Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Tiga Puluh Satu
***
Beberapa hari terakhir terasa begitu panjang dan menyesakkan bagi Hafiz. Pagi datang seperti beban baru, bukan sebagai awal yang segar. Ia bangun setiap hari dengan dada berat, kepala penuh pikiran, dan rasa jengah yang semakin mengakar.
Sejak hari makan malam yang dipaksakan bersama keluarga Airin, keadaan menjadi makin tak tertahankan. Airin, entah dapat ide dari mana, mulai sering datang ke kantor Hafiz. Awalnya dua hari sekali. Lalu menjadi setiap hari. Bahkan sekarang, hampir setiap pagi dan menjelang jam makan siang, sosok itu muncul di depan ruangannya—selalu dengan alasan berbeda-beda.
“Maaf ya, tadi Mama nitip makanan ini buat kamu.”
“Eh, aku lewat sini soalnya ada kerjaan di deket-deket sini.”
“Aku bawain kopi, kamu suka yang hazelnut, kan?”
Atau yang lebih parah, “Kebetulan aku lagi bosen di rumah. Boleh duduk sebentar di sini?”
Hafiz hanya menanggapi dengan diam. Tak sekalipun ia mengundang kehadiran Airin, bahkan secara halus ia pernah menyarankan agar Airin tidak terlalu sering datang. Tapi saran itu justru membuat Mamanya menelepon dengan suara tinggi.
“Kamu itu jaga sikap, Hafiz! Airin itu tamu! Dia anak baik, dia suka kamu! Kalau kamu nggak bisa jaga hubungan baik, jangan salahkan Mama kalau nanti keluarga kita kecewa!”
Karena tidak ingin memperpanjang perdebatan, Hafiz memilih diam. Tapi bukan berarti ia bisa menerima.
Setiap langkah Airin menuju ruangannya membuat Hafiz ingin menghilang dari kursinya. Ia ingin mengunci pintu dan pura-pura tidak ada. Tapi ini kantor—kantor milik keluarganya. Ia tidak bisa seenaknya pergi. Maka ia biarkan, tubuhnya duduk di kursi eksekutif itu, sementara pikirannya terbang entah ke mana.
Dan Airin selalu berbicara. Tentang resep makanan baru. Tentang serial drama yang sedang ia tonton. Tentang foto-foto saat kecil mereka. Tentang masa depan yang ingin ia jalani—dengan Hafiz di dalamnya. Namun, Hafiz tetap diam. Tak tertarik, tak tergerak.
Kadang ia hanya mengangguk. Kadang ia pura-pura sibuk mengetik. Kadang ia bahkan sengaja menerima panggilan telepon dari stafnya hanya untuk menghindari percakapan.
Tapi Airin tidak menyerah. Seolah keberadaan Hafiz adalah hak miliknya, dan keheningan Hafiz adalah bentuk kasih sayang yang belum ia pahami.
Hari ini pun sama. Saat jarum jam menunjukkan pukul sebelas pagi, suara ketukan pelan di pintu ruangannya terdengar.
Tok, tok, tok.
Hafiz menutup matanya sejenak. Menarik napas panjang. Lalu berkata, “Masuk.”
Pintu terbuka perlahan, dan muncullah Airin—seperti yang sudah ia duga. Rambut panjangnya di gerai, bibirnya tersenyum manis, dan di tangannya ada bungkusan makanan dalam tas kecil berlogo restoran Jepang terkenal.
“Tumben kamu belum ke kantin. Aku bawain salmon bento,” ucap Airin sambil berjalan ke meja Hafiz.
Hafiz hanya mengangguk, tak mengucapkan sepatah kata pun.
Airin duduk di kursi tamu, lalu mulai membuka-buka isi tasnya, meletakkan bento itu di atas meja Hafiz dengan hati-hati. “Ini favorit kamu, kan? Tadi aku liat review-nya bagus banget.”
Hafiz menatap layar laptopnya, lalu berkata pelan, “Kamu nggak perlu repot-repot ke sini, Rin.”
Airin berhenti sejenak, lalu tertawa kecil. “Ya ampun, kamu masih dingin banget ya. Tapi nggak apa-apa. Aku suka kok nemuin kamu. Nggak kayak waktu kecil, sekarang kita bisa ketemu tiap hari.”
Hafiz menahan diri untuk tidak menghela napas keras-keras. Kepalanya terasa berat. Pikirannya melayang ke Serena—sosok yang kini jadi pusat kedamaiannya. Perempuan yang tidak pernah memaksa. Yang memilih diam jika tak tahu harus berkata apa. Yang perhatiannya tak pernah mengikat. Hafiz merasa sangat rindu.
Namun kenyataannya, yang ada di depannya saat ini adalah Airin. Dan Airin terus berbicara, mengisi ruangan itu dengan suara yang tak pernah ia rindukan.
Sepulang kerja, Hafiz duduk lama di dalam mobilnya yang terparkir di basement. Ia enggan pulang. Ia lelah. Bukan lelah secara fisik—tapi lelah secara emosi. Ia merasa terjebak dalam pusaran harapan orang lain. Di kantor ia harus jadi CEO yang disegani. Di rumah ia harus jadi putra yang patuh. Di hadapan Airin ia harus jadi calon suami yang baik.
Tapi siapa yang peduli dengan Hafiz sebagai manusia?
Ia bersandar ke jok, menutup matanya.
Seandainya ia bisa pergi jauh. Pindah ke kota kecil. Membuka usaha kecil. Hidup sederhana. Bersama seseorang yang mengerti hatinya.
Seseorang seperti Serena.
Dan saat nama itu muncul di benaknya, Hafiz mengeluarkan ponsel. Membuka pesan yang pernah ia kirim, yang belum sempat dibalas. Ia mengetik pesan baru:
Apa kamu sudah makan malam?
Namun, seperti sebelumnya, ia ragu untuk mengirim. Tangannya berhenti. Ia menatap layar itu lama sekali... lalu akhirnya menekan "hapus" dan meletakkan ponselnya kembali ke saku.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Hafiz pulang membawa diam. Dan hatinya tetap dikerubungi sepi, meski dikelilingi begitu banyak suara.
.
Malam itu, udara kota sedikit lebih sejuk dari biasanya. Jalanan depan kontrakan sudah mulai lengang, hanya sesekali kendaraan melintas dengan suara knalpot yang membelah keheningan. Lampu-lampu jalan menyala redup, dan toko-toko kecil mulai menurunkan rolling door mereka.
Serena dan Delina berjalan berdampingan di trotoar, masing-masing membawa tas selempang kecil. Mereka berdua baru saja keluar dari kontrakan, berniat mencari makan malam sederhana. Sudah sejak sore mereka belum menyentuh makanan berat, dan kini perut mulai protes.
“Makan bubur kacang hijau yuk,” usul Delina ringan. “Yang di dekat minimarket itu, biasanya malam-malam gini mangkal.”
Serena mengangguk, mengeratkan jaket tipisnya. “Boleh juga. Udah lama nggak makan bubur kacang hijau.”
Mereka tertawa kecil, melangkah santai sambil berbincang soal kerjaan, soal drama yang belum sempat mereka lanjutkan, dan soal cuaca yang mulai bersahabat.
Namun tawa mereka terhenti mendadak ketika dari arah berlawanan, sosok elegan seorang wanita paruh baya melangkah ke arah mereka. Serena langsung mengenalinya—dari postur tubuhnya yang tegak, dari cara berjalannya yang berwibawa, dan dari sorot matanya yang tegas, meski sedikit menilai.
Bu Farhana.
Jantung Serena berdegup lebih cepat. Langkahnya otomatis melambat. Delina pun tampak menyadari sesuatu dari raut wajah sahabatnya, ia menoleh ke depan dan ikut terdiam.
Pertemuan itu tak bisa dihindari.
Mereka berhenti berdekatan, tepat di bawah lampu jalan yang memantulkan bayangan mereka ke aspal.
Bu Farhana berdiri tegak, mengenakan blouse krem dan celana panjang hitam, riasan wajahnya tetap rapi meski malam sudah larut. Di tangannya tergenggam tas tangan kecil dari brand mahal.
Tatapan matanya langsung tertuju pada Serena. Tegas. Dingin. Tidak menyembunyikan maksud.
“Serena,” ucapnya datar, tanpa sapaan basa-basi. “Kita perlu bicara.”
Serena menelan ludahnya pelan. “Selamat malam, Bu...”
Delina menatap keduanya dengan bingung, tapi memilih diam.
Bu Farhana tak menyambut sapaan Serena. Sebaliknya, ia langsung masuk ke inti.
“Saya tidak akan bertele-tele. Saya ingin kamu menjauhi Hafiz.”
Serena terpaku. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Suara wanita itu begitu mantap, menusuk langsung ke ulu hati.
“Saya tahu kalian cukup dekat akhir-akhir ini,” lanjut Bu Farhana. “Tapi kamu juga tahu posisi kamu seperti apa, dan saya yakin kamu cukup cerdas untuk tahu batas.”
Delina akhirnya melangkah setengah ke depan. “Maaf, Bu. Tapi... bicara seperti itu di tengah jalan, malam-malam begini—”
“Saya sedang bicara pada Serena, bukan kamu,” potong Bu Farhana tanpa menoleh ke arah Delina.
Serena menghela nafas pelan, berusaha tetap tenang. “Bu, saya dan Mas Hafiz hanya rekan kerja...”
“Cukup,” kata Bu Farhana sambil mengangkat tangannya. “Saya sudah terlalu sering dengar kalimat itu. Saya wanita, saya ibu. Saya tahu persis gestur dan tatapan yang bukan sekadar ‘rekan kerja.’ Hafiz anak saya. Saya tahu apa yang terbaik untuknya.”
Serena menunduk. Ada desakan dalam dadanya yang sulit dijelaskan—antara marah, sedih, dan kecewa. Tapi yang lebih dominan adalah rasa sakit yang merambat perlahan.
“Apa yang Ibu takutkan dari saya?” tanya Serena pelan, hampir berbisik. “Saya nggak pernah berusaha merebut siapa-siapa...”
Bu Farhana mendengus kecil. “Karena kamu bukan siapa-siapa. Kamu tidak punya nama, tidak punya latar belakang, kamu cuma... ya, Serena. Karyawan biasa yang kebetulan bekerja di perusahaan keluarga saya.”
Kata-kata itu menusuk telinga Serena seperti cambuk. Tapi ia tidak menangis. Ia hanya diam, wajahnya menegang, dan matanya berkaca-kaca.
Delina tampak ingin bicara, tapi Serena menahan pergelangan tangannya. Ia tidak ingin pertengkaran pecah di tengah trotoar.
Bu Farhana mengambil napas panjang, lalu melanjutkan, “Saya tidak ingin mempermalukan kamu lebih dari ini. Tapi saya mohon, demi kebaikan semua pihak, jangan buat Hafiz bingung. Jangan beri dia harapan.”
Setelah itu, tanpa menunggu tanggapan, Bu Farhana berbalik dan melangkah pergi. Langkahnya cepat, penuh keyakinan, seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan tugas yang ia anggap penting.
Serena masih berdiri diam di tempat. Angin malam menerpa wajahnya yang dingin. Ia tidak tahu harus merasa apa. Tapi ada satu hal yang jelas, hatinya hancur.
Delina memeluk bahu sahabatnya, menggiringnya perlahan menuju arah berlawanan. “Ayo pulang dulu. Kita bungkus buburnya aja.”
Serena mengangguk pelan. Ia terlalu lelah untuk menjawab. Di dalam hatinya, suara Bu Farhana terus terngiang—dan untuk pertama kalinya sejak lama, Serena merasa kecil. Sangat kecil.