.
"Alhamdulillah sudah sampe,"
Berry memarkirkan mobilnya ke area parkir. Sebelum turun, suara lirih itu terdengar lagi.
"Sebelumnya terima kasih atas bantuannya Tuan," ujar Erina merasa tenang.
Berry tersenyum lembut.
"Sudah cepat kita bawa anakmu ke UGD!"
Erina langsung membawanya masuk ke UGD, agar mendapat tindakan lebih cepat.
Sementara Berry langsung menuju bagian pendaftaran.
Dokter jaga langsung memeriksa keadaan Alana dengan intens. Cukup lama untuk mengetahui keadaannya.
Beberapa menit kemudian, seorang suster keluar dengan memanggil seseorang.
"Orang tua pasien Alana!"
"Iya saya, Sus," jawab Erina yang berada di samping Berry, seraya mendekat.
"Silakan ke ruangan dokter! Sebaiknya bersama ayah Alana,"
"Tapi Sus, saya..." jawabnya menggantung.
"Iya siap Sus, saya ayahnya Alana," sambar Berry mantap, ia tak peduli dengan tatapan Erina yang menuntut penjelasan.
cerdik kau zannn😀