🌻 Mohon dukungannya ya para sahabat, karena karya ini sedang diikutkan lomba novel pria yang bertema URBAN🙏
Zero, nama yang diberikan oleh Mak Salmah, wanita yang menemukan bayi merah di antara onggokan sampah. Zero dibesarkan oleh ibu angkatnya itu di perkampungan kumuh tempat para pemulung tinggal.
Tubuhnya yang bulat pendek, dengan pertumbuhan yang tidak sempurna membuat dirinya dipanggil kerdil oleh teman-temannya, tapi Zero tidak malu, dia tetap semangat dan percaya diri dalam menjalani kehidupannya.
Seiring berjalannya waktu, Zero tumbuh menjadi seorang pemuda yang kini menjadi tulang punggung keluarga, dia menafkahi dan merawat ibunya yang semakin renta.
Saat dia sedang mengais sampah di pojokan sebuah gedung, Zero menemukan sebuah benda pipih usang ternyata ponsel jadul. Zero mengambilnya dan dia terkejut melihat benda itu bercahaya, berkedip dan juga mengeluarkan suara.
[Ting!]
(Silahkan akses, apakah pemilik menerima sistem kekayaan : Ya/Tidak)
"Ya."
(Sistem sedang dalam proses, harap pemilik menunggu)
10 %....25%....50%....100%
(Sistem siap digunakan, pemilik seorang pemuda baik dan berbakti, maka sistem siap membantu setiap kesulitan dengan cara memberikan tugas dan akan memberikan imbalan jika pemilik berhasil menyelesaikan setiap tugas yang diberikan oleh sistem)
(Ya, untuk melanjutkan dan siap menerima tugas)
Sejak saat itu nasib Zero berubah, baik dari segi ekonomi, postur tubuh maupun penampilannya, tapi dia tetap memulung karena itu syarat yang diajukan sistem.
Zero akhirnya menjadi pemuda gagah, dermawan dan digandrungi para gadis kaya, tapi hanya gadis sederhana yang menjadi pujaan hatinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Zero? Apakah dengan bantuan sistem dia juga akan bisa mengungkap asal usulnya?
Silahkan ikuti kisahnya dan jangan lupa dukung author ya...dengan pavorit, vote, like, coment dan rate bintang limanya.🙏♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia Fajar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 11. PEMALAK JALANAN
"Ayo cepat! serahkan uangmu, jangan sampai hilang kesabaran kami!" ucap Beno, preman yang paling di takuti di wilayah pasar.
"Tolonglah Bang! Ibuku sedang menunggu obat yang mau aku beli, aku janji setelah ibuku sembuh, pasti aku akan bayar setoran lagi," ucap Ahmad.
"Cepat Togar! geledah kantongnya, enak saja dia, sudah tiga hari masih mau free lagi."
"Tapi Bang Ben, kasihan juga. Apa tidak sebaiknya kita tunggu sampai ibu dan adiknya sembuh?" ucap Togar yang masih memiliki rasa belas kasihan.
"Apa! Kalau begitu, kamu mau gantiin dia bayar setoran setiap hari!" bentak togar.
"Ya nggak gitu juga Bang? Aku uang dari mana? toh penghasilanku dari Abang hanya pas untuk biaya hidup keluargaku."
"Sudah cepat geledah kantongnya!" ucap Beno lagi.
"Jangan Bang!" ucap Ahmad yang berusaha lari.
Tapi apalah daya Ahmad, hanya seorang bocah kecil berumur 10 tahun yang tidak memiliki kedua belah tangan di kejar oleh dua orang yang berbadan tinggi besar dan kekar berotot.
Ahmad tertangkap, dia meronta, berusaha melepaskan diri dari dekapanTogar sampai akhirnya dia bisa terlepas dari dekapan Togar yang memang tidak terlalu kuat karena dia masih merasa iba.
Kemudian Ahmad berlari lagi, berteriak sekencang-kencangnya, berharap bisa bertemu Zero untuk meminta pertolongan, tapi na'as, Ahmad jatuh tersungkur, wajah dan lututnya terkena gesekan aspal hingga berdarah dan Ahmad pun terisak.
Rasa sakit tidak menyurutkan semangatnya untuk lari, Ahmad lalu berusaha bangkit dan berlari lagi tapi kali ini Beni yang berhasil menangkapnya.
Beni yang marah karena Ahmad melawan dan Togar yang tidak becus bekerja, segera mendekapnya lalu meminta Togar mencari kain atau apapun yang penting bisa untuk menyumpal mulut Togar dan juga meminta Togar untuk mencari tali guna mengikat kaki Ahmad.
Cepat Togar! Lelet kali pun kau! Kalau sudah tidak mau bekerja lagi bilang! Biar aku cari asisten lain!"
"I-iya Bang, sebentar ya Bang, aku cari dulu," ucap Togar sambil berlari.
Beni yang geram kepada Ahmad lalu berkata, "Anak ingusan kurang ajar! Jangan coba-coba kamu lari dan menentangku! Kamu kira bisa lari dari Beni hah!"
"Ampun bang, ampun! tolong lepaskan aku, aku harus pulang, hiks...hiks...hiks," terdengar Ahmad kembali menangis.
"Sakit Bang, kaki ku sakit," rintih Togar sambil menggesekan bahunya ke pipi untuk mengelap darah yang menetes, sementara luka di lututnya juga banyak mengeluarkan darah tapi Beni tetap tidak peduli.
Togar kembali dengan membawa tali, kain dan juga cairan betadine, dia ingin mengobati luka Ahmad. Togarpun mengelap darah di pipi Ahmad hingga membuat Beni marah.
Togar! Apa-apaan kamu! Bukannya mengerjakan tugasmu, malah membersihkan lukanya. Cepat ikat dia!" ucap Beni dengan lantang.
"Sebentar ya Bos, lihat lukanya banyak mengeluarkan darah, bagaimana jika nanti lukanya tambah parah dan infeksi karena tidak di bersihkan," ucap Togar yang melanjutkan tugasnya mengelap darah di kaki Ahmad.
"Ya sudah sini tali dan kainnya, mulai sekarang kamu aku pecat! Kerja saja kamu dengan dia."
"Ampun Bos, i-iya ini aku kerjakan!" ucap Togar ketakutan sementara Ahmad masih meringis kesakitan.
"Bang Togar, tolong jangan ikat aku Bang, kasihan ibu dan adikku," mohon Ahmad kepada Togar yang sedikit baik.
Beni segera menyumpal mulut Ahmad yang sejak tadi berbicara terus. Ahmad sempat berteriak sebelum kain itu masuk ke dalam mulutnya.
Zero mendengar suara teriakan sayup-sayup, dia seperti mengenal suara itu tapi Zero masih mikir siapa dan kenapa ada suara bocah menjerit.
Kini Ahmad sudah tidak berdaya, lalu Beni meminta Togar untuk membawanya ke markas. Ada beberapa orang yang melihat hal itu tapi mereka malah pergi menghindar karena takut.
Memang warga sekitar sudah tahu dan mengenal kekejaman Beni. Dia tidak akan segan menyakiti orang-orang yang mencoba melawannya.
Beni sebenarnya memiliki anak buah banyak tapi hari ini kebetulan dia keliling hanya berdua saja dengan Togar. Walaupun cuma berdua tapi mereka juga tidak berani menolong Ahmad.
Beni dan Togar membawa Ahmad pergi, Ahmad pun tidak berkutik dan juga tidak bisa berteriak lagi karena mulutnya yang di sumpal kain. Salah satu cara adalah meninggalkan jejak, Ahmad pun melepaskan sendal jepitnya berharap akan ada orang yang akan menolongnya.
Zero yang tadi mendengar teriakkan berusaha mencari dengan berjalan ke arah asal suara, ya dia yakin itu adalah suara Ahmad, anak yang menjerit tadi adalah Ahmad.
Dengan berlari sambil memanggul karungnya, Zero menuju ke arah apotik tapi dia tidak menemukan siapapun di jalan tersebut. Zero pun celingukkan, berharap melihat Ahmad tapi tetap sama, Ahmad tidak ada di sana.
Zero yang penasaran, terus berjalan ke apotik, di sana dia bertanya keada penjaga maupun pemilik apotik, "Mbak...saya mau tanya?"
"Iya Mas, ada yang bisa kami bantu?"
"Mbak, apakah tadi ada anak cacat nggak punya kedua tangan, beli obat di sini?"
"Oh...Dek Ahmad ya?"
"Iya Mbak, Ahmad."
"Hari ini belum ada Mas, dua hari yang lalu baru dia kesini membeli obat untuk ibunya. Ada apa ya Mas mencari Ahmad?"
"Tadi katanya dia mau kesini lho Mbak, tapi kok nggak ada ya?"
"Mungkin nggak jadi Mas dan Mungkin dia pergi ke tempat lain."
"Nggak Mbak, aku yakin dia ke arah sini. Ya sudah ya Mbak, aku akan mencoba mencarinya. Terimakasih ya Mbak."
"Iya Mas, sama-sama."
"Kemana kamu Ahmad? kenapa kamu tidak jadi ke apotik? Apa yang terjadi denganmu? Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa denganmu," monolog Zero sambil terus melangkah hendak balik ke tempatnya semula.
Tiba-tiba matanya melihat ke arah sebuah sendal yang tergeletak, "Ini kan sendal yang tadi di pakai oleh Ahmad?" monolog Zero.
Lalu Zero memungutnya, dia memperhatikan sendal itu lagi sambil matanya melihat ke sekeliling. Zero melihat tetesan darah di aspal, lalu dia berjongkok, memperhatikan darah itu masih segar.
"Jangan-jangan...Ahmad terluka!" monolog Zero sambil matanya kembali melihat ke sekeliling tempat itu.
Zero melihat pasangan sendal jepit yang di pegangnya tergeletak di arah yang berbeda, lalu dia mengambilnya. Batin Zero berkata, 'Benar ini sendal Ahmad.'
"Ahmad... Ahmad! Dimana kamu!" teriak Zero sambil terus berjalan mencarinya.
Zero pun bertanya kepada orang yang melintas di sana tapi mereka hanya menggeleng. Kemudian Zero melihat ada seorang tukang tambal ban dipersimpangan, lalu dia mendekatinya dan bertanya, "Pak, numpang tanya? Apa bapak tadi melihat seorang anak laki-laki sekitar usia 10 tahun, cacat tidak mempunyai kedua tangan, berada di sekitar sini?"
"Oh...Si Ahmad, pedagang kacang keliling Dek?"
"Iya Pak, aku khawatir terjadi apa-apa dengan dia. Ini sendalnya aku temukan di sana," ucap Zero sambil menunjuk ke arah di mana Zero menemukan sendal yang di pakai Ahmad.
"Biasalah Dek, kalau tidak membayar setoran, paling di bawa sama Preman Beni dan Togar."
"Setoran apa Pak?"
"Kami semua khususnya pedagang kaki lima, pedagang asongan dan pengamen jalanan wajib memberikan setoran kepada Beni dan kawan-kawan, setiap hari. Jika tidak jangan harap bisa jualan atau ngamen di wilayah sini lagi. Jika melawan pasti mendapatkan hukuman dari mereka dan uang yang ada bakal habis mereka rampas Dek."
"Jadi Bapak lihat, memang Ahmad di bawa mereka?"
"Iya Dek, tapi itulah, tidak ada yang berani melawan mereka. Beni dan anak buahnya kejam Dek, kami takut mereka akan menyakiti keluarga kami jika berusaha menolong bocah malang itu."
Zero menggelengkan kepala, kenapa ada orang yang tidak berbelas kasih terhadap anak seperti Ahmad. Walau bagaimanapun kejamnya Beni dan kawanannya, Zero tidak takut, dia harus bisa menolong Ahmad.
🌟 Jangan lupa dukungannya ya sobat, follow akun author, pavorit, vote, like, coment dan rate bintang limanya.🙏
gk laku novel kau bodat