NovelToon NovelToon
Lelaki Arang & CEO Cantik

Lelaki Arang & CEO Cantik

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Cinta setelah menikah / Nikah Kontrak / Romansa / Ilmu Kanuragan
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: J Star

Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.

Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.

Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.

Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memicu Amarah

Begitu polisi tiba, kerumunan warga yang sejak tadi berkumpul langsung mendekat dan berbisik-bisik saling menebak apakah Revan akan terlibat dalam masalah.

"Iya, itu aku," ujar Revan, perlahan mengangkat kepalanya dengan ekspresi bingung. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa pihak kepolisian datang mencarinya. Apakah aparat negara benar-benar mengincarnya? Tidak masuk akal. Jika memang begitu, yang datang seharusnya adalah pasukan khusus dan penyergapan dilakukan secara tiba-tiba di tengah malam bukan hanya tiga orang polisi biasa.

Salah satu petugas menunjukkan lencananya dengan sikap tegas. "Aku Kapten Fandi, dari Polsek Jakarta Barat. Kami menerima laporan bahwa Anda terlibat dalam kasus penganiayaan dan pemukulan terhadap beberapa pemuda. Saat ini kami diminta untuk membawa Anda ke kantor guna dimintai keterangan lebih lanjut."

’Oh, jadi ini masalahnya,’ pikir Revan langsung paham. Sepertinya ini ulah licik dari Bimo, pemuda yang kabur kemarin. Rupanya dunia preman bisa sejauh itu, sampai-sampai menyeret aparat hukum untuk membereskan urusan mereka.

Pak Rahmat yang berdiri tidak jauh dari situ tampak panik. Ia segera maju dan mencoba menjelaskan, "Pak Polisi maaf, sepertinya ini salah paham. Tadi yang mulai duluan justru Bimo dan anggotanya, mereka memeras uang dari pedagang. Apa yang dilakukan Revan tadi itu, hanya untuk membela diri."

Namun Kapten Fandi hanya mendengus, tidak tertarik mendengar penjelasan lebih lanjut. "Benar atau tidak, itu akan kami selidiki di kantor. Yang jelas, aku melihat sendiri anak Pak Gino tergeletak dan muntah darah, sementara pria ini tidak mengalami luka sedikit pun. Cukup jadi alasan bagi kami untuk memeriksanya."

Tanpa menunggu lagi, Kapten Fandi memberi isyarat dengan tangannya. Dua anggota polisi lainnya segera melangkah maju untuk menahan Revan.

Revan tidak melakukan perlawanan, saat tangannya diborgol. Ia hanya menghela napas pelan, lalu menoleh kepada Pak Rahmat dan berkata tenang. “Jangan khawatir Pak. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, ini hanya masalah kecil. Tolong jaga gerobak sate ayamku, jika sampai malam belum kembali mohon bantu dorong pulang.”

“Jangan banyak bicara, cepat jalan!” tegur Kapten Fandi dengan nada kasar.

Pak Rahmat tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, namun ia menyadari bahwa tidak ada yang bisa diperbuat. Ia hanya bisa menghela napas dalam-dalam, menyaksikan Revan dibawa masuk ke dalam mobil patroli oleh para polisi.

Setelah rombongan Kapten Fandi meninggalkan lokasi bersama Revan, suasana yang semula tegang perlahan mencair. Para pedagang yang tadinya diam mulai bergumam dan menggerutu dengan suara yang lebih keras. Ada yang mengecam kolusi antara aparat dan para preman, ada pula yang sinis menyebut bahwa “pemerintah dan penjahat itu ibarat saudara”. Namun, di depan polisi mereka tidak akan pernah berani mengatakan kata-kata seperti ini.

***

Setibanya di kantor polisi, Revan langsung digiring ke ruang interogasi. Di dalam ruangan yang sempit dan dingin itu, ia melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu. Meskipun sudah beberapa kali mengunjungi kantor polisi di masa lalu, ini adalah pertama kalinya ia datang sebagai tersangka.

Tak lama kemudian, Kapten Fandi memanggil dua anak buahnya yang bertubuh kekar untuk masuk ke dalam ruangan. Ia menatap Revan dengan senyum mengejek dan berkata dingin. “Lihatlah ekspresimu yang santai, Anda masih punya waktu luang untuk melihat-lihat ruangan ini. Nanti saat aku kembali, kita lihat apakah ekspresimu masih sama.” Usai berkata demikian, Kapten Fandi membanting pintu besi dengan keras dan pergi meninggalkan ruangan.

Revan duduk dengan tenang, sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Ia menatap dua polisi yang duduk di hadapannya, yang memandangnya seolah-olah sedang menilai seekor mangsa.

Salah satu polisi yang memiliki kumis tebal, memulai proses interogasi.

“Nama?”

“Revan.”

“Jenis kelamin?”

“Laki-laki.”

“Usia?”

“Dua puluh lima tahun.”

“Tempat lahir?”

“Jakarta.”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berlanjut sederhana, tapi terasa seperti menguji kesabaran. Revan menjawab setiap pertanyaan dengan tenang, bahkan sesekali tersenyum. Sikapnya yang kooperatif, justru membuat kedua polisi di depannya merasa frustrasi. Mereka diperintahkan untuk mencari-cari kesalahan, tapi Revan justru bersikap seolah tak bersalah sama sekali. Saking kooperatifnya, ia nyaris tampak seperti teladan bagi para tersangka.

Kebuntuan itu membuat salah satu dari mereka, polisi berkulit gelap mencoba pendekatan berbeda. Ia bertanya, “Hari ini Anda memukul enam pemuda di pasar, apakah itu benar?”

"Yang terjadi bukan aku memukuli mereka, tapi mereka mencoba menarik uang keamanan dariku. Mereka memeras duluan, aku punya hak untuk membela diri," jawab Revan.

“Saya tidak tahu soal pemerasan itu, tapi Anda yang mulai menyerang bukan?” sahut polisi berkumis dengan senyum menyeringai.

“Benar, aku menyerang lebih dulu. Tapi aku yakin dalam hal ini tidak bersalah. Jika memang perlu, masalah ini bisa diselesaikan melalui pengadilan,” ujar Revan.

“Pengadilan? Seorang penjual sate ayam?” Polisi berkulit gelap mencibir sambil mengambil selembar formulir dari meja, lalu meletakkannya di depan Revan dan menunjuk ke bagian tanda tangan. “Tandatangani di sini, sebagai pengakuan bahwa Anda bersalah. Setelah itu, Anda juga wajib membayar ganti rugi kepada para korban.”

Revan melirik formulir itu, di sana telah tercantum berbagai tuduhan serius yang jika benar-benar diproses hukum bisa membuatnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Ia mengangkat alis, lalu tersenyum tipis sambil berkata, “Pak, formulir ini tidak sah bukan? Aku bahkan belum memberikan pengakuan, tapi di sini sudah muncul begitu banyak tuduhan tambahan.”

Polisi berkulit gelap langsung membanting meja. “Apa maksud Anda!? Anda menuduh kami memalsukan bukti? Anda tahu sedang berada di mana sekarang?”

“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya,” jawab Revan tenang. Namun dalam hatinya, ia tahu dua polisi ini berusaha keras menjebaknya. Tatapannya mulai berubah dingin, membalas sorot mata lawan-lawannya.

Kedua polisi itu sadar, Revan tidak akan menandatangani dokumen tersebut. Tidak ada orang waras yang mau mengakui kejahatan berat yang tidak ia lakukan, apalagi dengan konsekuensi penjara seumur hidup. Formulir itu hanya dijadikan alat untuk memancing emosinya.

“Pria kurang ajar, kau tidak kooperatif! Kau tahu apa akibatnya?” Polisi berkumis berdiri, berjalan ke belakang Revan sambil mengepalkan tinjunya.

Revan melirik kamera di sudut ruangan, menduga bahwa hanya bagian awal interogasi yang direkam. Hal-hal setelah itu termasuk kekerasan mungkin tidak akan pernah terlihat. Dan sekalipun ada yang melihat, siapa yang berani angkat suara soal tindakan polisi?

’Sepertinya di mana pun di dunia ini, ada saja aparat seperti mereka.’

“Aku tidak tahu konsekuensi apa yang akan dihadapi, tapi kalian berdua pasti akan menghadapi akibat yang tidak kalian duga.” Revan tanpa peduli menoleh, menyeringai pada polisi berkumis tebal itu.

“Kau cari mati!”

Amarah polisi berkumis akhirnya meledak, lalu menjulurkan tangannya untuk menarik kerah baju Revan sambil mengangkat kepalan tangan satunya siap menghantam.

Namun dalam sekejap, Revan bergerak cepat. Ia berdiri dan justru menarik kerah baju polisi itu lebih dulu.

"Begini yang mau Bapak lakukan?" Revan menyeringai jahat, dan menghantam perut si kumis tebal dengan pukulan kait!

Tubuh polisi berkumis tebal itu bergetar sebentar, terhuyung dan seketika ambruk ke lantai sambil mengerang kesakitan.

Melihat rekannya roboh, polisi berkulit gelap langsung bangkit dengan marah. “Kau menyerang petugas!” Tanpa pikir panjang, ia menarik pistol PM2 dari pinggang dan mengarahkannya ke Revan.

Tapi Revan mengabaikan pistol yang diarahkan padanya. Dengan langkah secepat kilat, ia bergeser ke belakang polisi berkulit gelap dalam sekejap. Ia menepuk ringan lengan si polisi berkulit gelap, dan seolah lengan itu tersetrum. Polisi itu bergetar hebat hingga membuat pistol itu terlepas dan jatuh ke lantai.

Sebelum polisi itu sempat bereaksi, sebuah sentuhan cepat di bagian belakang leher membuatnya kehilangan kesadaran dan tumbang.

Revan memungut formulir pengakuan palsu di atas meja. Ia menatap kertas itu sambil tersenyum tipis, lalu bergumam, “Jadi begini cara kalian mempermainkan hukum? Aku penasaran, apa yang akan terjadi kalau ini terbongkar ke publik.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!