"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Uang Bulanan
Kian yang mengerti arti tatapan istrinya pun angkat bicara. Napasnya terdengar tipis, nyaris sebagai desahan tak kasat mata.
“Pa, Ma... sebenarnya kami ingin hidup mandiri,” ucap Kian.
“Kami ingin tinggal di apartemen. Tapi aku belum sempat mencari yang cocok. Jadi Kanya… untuk sementara belum pindah kuliah.”
Aisyah dan Keynan saling bertukar pandang.
Sebentuk komunikasi diam antar pasangan yang sudah lama hidup bersama.
Lalu Keynan menatap Kian. Lurus. Dan dalam.
“Tak masalah kalian ingin hidup mandiri. Tapi jangan jadikan itu alasan untuk lepas dari pengawasan kami."
Hening.
Pernyataan itu terdengar lembut... tapi sarat peringatan.
“Dan Kian...” lanjutnya. Suara Keynan datar, nyaris tanpa emosi. Tapi justru karena itulah terasa berat.
“Jangan abaikan apa yang Papa katakan tempo hari di ruang kerja. Jangan paksa Papa bertindak keras padamu.”
Ia menatap lurus, tajam.
“Kau sudah dewasa. Kau tahu batasmu. Dan satu hal yang harus kau ingat baik-baik, menolong orang itu mulia, tapi bukan berarti kau harus turun tangan sendiri. Terlebih bila ‘pertolongan’ itu bisa menimbulkan fitnah. Maka, itu bukan lagi kebajikan. Tapi kebodohan.”
Jantung Kian berdegup sedikit lebih cepat.
Kepalanya menunduk. Sorot matanya menghindar.
“Aku mengerti, Pa.”
Ia tahu. Ia paham.
Ayahnya pasti sudah tahu tentang pertemuannya dengan Friska tadi malam.
Dan ayahnya bukan hanya marah, tapi sedang menegaskan garis batas, seolah berkata:
"Aku tahu apa yang kau lakukan. Sekali lagi, maka kau berhadapan denganku."
Dan Kanya, yang duduk di samping Kian, diam-diam ikut menatap suaminya. Dalam hati ia bergumam:
"Kenapa Papa berbicara sekeras itu pada Kian?"
Nada bicara Keynan tidak seperti biasanya. Datar, tapi berat. Seolah menyimpan amarah yang ditahan.
Kanya mulai bertanya-tanya… apa yang telah Kian lakukan?
Apa ada hubungannya dengan aroma parfum wanita, alkohol dan noda lipstik semalam?
Namun mulutnya tetap tertutup rapat.
Aisyah mendesah pelan, mencoba meredakan udara yang mulai menegang. Suaranya lembut, tapi cukup jelas untuk memotong kecanggungan.
“Kalau kalian memang ingin hidup mandiri, sebaiknya secepatnya cari apartemen yang cocok,” katanya.
“Kalau kalian mau, Mama bersedia bantu.”
Ia tersenyum lembut ke arah Kanya.
“Bukan karena kami tak senang kalian tinggal di sini. Justru Mama senang, rumah ini terasa lebih hidup. Tapi Mama kasihan pada Kanya. Perjalanan ke kampus terlalu jauh, dan dia harus menempuhnya setiap hari…”
Kian mengangguk pelan. Kali ini nadanya lebih ringan.
“Terima kasih, Ma. Tapi aku tak ingin merepotkan. Aku akan menghubungi kenalanku untuk cari apartemen secepatnya.”
Keynan menambahkan, nadanya tetap tenang tapi dengan bobot seorang ayah yang menasihati.
“Dan ingat, Kian. Kau sudah beristri.
Apartemen itu akan kalian tinggali berdua. Jadi pastikan tempat itu membuat kalian sama-sama nyaman.”
“Baik, Pa.” Kian kembali mengangguk. Matanya menatap piring kosong di meja makan.
Dan di samping Kian, Kanya menunduk perlahan.
Dalam diam, ia merasakan syukur melingkupi hatinya.
"Aku hanya menantu, perempuan asing yang datang dari dunia yang jauh dari keluarga ini… tapi mereka memperlakukanku seperti putri sendiri."
Mungkin ini bukan rumah yang ia kenal sejak kecil. Tapi, pagi ini, Kanya merasa… ini bisa menjadi rumah yang baru. Jika hatinya diizinkan tumbuh di dalamnya.
Namun tiba-tiba suara Aisyah terdengar, lembut tapi menusuk,
"Oh ya, Kian. Kamu nggak lupa kasih nafkah ke istrimu, 'kan? Meskipun kalian masih tinggal di rumah ini dan semua kebutuhan terpenuhi, Kanya tetap butuh uang. Untuk transport kuliah dan kebutuhan pribadi, ya 'kan?"
Kian tersentak kecil. Tapi sebelum sempat menjawab, suara Kanya terdengar lebih dulu.
"Udah kok, Ma. Kak Kian udah ngasih."
Kian melirik istrinya.
“Apa maksudnya ini? Dia bilang aku sudah memberinya uang… padahal belum sepeser pun aku kasih.
Dia jaga nama baikku di depan orang tuaku sendiri. Kenapa? Apa ini siasat? Cara halus buat ngeluluhin hatiku?”
Kian kembali melirik istrinya, samar tapi penuh selidik, seolah mencoba menembus cadar itu, mencari tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di balik ketenangan matanya.
“Apa semua ini cuma permainan? Atau… dia benar-benar nggak mau aku terlihat buruk di depan mereka?”
Namun dalam diamnya, sebuah pertanyaan lain menyelinap di benaknya, mengganggunya diam-diam.
“Kalau benar dia cuma ingin jaga nama baikku… kenapa rasanya justru aku yang merasa kecil?”
Aisyah mengangguk pelan dengan senyum tipis.
"Syukurlah. Mama harap Kian nggak pelit sama istrinya sendiri."
Lalu, dengan nada santai tapi langsung menusuk, Aisyah bertanya,
"Oh ya, Kanya, Kian kasih uang bulanan berapa?"
Kanya sedikit terkejut, tapi buru-buru menjawab,
"Insyaallah cukup, Ma... lebih dari cukup."
Namun sebelum Aisyah membuka suara lagi, Keynan angkat bicara, tegas tapi hangat,
"Berapa tepatnya? Kalau terlalu kecil, Papa tambahin. Papa nggak mau menantu Papa satu-satunya kekurangan uang."
Kata-kata itu, "menantu satu-satunya", jatuh seperti bilah tipis yang menghujam dada Kian. Ia tahu benar siapa yang dimaksud ayahnya. Dan siapa yang tidak.
Kanya gelagapan. Dalam hati panik.
"Aduh, harus jawab berapa? Salah-salah malah bikin malu."
Ekspresi paniknya tak terbaca karena wajahnya tertutup cadar. Lalu ia menendang pelan kaki Kian di bawah meja.
Kian langsung paham. Ia berdehem pelan, lalu menjawab santai,
"Lima puluh juta per bulan."
Kanya membelalakkan mata di balik cadar.
"Lima puluh juta? Beneran? Sebanyak itu?"
Ia melirik suaminya yang masih tampak tenang, seolah angka itu hal sepele. Padahal, bagi dirinya yang terbiasa hidup hemat dan sederhana, itu angka yang luar biasa besar.
Aisyah mengangguk pelan.
"Lumayan. Tapi uang bulanan itu harus ditambah lagi kalau kalian pindah ke apartemen. Biaya hidup di luar lebih besar. Apalagi kalau Kanya sudah mulai skripsi, pasti akan lebih banyak kebutuhan."
Kian mengangguk,
"Iya, Ma. Nanti aku sesuaikan."
Setelah sarapan selesai dan obrolan keluarga mengendap di udara seperti aroma kopi yang perlahan hilang, Kian kembali ke kamar untuk mengambil tas kerjanya. Langkahnya tenang, tapi pikirannya berisik.
Kanya menyusul di belakang, tanpa suara. Seperti biasa. Seperti bayangan yang tak menuntut dilihat.
Begitu pintu kamar tertutup, suasana berubah. Keheningan di antara mereka terasa berbeda, bukan hening yang damai, tapi seperti jeda sebelum badai.
Kian membalikkan badan. Sorot matanya tajam, penuh selidik.
"Kenapa kamu tadi bilang aku sudah kasih uang bulanan?"
Suara itu datar, tapi menyimpan bara.
"Padahal aku belum ngasih kamu satu rupiah pun."
Kanya tak langsung menjawab. Ia berdiri tenang, menatap suaminya dari balik cadar. Di sudut matanya yang terbuka, terlihat kerut halus, senyum tipis yang muncul bukan karena bahagia, tapi karena lelah menjelaskan sesuatu yang ia tahu... mungkin takkan dipercaya.
"Aku hanya ingin menjaga nama baik suamiku."
Suara Kanya pelan, tapi jelas.
"Terutama di depan orang tuanya sendiri."
Kian menyipitkan mata. Senyum sinis perlahan muncul di bibirnya.
"Apa ini caramu mengambil hatiku?"
Nada suaranya seperti silet, dingin dan tipis, tapi tajam.
Kanya terdiam sejenak. Lalu menunduk sedikit.
Bukan karena malu. Tapi karena... ia sudah terlalu sering disalahpahami.
Senyumnya berubah.
Bukan senyum yang manis, bukan pula yang menghiba. Tapi senyum dari hati yang mulai letih berharap.
"Aku tulus ingin menjaga nama baik suamiku."
Ia menatap Kian lagi, perlahan.
"Tapi jika kau menganggap ini sebagai caraku mengambil hatimu..."
Bahunya sedikit terangkat.
"...maka anggap saja begitu."
Kian diam.
Entah kenapa, jawaban itu, yang terdengar seolah pasrah, justru membuat dadanya sesak. Bukan karena marah. Tapi karena ia tak tahu... apakah itu benar-benar tulus atau hanya strategi halus yang membungkus kepalsuan.
Tapi sorot mata wanita itu... tak menunjukkan manipulasi.
Hanya ketegaran. Yang sepi. Yang tak mengemis cinta.
Kian menunduk sejenak, lalu mengambil kunci mobilnya dari laci. Tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arah Kanya. Wanita yang ia nikahi karena keadaan, yang ia abaikan karena gengsi, yang kini malah terlihat... paling mengerti cara menjaga harga dirinya.
Seketika, Kian merasa aneh. Ia bukan merasa menang. Ia merasa kalah.
Kalah oleh kebaikan yang tak ia minta.
Kalah oleh ketulusan yang tak ia pahami.
Dan kalah oleh perempuan yang tak pernah membela diri... bahkan saat ia menyakitinya.
Sebelum pergi, Kian mendekat. Berdiri hanya sejengkal dari Kanya.
Matanya menatap tajam, tapi kali ini...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
awas Kanya ada yg mengintip tuh... pasti dia penasaran liat wajah kamu yg di sembunyikan ternyata cantik pantas aja Kian memilih Kanya... itu Friska yg bilang
Rupanya Kanya salat subuh di masjid rumah sakit - makanya Friska berani mendekat berdiri di samping ranjang Kian yang masih terlelap.
Friska di kamar mandi ketika Kanya datang mendekati Kian yang mulai membuka mata. Friska di balik pintu kamar mandi bisa melihat wajah Kanya ketika pashmina pengganti cadarnya di lepas.
Kian menjelaskan kejadian sewaktu Friska tanpa ijin masuk dalam mobil pada Kanya - terjadi dialok terbuka yang tanpa mereka berdua sadari ada sepasang telinga yang mendengarkan. Baguslah - jadi lebih jelas sekarang hubungan suami istri - Kian dan Kanya bagaimana - Friska harus paham atas arti pembicaraan Kian dan Kanya.
hari ini mereka bisa bicara dari hati ke hati...
saling mencurahkan isi hati masing masing💓💖💕💗
di gantung lagi nih sm kak Nana...
dan suara dering ponselnya si Ftiska dari kamar mandi wkwkwk