Di sebuah kampung yang sejuk dan dingin terdapat pemandangan yang indah, ada danau dan kebun teh yang menyejukkan mata jika kita memandangnya. Menikmati pemandangan ini akan membuat diri tenang dan bisa menghilangkan stres, ada angin sepoi dan suasana yang dingin. Disini bukan saja bercerita tentang pemandangan sebuah kampung, tapi menceritakan tentang kisah seorang gadis yang ingin mencapai cita-citanya.
Hai namaku Senja, aku anak bungsu, aku punya satu saudara laki-laki. Orangtuaku hanya petani kecil dan kerja serabutan. Rumahku hanya kayu sederhana. Aku pengen jadi orang sukses agar bisa bantu keluargaku, terutama orangtuaku. Tapi kendalaku adalah keuangan keluarga yang tak mencukupi.
Apakah aku bisa mewujudkan mimpiku?
yok baca ceritanya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yulia weni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Malamnya, setelah sholat Magrib, ibu dan ayah bercerita mengenai uang untuk pembayaran uang sekolah Senja, yang belum juga terkumpul.
"Bu, bagaimana ya? Kubis kita yang dua karung tadi sudah Ayah jual dan dapat hasilnya 75.000. Itupun hanya cukup untuk beli beras dan kebutuhan rumah kita. Ayah sedang bingung bagaimana cara kita bayar lunas biaya sekolah Senja. Ditambah lagi, apakah Ayah bisa menepati janji Ayah pada Senja untuk kuliahannya nanti?" ucap Ayah dengan nada sedih.
"Iya ya, Yah, atau bagaimana kalau kita minta tolong Reihan saja ya, Yah?" usul Ibu.
"Jangan, Bu, kita tidak boleh menyusahkan Reihan lagi. Reihan juga ada tanggungannya, punya istri dan dua anak. Ekonominya juga tidak stabil, Bu. Kita harus cari jalan lain," ucap Ayah dengan nada bijak. Ibu mengangguk paham, menyadari bahwa Ayah benar.
Senja tak sengaja mendengar pembicaraan orangtuanya. "Ya Allah, bagaimana ini?" ucap Senja sedih. "Bagaimana jika Ayah memang tidak ada uang untuk aku lanjutkan pendidikan? Apakah aku akan gagal dalam mimpiku?" gumam Senja, air matanya mulai menggenang. Ia merasa takut kehilangan kesempatan untuk mencapai cita-citanya.
"Hmm, besok Ayah coba temui Pak Asep, Bu. Ayah coba pinjam uang untuk pelunasan utang Senja dulu di sekolah. Agar anak kita bisa menerima tanda lulusnya. Nanti Ayah bayar dengan kerja setiap hari," usul Ayah dengan nada penuh harapan. Ibu mengangguk setuju, "Itu ide yang bagus, Yah. Semoga Pak Asep mau membantu kita."
"Iya, Bu, doakan saja ya," ucap Ayah. "Tapi, Yah, bagaimana dengan pendidikan Senja?" tanya Ibu khawatir. Ayah menunduk, "Ayah belum tahu, Bu. Ayah hanya bisa berharap bahwa ada jalan keluar untuk biaya kuliahnya nanti." Ibu menghela napas, "Semoga ada jalan terbaik untuk Senja."
"Kita serahkan sama Allah ya, Bu. Allah tempat meminta segala sesuatu. Semoga Allah beri kita rezeki saat Senja mau daftar kuliah nanti. Allah Maha Melihat dan Mendengar," ucap Ayah dengan penuh harap. Ibu mengangguk setuju, "Aamiin, semoga doa kita dikabulkan." Mereka berdua berdoa bersama, memohon kemudahan dan rezeki untuk masa depan Senja.
Senja mengaminkan doa orang tuanya dari depan pintu kamarnya, "Aamiin, ya Allah." Kemudian, Senja keluar menemui orangtuanya dengan wajah ceria, pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka sebelumnya. "Selamat malam, Bu... Yah," ucap Senja dengan senyum.
Ayah dan Ibu tersenyum, berusaha menyembunyikan kekhawatiran mereka. "Selamat malam, Nak. Sudah mau siap sholatnya?" tanya Ibu. Senja mengangguk, "Sudah, Bu." "Ya sudah, ayo kita makan malam lagi," ajak Ibu.
"Baik, Bu. Senja bantu Ibu ya," ucap Senja sambil membantu Ibu menyiapkan hidangan makan malam. Suasana makan malam terasa hangat dan penuh keakraban, meskipun kekhawatiran tentang biaya kuliah masih menghantui pikiran Ayah dan Ibu.
****************
Sementara di rumah Novi, Ibu keluar kamar setelah sholat, berkumpul makan malam bersama keluarga. "Ayo, anak-anak, makan malam sudah siap!" seru Ibu. Novi dan adiknya bergegas menuju meja makan, "Wah, Buat apa, Bu?" tanya Novi penasaran. "Hari ini Ibu masak favorit kalian, nasi goreng dan bakwan," jawab Ibu sambil tersenyum. Mereka semua duduk bersama, menikmati hidangan hangat sambil mengobrol tentang kegiatan hari itu. Suasana rumah Novi terasa hangat dan penuh kebersamaan.
Novi sangat rindu momen ini, "Apakah aku akan bisa menikmati ini setiap hari?" gumam Novi dalam hati. Ia merasa bahagia bisa berkumpul dengan keluarga, menikmati hidangan lezat buatan ibunya, dan mengobrol santai bersama. Novi tersenyum, merasa bersyukur atas kehangatan keluarga yang selalu ada untuknya.
Novi sangat rindu momen ini, "Apakah aku akan bisa menikmati ini setiap hari?" gumam Novi dalam hati. Ia merenungkan perubahan yang terjadi dalam keluarganya. "Kelembutan Ibu yang baru aku rasakan. Tawa Ayah yang keluar saat bercanda. Ibu yang sudah bisa diajak bercanda. Adikku yang sekarang sudah perhatian padaku."
Novi merasa terharu, menyadari bahwa kesakitan yang dialaminya mungkin menjadi kesempatan bagi keluarganya untuk lebih dekat. "Apa karena aku sakit, semuanya berubah baik?" tanya Novi pada dirinya sendiri, mencari jawaban atas perubahan positif yang terjadi di keluarganya.
Novi merenungkan pertanyaan itu, "Jika memang karena itu? Apakah aku harus bersedih atau bahagia dengan penyakit ini?" Ia merasa bingung, tidak tahu harus merasa bagaimana. Di satu sisi, ia ingin sembuh dan hidup sehat, tapi di sisi lain, ia melihat perubahan positif dalam keluarganya karena sakitnya itu.
"Apakah aku harus bersyukur atas penyakit ini karena membuat keluarga lebih dekat?" Novi merasa ragu, tapi kemudian ia menyadari bahwa ada hal yang lebih penting daripada penyakitnya, yaitu kehangatan dan kebersamaan keluarganya.
"Novi, kamu kenapa , Nak? Apa masakan Ibu tidak enak?
Novi tersadar dari lamunannya, "Oh, tidak, Bu. Masakan Ibu enak sekali, seperti biasa," jawab Novi sambil tersenyum. Ibu memperhatikan wajah Novi yang terlihat sedikit sedih, "Novi, kamu kenapa, Nak? Ada apa?" tanya Ibu dengan penuh perhatian.
Novi ragu sejenak, lalu menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit termenung saja." Ibu mengangguk, "Kalau ada apa-apa, kamu harus cerita sama Ibu, ya?" "HmM, iya, Bu," balas Novi, mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ibu.
"Ya sudah, sekarang kamu habiskan nasi kamu ya, siap itu minum obat. Semoga besok kita ke RS Kota ada tenaga,"
"Ya, Bu. Aku habisin dulu," jawab Novi sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. Setelah selesai makan, Ibu menyodorkan obat dan segelas air. "Ini, Nak. Minum obatnya." Novi mengangguk dan meminum obatnya. "Semoga besok kita ke RS Kota ada dimudahkan ya, Bu," kata Novi, berharap agar besok semuanya berjalan lancar. Ibu tersenyum dan membelai kepala Novi, "Iya, Nak. Semoga semuanya baik-baik saja."
"Ibu, Ayah, jika Novi tidak ada lagi, apakah Ibu dan Ayah akan sedih?"
Ayah tersedak saat minum air mendengar pertanyaan anaknya. "Novi, kamu tidak boleh ngomong itu, ya, Nak," ucap Ayah dengan lembut, sambil memberikan senyum hangat kepada Novi. "Kamu harus selalu berpikir positif dan sehat, ya."
"Ya, Nak, Ibu yakin kamu akan sehat," kata Ibu sambil tersenyum dan memeluk Novi dengan hangat.
"Ya Allah, sekarang aku bahagia," ucap Novi sambil meneteskan air mata, merasa lega dan damai setelah mendengar kata-kata penyemangat dari Ibu dan Ayah. Air matanya mengalir perlahan, tapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena perasaan syukur dan bahagia yang memenuhi hatinya.
"Aku sudah siap ya Allah.....