Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Bukan Sekadar Hadiah
Gendis merogoh tas kulit kecilnya dan mengeluarkan kotak beludru berwarna biru gelap. Kotak itu mungil, seperti tempat perhiasan. Dia meletakkannya di atas meja, lalu menatapnya lama dan berat.
“Ini … hadiah pernikahan. Dari dulu aku ingin kasih ini, tapi … aku selalu menunda karena merasa tak pantas.”
Srini menatap kotak itu dengan ragu. “Isinya apa, Mbak?”
“Sesuatu yang penting.” Gendis tersenyum tipis, lalu memalingkan wajah. “Katakan pada Ivy, aku pergi … bukan karena kalah, tetapi karena merasa bersalah dan ingin sembuh.”
Srini hendak menjawab, tetapi tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari lantai atas. Gendis refleks menoleh. Jantungnya berdebar ketika melihat sosok pria yang familiar berdiri di anak tangga, Noah.
Mereka saling pandang. Tanpa kata. Noah turun perlahan, mengenakan pakaian kasual dengan hoodie abu-abu dan celana santai.
Noah menghampiri Gendis, tetapi berhenti dua meter darinya. Pandangannya tajam, tetapi tak marah. Lebih seperti ingin tahu.
“Kamu datang ... untuk pamit?” tanya Noah datar.
Gendis mengangguk. “Ya. Tapi juga untuk … meminta maaf.”
Noah memasukkan tangannya ke saku. “Apakah itu cukup?”
Gendis menghela napas panjang, lalu menjawab pelan, “Mungkin tidak. Tapi setidaknya aku nggak pergi tanpa mencoba.”
Hening mengembang di antara mereka. Hujan di luar sudah hampir berhenti, hanya menyisakan bunyi tetesan dari atap genteng.
Noah maju selangkah. “Ivy belum bisa memaafkan kamu. Dan aku pun masih mencoba mengerti semua yang kamu lakukan.”
Gendis menggenggam jemarinya erat. “Aku tahu. Tapi aku tidak butuh dimaafkan malam ini. Aku hanya ingin dikenang bukan sebagai musuh, tapi sebagai seseorang yang tersesat.”
Noah menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Akan aku sampaikan pada Ivy. Tapi … Gendis.”
“Hm?”
“Apa kamu benar-benar akan pergi untuk selamanya?”
Gendis diam. Matanya mencari-cari makna dalam tatapan Noah. Akan tetapi, tak menemukannya.
“Aku akan pergi, Noah. Tapi entah ke mana. Kadang, kita nggak perlu tahu tujuannya, asal bisa menjauh dari luka yang sama.”
Noah menunduk. “Aku doakan kamu bisa lebih tenang bahagia di tempat baru.”
Saat itulah, Srini membuka pintu perlahan. “Mobilnya sudah siap, Mbak.”
Gendis mengangguk dan berbalik. Namun sebelum dia melangkah, Ivy muncul di anak tangga atas. Wajahnya tenang, tetapi matanya menyala dingin. Dia menatap ke bawah, ke arah Gendis dan Noah.
“Gendis!” panggil Ivy lantang.
Gendis menengadah. Matanya membelalak. Dia tak menyangka Ivy akan muncul. Ivy menuruni anak tangga perlahan, lalu berhenti satu meter di depan Gendis.
“Kalau kamu sudah selesai bermain drama di rumahku, ada satu hal yang perlu kamu tahu sebelum pergi.”
Gendis menelan ludah. “Apa?”
Ivy menatap tajam. “Kotak itu, yang kamu kasih sebagai hadiah pernikahan, aku sudah tahu isinya apa.”
Darah Gendis seakan berhenti mengalir. “A-Apa maksudmu?”
Ivy menoleh ke Noah, lalu kembali menatap Gendis. “Sebenarnya aku pernah melihat kotak itu sebelumnya. Suatu saat aku pernah melihat mama melihat kotak itu, mengeluarkan isinya, lalu menangis diam-diam. Dia menyebut ... namamu.”
Gendis terdiam. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar. Matanya berkaca-kaca. Noah pun terpaku. Dia jelas tidak tahu soal ini.
Ivy berjalan mendekat. “Kamu kira aku nggak tahu semua permainan mama? Kamu pikir aku bodoh, Gendis?”
Suara Ivy dingin, tetapi tegas. “Isi kotak itu bukan sekadar perhiasan. Tapi, terdapat potret dirimu si satu sisi, dan ada potret mama yang menggendong bayi perempuan bersama pria lain di sisi sebelahnya.”
Jantung Gendis berdegup kencang. Dia melangkah mundur. "K-Kamu..."
Ivy menatap tajam. “Dan sekarang aku tahu, kenapa mama begitu berambisi menghancurkan keluargaku dan menjadikanmu istri Noah.”
Di luar, suara petir menggema sekali lagi, menggetarkan kaca jendela. Gendis hanya berdiri terpaku. Tak tahu harus menjawab atau kabur. Kini bukan hanya rahasianya yang terbongkar, tetapi harga dirinya juga.
Gendis menghela napas, menghapus aurnya, lantas memaksakan senyum. Dia melangkah maju, kemudian mengulurkan tangan. Ivy tersenyum sinis dengan tangan terlipat di depan dada.
"Bagaimanapun aku minta maaf, Vy. Aku benar-benar sudah sadar kalau telah melakukan kesalahan. Aku menyesal, Vy. Jika memang aku tidak pantas mendapatkan maafmu, aku rela. Aku sadar kalau aku memang sejahat itu." Jemari Gendis masih menggantung di udara.
Perempuan tersebut masih menunggu uluran tangannya disambut. Namun, Gendis harus menelan kekecewaan. Ivy balik kanan dan menghiraukannya.
Perlahan Gendis menggenggam kembali jemarinya. Dia menurunkan lengan, kemudian tersenyum kecut. Perempuan tersebut berjalan mendekati Srini.
"Tetap sampaikan kotak itu kepada Ivy meski dia sudah tahu isinya, Mbok. Ini permintaan terakhirku." Gendis tersenyum tipis.
Langkah perempuan tersebut begitu berat ketika harus keluar dari sana. Dengan memberikan hadiah itu, Gendis berpikir Ivy akan memaafkannya. Namun, ternyata salah.
Gendis sadar bahwa dia sudah melukai Ivy sedalam itu. Dia merasa memang tidak pantas mendapatkan maaf darinya. Di bawah titik gerimis, Gendis melangkah masuk ke mobil Noah.
Jalanan basah dan sisa hujan malam itu mengantarnya menuju kehidupan baru. Tatapannya kosong ketika berada di dalam mobil. Perempuan tersebut meminta sopir Noah untuk mengantarnya ke sebuah bar sebelum pulang ke rumahnya.
"Tolong antar aku ke JW Throne Club, Pak." Gendis mengucapkan permintaannya itu tanpa menatap sang sopir.
"Baik, Mbak."
Sementara itu, Srini kini sesang mondar mandir di depan ruang kerja Ivy. Dia tengah mengalami kebimbangan. Majikannya tak mau menerima hadiah dari Gendis, sementara teman kecil Noah itu ingin Srini menyampaikannya kepada Ivy.
"Duh, gimana ini." Srini terus mondar-mandir sambil memikirkan cara untuk menyerahkan beda itu kepada Ivy.
Ketika pikirannya hampir buntu, Srini memutuskan untuk mengetuk pintu ruang kerja Ivy. Dia berdiri dengan punggung sedikit membungkuk. Tangannya mengepal dan sedikit gemetar ketika hendak mengetuk pintu di hadapannya.
Akan tetapi, ketika buku-buku jarinya hampir mendarat pada permukaan kayu, pintu itu terbuka. Noah menatap Srini dengan dahi berkerut.
"Kenapa, Mbok?" tanya Noah sambil menatap Srini yang terlihat cemas.
"Anu, begini Mas. Saya ...." Jemari Srini menggenggam kuat kotak yang tadi diberikan oleh Gendis.
"Kenapa diterima, Mbok? Nanti kalau Ivy tahu, dia bisa ngamuk!" ujar Noah dengan suara lirih.
"Itu, Mas. Saya ...."
"Kenapa bisik-bisik!" bentak Ivy.
Sontak Srini dan Noah tersentak. Noah perlahan memutar badan dan menatap sang istri. Dia tersenyum kikuk.
Tatapan ivy langsung tertuju pada jemari Srini yang menggenggam kotak beludru pemberian Gendis. Ivy mengambil alih kotak itu.
"Mbok, kan aku sudah bilang JANGAN DITERIMA!" teriak Ivy.
Ivy melempar kotak tersebut. Tanpa sengaja benda itu terbuka, sehingga isinya berhamburan ke atas lantai. Ternyata kotak itu tak hanya berisi liontin.
Liontin yanh ada di dalamnya pun tidak sama dengan milik Mentari. Ivy melangkah mendekatinya. Liontinnya bisa dibuka dan berisi dengan mutiara serta satu benda kecil lainnya.
"Apa ini?" gumam Ivy ketika menjumput benda kecil berwarna hitam tersebut.