Sang raja terakhir tiada, dan bayangan mulai merayap di antara manusia.
Ketika dunia runtuh, satu-satunya harapan tersisa hanyalah legenda yang tertulis di sebuah buku tua. Riski, pemuda yang mencari ibunya yang menghilang tanpa jejak, menemukan bahwa buku itu menyimpan kunci bukan hanya untuk keluarganya… tetapi juga untuk masa depan dunia.
Dalam perjalanannya, ia harus melewati misteri kuno, bayang-bayang kutukan, dan takhta yang menuntut pengorbanan jiwa.
Apakah ia akan menemukan ibunya… atau justru menjadi Raja Terakhir yang menanggung beban akhir zaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Arc Penjelajahan Bagian 2
Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Air menetes dari ujung atap rumah kontrakan Riski, membentuk aliran kecil yang mengalir ke jalan. Riski duduk di kursi dekat jendela, memandangi cahaya lampu jalan yang terdistorsi oleh tirai air. Amira berdiri bersandar di dinding, tangan menyilang di dada. “Besok jam delapan kan kita kumpul?” tanya Amira, yang memecah keheningan.
Riski menoleh sebentar, lalu kembali menatap keluar. “Rencana awalnya begitu. Tapi…” ia terdiam sejenak, “aku rasa kita harus kumpul sekarang. Entah mengapa feeling-ku tidak enak jika kita harus menunggu terlalu lama”
Alis Amira terangkat. “Sekarang? Jam segini? Hujan pula? Heii kamu masih waras kan?”
“Ada tempat yang harus kita lihat. Semakin cepat, semakin baik,” jawab Riski dengan datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang Amira kenal, insting yang jarang meleset.
Amira mendesah. “Kamu selalu gini. Kalau sudah merasa ada sesuatu, semua rencana langsung berubah.”
"Tapi selama kita berteman, untuk pertama kalinya kita adakan pertemuan yang super serius seperti ini." Pandangan Riski langsung menatap ke arah Amira.
Riski mengabaikan komentar itu. Ia pun mengambil ponselnya dan mengetik cepat di grup chat mereka
Riski: Kita ganti rencana kawan-kawan. Kita akan segera kumpul malam ini di warung kopi depan terminal. Ada tempat yang mau kita cek sama-sama.
Balasan muncul hampir bersamaan.
Rizal: Lah? Ini mendadak sekali.
Sinta: Hujan-hujan begini? Serius kah?
Bela: Lokasinya jauh?
Riski hanya membalas: “Tidak jauh. Penting.”
Setengah jam kemudian, Riski dan Amira tiba di warung kopi yang hampir tutup. Bau kopi dan kayu basah bercampur dan mengambang di udara. Rizal sudah duduk di sudut, mengenakan jaket hitam dengan tudung menutupi rambutnya yang setengah basah. Di sampingnya, Sinta sibuk mengusap layar ponsel yang terkena percikan air, sementara Bela duduk tenang, menatap ke luar jendela.
“Gila, bro,” sapa Rizal begitu Riski masuk. “Kalau bukan karena kamu yang minta, sudah aku blok nomornya.”
“Drama sekali, bisa tolong jangan lebay Rizal..,” sahut Amira sambil menarik kursi.
Sinta menatap Riski tajam. “Oke, jelaskan. Apa yang bikin kita keluar tengah malam, hujan deras, dan...” ia melirik jam tangannya, “—jam sebelas lebih?”
Riski menatap mereka satu per satu. “Kita mau ke rumah tua yang pernah kunjungi itu.”
"Riski, kamu lupa apa yang terjadi disana?" Sinta menatap wajah Riski dengan dalam. "Ada apa gerangan? Rumah itu bukannya pernah buat kamu trauma?" Sambung Rizal.
"Ini kalian bahas apa? Jujur aku tidak paham dengan yang kalian bicarakan." Amira yang sedari tadi live tiktok lin langsung menghentikan kegiatannya.
“Hmm nanti aku jelaskan yah. Aku dapat petunjuk… dari sumber yang tidak bisa diabaikan. Aku curiga ada hubungannya sama semua ini,” Riski menunjuk tas ranselnya.
Bela yang dari tadi diam akhirnya berbicara. Suaranya tenang, tapi tegas. “Kalau memang penting, kita berangkat sekarang. Tapi jangan ceroboh.”
“Setuju,” kata Amira. “Tapi kalau ada tanda-tanda aneh, kita balik dan jangan lupa kalian harus jelaskan apa yang kami perlu tahu..”
"Iyaa... Cerewet sekali kaya ibu-ibu." Sinta menatap sinis ke arah Amira.
Rizal tertawa singkat. “Ayolah, Sint.Jangan marah-marah terus, pengalaman mereka tidak sejauh kita ini haha.”
"Amira, mereka berdua mulai lagi..." Bela seketika memeluk ke Amira. Dan Amira hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah rekannya itu.
Mereka berlima berjalan kaki menuju lokasi. Jalanan licin, lampu jalan redup, dan suara hujan jadi musik latar yang konstan. Air mengalir deras di selokan, memantulkan cahaya kuning lampu.
“Aku sih udah sering lewat Jalan Karimata,” kata Rizal. “Tapi rumah itu… ya ampun, dari luar aja udah kayak mau roboh.”
“Kenapa kosong?” tanya Amira sambil mengangkat kerah jaketnya.
“Katanya dulu pemiliknya meninggal tiba-tiba,” jawab Sinta. “Terus tidak ada keluarga yang mau urus. Ada juga gosip kalau rumah itu… dihuni sesuatu.”
Bela berjalan di belakang mereka, matanya sesekali mengamati rumah-rumah yang mereka lewati. “Gosip biasanya ada akar faktanya,” komentarnya singkat.
Riski melangkah cepat di depan, tidak banyak bicara. Hanya sesekali ia menoleh untuk memastikan semua masih mengikutinya.
Petir menyambar, menerangi ujung jalan. Di sana, siluet rumah tua mulai terlihat. Besar, gelap, dengan atap miring yang ditumbuhi lumut.
Begitu mereka sampai di gerbangnya, hawa udara berubah. Dinginnya lain—seperti dingin dari dalam tanah. Pagar besinya berkarat, beberapa bagian roboh. Tanaman liar tumbuh tinggi di halaman.
“Wah, ini sih kayak set panggung film horor,” gumam Rizal, setengah kagum setengah waswas.
“Kalau ini film horor, biasanya orang pertama yang ngomong begitu…” Sinta berhenti, pura-pura tegang, “...adalah yang mati duluan.”
Amira meliriknya sinis. “Bagus, Sint. Semakin bikin nyaman suasananya.”
Bela memeriksa engsel pagar. “Bisa dibuka, tapi berisik.”
“Biar aku,” kata Riski. Ia mendorong pagar perlahan. Bunyi derit panjang terdengar, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Mereka melangkah masuk. Tanahnya licin, bau tanah basah bercampur aroma kayu lapuk. Jalan setapak menuju teras tertutup lumut.
Rumah itu berdiri di depan mereka, seperti raksasa tua yang sudah lama tidur. Jendela-jendelanya gelap, pintunya besar dengan ukiran yang pudar.
“Jadi… kita masuk?” tanya Rizal.
“Kita sampai sini bukan buat selfie di luar,” jawab Riski singkat.
Sinta menelan ludah. “Oke. Tapi kalau tiba-tiba ada yang menyambut, aku kabur.”
Bela berdiri tepat di belakang Riski, matanya fokus pada pintu. “Aku rasa kita harus masuk dengan tenang. Jangan gegabah.”
Riski menaruh tangannya di gagang pintu. Kayunya dingin, hampir lembap. “Siap?” tanyanya pelan.
Tidak ada yang menjawab, tapi tatapan mereka cukup sebagai jawaban.
Pintu kayu itu berderit panjang, seakan memprotes keras dibuka Setelah sekian lama terkunci rapat. Udara dingin yang keluar dari dalam terasa berbeda dengan dingin hujan di luar—ini dingin yang membuat jemari kaku, menusuk ke tulang, dan membawa aroma samar besi berkarat bercampur debu.
Rizal spontan mengusap kedua lengannya. “Kayak ada AC zaman Belanda nyala di dalam,” gumamnya.
“Kalau ini AC, berarti yang atur suhunya bukan manusia,” balas Sinta cepat, tapi matanya tak lepas dari celah pintu yang makin terbuka.
Amira mengerling sekilas ke arah Sinta. “Bisa tidak , Sint, sekali aja tidak bikin komentar yang bikin orang mau pulang?”
Sinta mengangkat bahu. “Biar suasana tidak kaku yakan...”
Bela tetap diam, matanya memperhatikan bagian dalam yang mulai terlihat. Cahaya redup dari luar masuk, menyorot lantai kayu yang tampak rapuh. “Hati-hati pijakan,” katanya tenang, “lantainya ini bisa lapuk.”
Riski tak menjawab, ia mendorong pintu sepenuhnya. Bunyi engsel beradu logam terdengar kasar, dan pandangan mereka akhirnya terbuka ke dalam rumah. Lorong sempit menyambut, diapit dinding berlapis wallpaper pudar dengan motif bunga yang nyaris hilang warnanya. Di ujung lorong, samar-samar tampak pintu lain—tertutup.
Hujan di luar terdengar semakin jauh, seperti teredam oleh dinding tebal rumah ini. Suara mereka pun ikut merendah, seolah insting memaksa untuk tidak mengganggu kesunyian yang menggantung.
“Serius kah kita masuk lagi?” tanya Rizal, nadanya setengah bercanda, setengah berharap ada yang bilang tidak.
Riski menoleh ke belakang, menatap semua wajah satu per satu. “Kita tidak datang sejauh ini cuma buat lihat dari ambang pintu.”
Amira menarik napas dalam. “Oke. Tapi kita tetap ikuti prosedur. Jangan terpisah.”
“Setuju,” kata Bela, matanya tetap lurus ke depan.
Sinta menghela napas panjang. “Kalau ada yang nyambut kita pakai panci, gue langsung lari.”
Rizal menyeringai tipis. “Santai, Sint. Kalau ada apa-apa, kamu lari duluan, aku yang nutup pintu.”
“Bagus, nutup pintunya… dari luar,” balas Sinta, memelototinya.
Petir kembali menyambar di luar, kilatnya memantul di kaca jendela yang buram di sebelah kanan pintu. Sekilas, Amira seperti melihat sesuatu bergerak di balik bayangan. Ia menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan, tapi jantungnya berdegup lebih cepat.
“Masuk sekarang atau kita nunggu undangan resmi?” tanya Rizal akhirnya, mencoba memecah ketegangan.
Riski mengangkat satu kaki, melangkah perlahan melewati ambang. Lantai berderit di bawah berat tubuhnya. Udara di dalam semakin menusuk, membawa bau lembap yang membuat paru-paru terasa berat. Satu per satu, yang lain mengikuti, menapaki dunia yang selama ini hanya mereka dengar dari cerita.
Pintu di belakang mereka tetap terbuka, namun cahaya dari luar terasa seperti semakin menjauh.
Dan di detik itu, entah kenapa, mereka semua merasa… seolah sudah ada yang tahu mereka datang.