Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31
Livia memutar tubuhnya dengan ekspresi dingin saat mendengar permintaan Zyan yang menurutnya tak tahu malu. "Apa tadi? Kamu masih banyak hutang denganku, Zyan. Mau nambah lagi? Utang yang ada saja belum selesai kau bayar," sindirnya, menatapnya tajam tanpa ampun.
Zyan tampak terkejut mendengar ucapan Livia, tetapi ia tidak mundur begitu saja. "Bukannya bulan depan aku mulai aktif melunasi hutangnya, Livia? Kita ini teman, saling bantu satu sama lain. Kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu lagi," jawabnya dengan suara memohon, berusaha mengimbangi dinginnya respon Livia.
Livia menghela napas, memberikan senyuman tipis yang jelas-jelas penuh ejekan. "Minta bantuan sama kekasihmu itu. Seharusnya dia lebih berguna untukmu. Mengerti?" katanya dengan nada sinis sebelum melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua dalam suasana canggung.
Zira yang sedang menggenggam erat roknya, ekspresinya berantakan, seperti diselimuti kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Matanya mengarah ke Zyan, penuh konflik. Sepertinya ia tahu betul apa yang akan terjadi berikutnya.
"Kenapa menatapku seperti itu, Zira? Apa kamu pikir aku tidak punya uang sama sekali?" ujar Zyan sambil beralih memandang Zira, matanya menyiratkan campuran kesedihan dan tekanan yang menumpuk. Ia terdengar desahan kecil dari Zira.
"Zyan ... aku sudah sering membantumu. Tapi sampai kapan? Kali ini, carilah bantuan dari orang lain. Jangan selalu mengandalkanku," gumam Zira, suaranya terdengar berat namun tegas.
"Aku mau minta bantuan siapa lagi, Zira? Semua orang sudah meninggalkan aku satu per satu. Tidak ada yang peduli. Hanya kamu ... kamu satu-satunya yang tersisa untukku sekarang." Suara Zyan pecah, raut wajahnya dihiasi keputusasaan yang dalam. Ia melihat cara Zira menunduk, ada keraguan di matanya, seperti ada perang di dalam dirinya.
Zira berbalik, menghentakkan kakinya, tapi suara Zyan terus menggema di telinga. Wajahnya yang sedih, ia yang terdiam dalam konflik. Ia hanya bisa tersenyum sinis. Masalah mereka berdua tidak pernah ada ujungnya, seolah-olah mereka berputar dalam lingkaran tanpa akhir.
Zira menatap tajam ke arah Zyan, perasaannya sudah bercampur aduk antara marah, kecewa, dan kesal. "Aku capek, Zyan! Selalu aku dimanfaatkan olehmu untuk membayar ini dan itu. Aku lelah!" ucapnya dengan nada penuh emosi yang sudah sulit di tahan lagi.
Bukannya meminta maaf atau merasa bersalah, Zyan malah memandang Zira dengan ekspresi dingin sebelum akhirnya berkata, "Ka-kamu tidak ikhlas membantuku, Zira? Kamu berbeda dengan Wulan. Dia selalu menolongku dengan baik dan ikhlas. Tanpa lelah atau mengeluh seperti ini. Apa kamu berubah?"
Zira terkesiap. Kata-kata itu menusuk hatinya, lebih dari sekadar penghinaan. "Dia... membandingkanku dengan Wulan? Orang yang sudah tiada?" pikirnya. "Kamu kenapa membandingkan aku dengan orang mati itu, Zyan? Oh, jangan-jangan kamu masih mencintainya. Iyakan?" tanyanya dengan suara yang semakin berat karena amarah dan rasa kecewa yang semakin tak terbendung.
"Brengsek! Apa kamu tidak menghargai perjuanganku selama ini?" Mata Zira basah. Semua pengorbanannya, segala usaha yang dilakukan untuknya—membantunya tanpa pamrih, mencoba mengerti kelemahannya—berakhir hanya dengan perbandingan yang begitu menyakitkan. Rasanya tidak ada yang lebih menghinakan daripada ini.
Zyan mulai menaikkan nadanya, matanya menunjukkan emosi yang tak kalah dari Zira. "Kamu yang mulai duluan, Zira! Rupanya kamu tidak sebaik yang aku kira dirimu itu!" Hatinya begitu keras.
Betapa sia-sia Zira berharap Zyan akan mengerti perasaannya. Ia tahu saat ini sudah tidak ada gunanya lagi. Dengan suara tegas, ia berkata, "Mulai detik ini ... kita putus."
Zira merasa lega meskipun ada rasa perih yang mengiris hati. Pria ini tak layak mendapat tempat dalam hidupnya. Sudah cukup ia berjuang untuk seseorang yang bahkan tak menghargai dirinya dan pengorbanan.
"Zira! Zira! Kembali Zira! Jangan tinggalkan aku, Zira!" Zyan memanggil kekasihnya, kini menghilang dibalik pintu. "Aaaarghhh .... kenapa hidupku seperti ini? Sialan! Tapi ada bagusnya Zira meninggalkanku, bisa mendekati Livia kaya raya. Aku yakin sekali, Zira bakalan menyesal karena meninggalku."
Zyan menyunggingkan senyumannya, masih ada harapan menjadi cerah nanti. Tidak masalah kehilangan kekasihnya itu, tidak sabar memiliki Livia.
Beberapa saat kemudian, Zyan sudah diperbolehkan pulang dan melunasi admistrasi tadi. Beruntung masih ada simpanan uangnya, hasil meminjam uang dari Livia.
Sementara di tempat lain, Livia sangat senang dan lelah kali ini. "Akhirnya aku senang sekarang, di mana Zyan dan klub motornya bubar. Hahahaha .... tapi balas dendamku belum sepenuhnya terbalas. Lihatlah bagaimana kelanjutannya nanti? Zyan? Zira? Tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja, aku menginginkan mereka menderita. Rencana apa lagi, ya?" gumamnya dalam hati.
*******
Hari demi hari berlalu.
Livia berdiri di pinggir jalan, menatap mobilnya yang mogok dengan frustrasi. Suasana di sekitar sepi, hanya ada deru angin yang menggugurkan daun-daun kering. Rasanya ini benar-benar sial. Perjalanan keluar kota yang semula lancar berubah menjadi hambatan yang menyebalkan.
"Astaga, apa yang salah dengan mobil ini? Tidak ada orang di sini. Aku bahkan tidak tahu siapa yang bisa aku hubungi!" gumam Livia sambil memeriksa layar ponselnya. Dalam kegelisahan, ia memikirkan nama yang paling mungkin membantu. Marco. Nama itu seketika terlintas, dan ia mengetuk nomornya tanpa ragu. Saat suaranya terdengar di ujung sana, entah kenapa rasa frustrasi tadi sedikit mereda.
"Marco, mobilku mogok. Bisa bantu aku?" tanyanya, mencoba terdengar tidak terlalu panik.
Ketika Marco menjawab dengan suara tenangnya dan berjanji akan segera datang, senyum kecil terukir di bibirnya. Setidaknya ada harapan.
Namun, waktu terasa berjalan lambat. Livia mondar-mandir tanpa arah, mencoba mengusir rasa cemas yang kian menjadi. Jalanan ini terlalu sunyi, membuatnya tidak nyaman. Ia menatap ke segala arah, mencari tanda-tanda Marco. "Mana dia? Kenapa rasanya lama sekali?" pikirnya sambil menghela napas.
Akhirnya, suara motor mendekat memecah kesunyian. Ketika Livia melihat Marco berhenti dan mematikan mesin motornya, ia menghela napas lega. "Dia datang," bisiknya pelan, seolah mengatakan itu pada diri sendiri.
"Maaf sudah menunggu lama," ucap Marco sambil tersenyum tipis sebelum mendekati mobil Livia. "Aku periksa dulu, ya? Aku tadi juga sudah hubungi seseorang kalau-kalau mobilmu perlu diperbaiki lebih serius."
Livia mengangguk, melihatnya sibuk memeriksa mesin mobil. Gerakannya cekatan dan penuh perhatian, membuat sedikit tenang. Tapi tetap saja, perasaan was-was tidak sepenuhnya hilang. "Hati-hati, Marco," ujarnya sambil mendekat untuk melihat apa yang sedang Marco lakukan.
Tiba-tiba, entah kenapa Livia merasa sedikit lebih aman, meski masalah ini belum tentu terselesaikan.
Marco menggeleng kepalanya. "Ak-aku tidak menemukan penyakitnya, Livia. Mungkin harus dibawa ke tempat bengkel dulu, apa kamu ingin cepat pergi? Terus ngapain menuju kampung ini?"
"Sebenarnya aku ada pertemuan klien bisnis aku, tapi besok pagi. Aku sudah meminta seseorang memesan penginapan di kampung itu," jawab Livia gelisah gusar.
"Bagaimana aku mengantarkanmu? Aku tungguin kamu sampai selesai kerjanya, kebetulan jam kosong dan bisa meminta cuti sehari. Aku tidak keberatan sama sekali," kata Marco tersenyum manis.
Livia menghembuskan napas beratnya. "Boleh, tapi mobilku ada yang membawanya kan?"
Marco langsung mengangguk pelan. "Iya, aku sudah menghubungi mereka. Itu mereka!"
Livia melihat mobil derek yang bisa membawa mobilnya, ada rasa lega sekarang. Ia langsung setuju dengan ucapan Marco, mau membawanya ke penginapan di kampung yang dituju.
Marco mengenakan helm untuk Livia, barulah pergi meninggalkan tempat tersebut. Ia merasakan Livia memeluk pinggangnya dengan erat.