Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Barra: Kembali pada Kirana
*Enam Bulan Lalu*
Barra lama terduduk lesu di depan ruangan dr. Nurman. Ia terus memikirkan penjelasan dokter spesialis syaraf itu.
Dengan langkah gontai, Barra berjalan menuju kamar istrinya. Ia berhenti di depan pintu. Perkataan panjang dr. Nurman menghantam batinnya.
Barra tidak tahu apa yang akan ditemuinya di balik pintu. Ia menarik nafas panjang sebelum membuka pintu.
Ceklek.
Pandangan Barra langsung tertuju pada wanita yang sangat dicintainya. Ia menelisik detail wajah yang selalu mengusik hati dan pikirannya.
Kirana... Ah, dia cantik sekali. Rambutnya, matanya, hidung, dan bibirnya... Ucap Barra dalam hati.
Ingin rasanya Barra berlari memeluk Kirana. Menciumnya bertubi-tubi. Tapi, ia harus menahan diri. Kirana tidak mengingatnya. Bagi Kirana, ia hanya pria asing. Barra tidak mau membuat Kirana tidak nyaman. Apalagi, dirinyalah yang membuat Kirana dalam kondisi seperti ini.
"Bu Wulan...,"
Kenapa aku menyapa bu Wulan duluan. Bodoh! Seharusnya aku memanggil namanya, rutuk Barra.
"Eh, iya. Mba Kirana ini Mas Barra," ujar Bu Wulan.
Barra melihat Kirana terus menatapnya. Jantung Barra berdegup kencang. Sudah lama sekali sejak Kira menatapnya. Benar-benar menatapnya.
Kirana mengulurkan tangannya.
Dia mau apa? Memintaku memeluknya?
"Ehem, ehem," Bu Wulan berdehem.
Barra menatap bu Wulan. Apa?
"Ehem, ehem," Bu Wulan memberikan kode. Tangannya sedikit terjulur.
Apa maksud Bu Wulan? Kirana mau apa? Salim? Betul kah?
Barra mengulurkan tangannya ragu. Kirana menyambut, mencium punggung tangannya dengan khidmat.
Saat bibir Kirana menyentuh punggung tangannya, Barra merasa dunia berhenti sejenak. Dadanya sesak oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Ini adalah kali kedua Kirana memberikan penghormatan sebagai istri pada Barra. Yang pertama, lima tahun lalu, saat mereka selesai ijab kabul. Kali ini, Ada sesuatu bersama Kirana yang tidak dibawanya lima tahun lalu.
Di balik ciuman kecil itu, Barra merasa dimiliki sekaligus dihargai. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ada kehangatan yang menjalar menenangkan dirinya yang selama ini keras dan tak tersentuh. Barra tidak menyangka, sesuatu yang sesederhana itu bisa mengguncang hatinya begitu dalam.
Selanjutnya, Barra tidak sanggup berbicara langsung dengan Kirana. Ia terlalu gugup. Barra mencoba mengamankan jantungnya yang hendak melompat keluar. Ia memilih bicara dengan bu Wulan daripada dengan Kirana. Ia bertanya semua hal yang berkaitan dengan pekembangan dan perawatan Kirana pada wanita yang sudah membesarkannya itu.
Untuk menghindari kecanggungan dengan Kirana, Barra memilih menyelesaikan pekerjaannya. Ia membuka ipad-nya lalu berkomunikasi dengan beberapa bawahannya.
"Huuuh," Kirana menghembuskan nafas kasar.
Barra mengangkat kepalanya melihat Kirana. Alisnya terangkat .
"Bu, tolong ambilkan minum," ujar Kirana.
Barra melihat ada semburat kemerahan di pipi Kirana.
Kenapa dia menggemaskan sekali, Barra menahan senyum.
Malam harinya,
Sesuai rencana sebelumnya, Bu Wulan akan pulang. Barra tidak tega memintanya terus berjaga di rumah sakit. Sudah hampir satu bulan, selama 24 jam dia menemani Kirana.
"Malam ini, ibu pulang saja dulu. Istirahat di rumah. Biar aku yang menemani Kirana," ucap Barra saat Kirana tertidur sore tadi.
"Mas, saya pamit. Semua kebutuhan Mba Kirana ada di dalam lemari. Telepon aja kalau Mas Barra bingung," ujar Bu Wulan berpamitan.
"Ibu... Jangan ke mana-mana," teriak Kirana.
Barra melihat Kirana menahan tangis.
"Jangan cengeng Mba! Di sini banyak perawat. Mba Kirana juga sudah jauh lebih baik!" seru bu Wulan menatap Kirana tajam.
Barra heran saat melihat air mata Kirana jatuh di pipinya. Kirana bukan tipe wanita yang mudah menangis. Apakah Kirana takut ditinggalkan?
"Bu Wulan butuh istirahat, Kira. Dia sudah lebih dari 3 minggu menjagamu. Sekarang, aku ada di sini. Aku yang akan menjagamu," yakin Barra.
Barra sengaja menyebut Kirana dengan panggilan Kira. Panggilan yang sudah lama tidak dipakainya, karena Kirana menolak tiap kali Barra menggunakannya. Namun, panggilan itu dekat dengan hati Kirana. Barra hanya berharap Kirana bisa mempercayainya.
Barra terus memandangi Kirana. Hatinya begitu pilu melihat wanita yang biasanya kuat, menjadi sangat rapuh. Menangis karena takut ditinggalkan oleh seorang perempuan tua.
Barra baru selesai membersihkan diri. Ia melihat Kirana sudah tertidur. Barra mendekati Kirana, memandangi wajahnya cukup lama. Barra seolah sedang memadamkan rindu.
Barra menyingkirkan rambut yang menutupi kening dan pipi Kirana. Lalu, dengan lembut, sangat lembut, Barra menyentuhkan jarinya di pipi Kirana. Ia menghela nafas berat.
Barra kemudian mematikan lampu, merebahkan diri di sofa. Ia melihat perkembangan proyek perusahaan sebelum akhirnya tertidur.
Bruk!!
Barra tersentak bangun mendengar suara jatuh. "Kira!" panggilnya.
Dimana dia?
"Kira!" panggilnya lagi. Barra menyalakan lampu kamar.
"Ya Allah! Kira apa yang terjadi?" Barra berlari ke arah Kirana.
Kenapa dia bisa jatuh?
"Kenapa bisa jatuh?" Barra melingkarkan tangannya di pinggang Kirana, mengangkat dan membantunya duduk di atas kasur. Barra bisa mencium bau harum dari tubuhnya Kirana.
"Kira... ?" tanyanya lagi. Kecepatan jantungnya bertambah.
"Hmmm... Aku ingin pipis," jawab Kirana malu-malu. Pipinya bersemu merah.
Ternyata ingin ke kamar mandi, Barra tersenyum samar.
Barra mengangkat Kirana ke dalam dekapannya. Kirana langsung memeluk leher Barra karena takut terjatuh. Kulit Barra meremang merasakan sentuhan Kirana di lehernya. Saat ini, kecepatan jantung Barra seperti mobil F1.
"Kenapa tidak bangunkan aku?!" Barra mencoba menetralkan suaranya.
Barra menurunkannya di kloset, lalu berjongkok di depan Kirana. Barra bisa melihat dengan detail wajah Kirana.
Bibirnya... Bibirnya indah sekali, batin Barra. Ingin rasanya mendaratkan kecupan di bibir merekah itu. Barra menunduk, membuang jauh-jauh pikirannya.
"Bisa sendiri dari sini?" tanya Barra dengan suara rendah.
Kirana mengiyakan dengan anggukan kepala.
Kenapa pipinya merah lagi? Gemas sekali!
Barra menyentuh tipis pipi Kirana sebelum keluar dari kamar mandi.
Barra menunggu tepat di depan pintu kamar mandi.
"Mas...!" Barra mendengar panggilan Kirana.
Bukannya menjawab, Barra malah memejamkan mata.
"Mas... Mas Barra... " panggil Kirana lagi.
Barra masih memejamkan mata. Setitik air keluar dari sudut matanya.
'Mas'... Betapa Barra sangat merindukan sebutan itu keluar dari mulut Kirana. Sudah lama, Kirana tidak pernah memanggilnya dengan embel-embel 'Mas'di depan namanya.
Merdu sekali. Panggil lagi, Kira.
"Mas... Mas... Mas Barra, aku sudah selesai," kali ini Kirana mengeraskan suaranya.
Barra menghapus air matanya lalu,
Ceklek. Pintu terbuka.
"Sudah?" Barra memastikan.
"Sudah, Mas," jawab Kirana pelan.
Barra menggendongnya lagi, membawa dan merebahkannya di atas tempat tidur.
"Aduh!" Kirana menahan sakit.
"Kenapa? Ada yang sakit?" Barra memeriksa lengannya. Melihat ada memar biru pada sikunya.
"Sakit?" Barra menyentuhnya lagi.
"Ish, iya Mas. Jangan dipegang!" Kirana meringis menarik tangannya.
"Tunggu sebentar!" Barra keluar dari ruangan. Ia meminta obat memar pada suster.
"Mana sini, mana yang sakit?"
Kirana mengulurkan lengannya. Barra mengoleskan salep dengan lembut.
"Lain kali, jangan ragu bangunkan aku kalau kamu butuh apa-apa."
Kirana diam.
"Kira...?" Barra mengalihkan pandangannya. Sekali lagi pandangan mereka bertemu.
Aku bisa tenggelam di matanya
"I...iya Mas," Kirana gugup.
Sebaiknya aku sudahi, sebelum aku tidak bisa menahan diriku sendiri.
"Sudah. Ada lagi yang sakit?" Barra memutuskan pandangan. Berdiri.
Kirana menggeleng.
"Tidurlah lagi."
Barra mematikan lampu kemudian kembali tidur di atas sofa.