Aurelia Nayla, gadis pendiam yang terlihat biasa saja di mata teman-teman kampusnya, sebenarnya menyimpan misi berbahaya. Atas perintah sang ayah, ia ditugaskan untuk mendekati Leonardo—dosen muda yang terkenal dingin dan sulit disentuh. Tujuan awalnya hanya satu: membalas dendam atas kematian ibunya.
Tapi semua berubah saat Lia menyadari, kode rahasia yang ia cari tak hanya terkait kematian, tapi juga masa lalu yang jauh lebih kelam dan rumit. Apalagi ketika perasaannya mulai goyah. Antara kebencian dan cinta, antara kebenaran dan kebohongan, Lia terjebak di dunia penuh tipu daya… termasuk dari orang yang selama ini ia percaya.
Akankah Leo dan Lia tetap saling menghancurkan, atau justru saling menyelamatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sangkar yang bernama cinta
Pintu besar itu akhirnya terbuka perlahan, mengeluarkan derit lembut yang justru terasa seperti lolongan dari lorong waktu yang menyeret Lia kembali ke mimpi buruk yang sedang terjadi nyata.
Refleks, ia mundur selangkah. Matanya membelalak, napas tercekat. Ia yakin… itu pasti Dario. Sosok pria paruh baya dengan sorot mata tajam yang dinginnya bisa membekukan darah. Namun—
Bukan Dario yang muncul.
Melainkan—Leo.
Jantung Lia melonjak ke tenggorokan. Detik itu, tubuhnya menegang seperti disambar petir. Kepalanya mendadak penuh—penuh tanya, penuh luka, penuh pengkhianatan.
“Kenapa Bapak melakukan ini ke saya?!” teriaknya tercekat, suaranya pecah oleh kemarahan yang sudah terlalu lama dipendam. Ia menghantam dada Leo dengan kedua tangannya, bertubi-tubi, tak peduli. Tangisan tertahan meletup bersama tiap pukulan.
Leo tidak menepis. Tidak menghindar. Ia tetap berdiri tegak, wajahnya datar. Tapi matanya gelap, menyimpan badai yang menahan diri untuk tidak meledak.
“Kamu tahu apa yang kamu lakukan, Lia?” ucapnya pelan namun tajam. Satu kalimat yang terdengar seperti tuntutan di ruang interogasi.
Lia berhenti memukul. Napasnya masih berat. Tatapannya menantang, merah oleh air mata. “Aku cuma ingin pergi! Setelah semua yang terjadi… setelah semua yang kita lakukan… Bapak pikir aku bisa tinggal di dunia seperti ini?! Dunia penuh topeng dan kekerasan?”
Tangan Leo menangkap tangannya yang hendak memukul lagi.
“Kamu kira setelah semua yang terjadi antara kita, kamu bisa pergi begitu saja?” bisiknya, lebih dingin dari teriakan paling beringas.
Mata mereka bertubrukan. Nafas memburu. Dentuman rasa bersalah, dendam, dan keterikatan aneh berputar di antara mereka seperti pusaran yang tak kunjung selesai.
Lia menggigit bibirnya, menahan isak. “Itu... itu kesalahan,” lirihnya.
Leo menatapnya dalam. Ada sesuatu yang retak di balik dingin itu. Tapi yang keluar justru kalimat yang membuat Lia ingin pingsan di tempat. “Kalau menurutmu itu kesalahan… kenapa waktu itu kamu begitu menikmatinya?”
Tubuh Lia menegang. Seolah ada palu menghantam dadanya. Sorot matanya langsung menajam, terluka, tersinggung, terhina. Tapi juga—terjebak.
“Lupakan saja. Anggap tidak pernah terjadi apa pun,” ujarnya cepat, terburu-buru. Seolah ingin menghapus jejak yang sudah telanjur membekas terlalu dalam.
Leo berdecak. Satu langkah maju. Dan sebelum Lia sempat mundur, lengannya sudah melingkar di pinggang gadis itu. Tarikan pelan namun tegas membuat tubuh mereka menempel. Lia tercekik oleh kedekatan itu.
Leo memiringkan wajahnya, mendekat. Bibirnya hampir menyentuh bibir Lia.
Namun sebelum bersentuhan, Lia mendorongnya sekuat tenaga. Nafasnya tercekat, suaranya nyaris panik. “Aku ingin pergi dari sini!”
Leo tidak membalas. Ia melipat tangan di depan dada. Tatapannya berubah gelap, tapi tidak lagi memaksa. Hanya satu kalimat, pelan dan menusuk, keluar dari bibirnya.
“Pergi ke mana, hmm? Menemui papa angkat kamu?”
Langkah Lia terhenti.
Dunia seolah berhenti berputar. Kalimat itu… bukan gertakan. Itu pernyataan. Dan dari caranya Leo mengatakannya, Lia tahu—lelaki itu tahu sesuatu yang selama ini hanya Dario yang tahu.
Ia menoleh perlahan. “Maksud Bapak apa?”
Leo hanya tersenyum. Tipis. Seperti seseorang yang memegang kartu terakhir di meja perjudian.
Tanpa berkata, ia mengulurkan sebuah map berwarna abu-abu gelap.
Lia menatap map itu seolah benda itu bisa meledak. Tangannya gemetar saat mengambil dan membukanya.
Beberapa lembar dokumen terjepit rapi. Surat adopsi. Hasil tes DNA. Dan sebuah foto bayi.
Bayi yang tak pernah ia lihat sebelumnya, tapi membuat dadanya sesak, seolah tubuh mungil itu menyimpan rahasia besar yang selama ini dikubur dalam-dalam.
“Tidak… ini bohong,” bisiknya lirih. Matanya membelalak. “Ini pasti bohong…”
Leo menatapnya. Tidak ada belas kasihan di sana. Hanya kenyataan yang ditamparkan dengan sunyi.
“Kamu bukan anak kandung Dario. Dan dia menyembunyikannya darimu selama ini.”
Air mata Lia jatuh. Bibirnya gemetar. Dunia seolah runtuh di bawah kakinya. Ia merasa terlempar dari semua yang ia tahu selama ini. Identitasnya. Keluarganya. Siapa dirinya. Semuanya mendadak hancur.
“Aku nggak percaya…” suaranya nyaris tidak terdengar. Tangannya meremas dokumen itu, seolah berharap semua bisa musnah begitu saja.
Leo tetap diam. Kebenaran paling menyakitkan memang datang dalam keheningan.
“Sejak kapan?” Lia bertanya dengan suara parau.
“Sejak kamu masih bayi,” jawab Leo tanpa ragu. “Dia mengambilmu dari keluarga yang mencintaimu, yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencarimu kembali.”
Lia menggeleng, memaksa dirinya tetap berdiri. Tapi tubuhnya lemas. Segala perlakuan Dario selama ini… semua kini masuk akal. Rasa asing yang tak pernah bisa ia jelaskan selama ini… ternyata benar.
Air matanya makin deras. Ia berlari.
Mencari jalan keluar dari rumah itu.
Dari kenyataan itu.
Namun setiap lorong membawa dia kembali ke tempat yang sama. Seolah rumah itu dirancang untuk menyesatkannya. Untuk menjebaknya. Untuk… mengurungnya.
Suara langkah kaki terdengar. Perlahan, tenang, pasti.
“Aku sudah bilang… kamu nggak akan pernah bisa pergi dari sini, Lia.”
Lia menoleh. Leo berdiri di ujung lorong. Tatapannya sulit diartikan. Dingin, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tak bisa ditebak.
Lia berbalik. Berlari lagi.
Tapi tetap kembali ke tempat yang sama.
Ke tempat Leo masih berdiri.
“Masih ada tenaga buat lari?” tanyanya ringan, nyaris seperti ejekan.
Lia kehabisan napas. Tubuhnya gemetar. “Apa maumu sebenarnya?!”
Leo menunjuk pintu di dekat mereka. “Itu kamar kamu. Masuk. Istirahat. Ganti pakaianmu.”
Lia ingin menolak. Tapi tubuhnya terlalu lelah. Dengan ragu, ia melangkah mendekati pintu, membukanya perlahan.
Ruangan itu sunyi, gelap. Saat lampu otomatis menyala, Lia nyaris tak percaya.
Kamar itu luas. Nuansa hitam dan kelabu mendominasi. Kasur king size tertata rapi. Di kanan, pintu menuju walk-in closet terbuka lebar. Dan ketika ia melangkah masuk…
Ia terpaku.
Rak-rak itu penuh pakaian. Gaun, seragam kampus, pakaian tidur. Bahkan sepatu, tas, parfum, kosmetik. Semua terlihat baru. Semua… miliknya?
Tapi… ia baru datang hari ini.
“Apa… ini sudah disiapkan sejak awal?” gumamnya.
Tangannya menyentuh gaun. Tangannya gemetar. Ini bukan sekadar penculikan. Ini—obsesi.
Di balik pintu kamar, Leo berdiri. Mengamati. Pintu menutup perlahan, menyembunyikan Lia dari pandangan.
Ia tersenyum.
Bukan senyum kemenangan yang lantang. Tapi senyum kecil, senyum yang menyimpan banyak luka dan rencana.
Lia telah masuk ke sangkar yang telah ia rancang lama. Sangkar yang terbuat dari kenangan, cinta, dan dendam.
Leo bersandar ke dinding. Nafasnya berat. Tapi matanya penuh kelegaan aneh. Matanya… mulai bergetar.
“Akhirnya…”
Satu kata itu meluncur dari bibirnya. Suaranya nyaris lirih.
Lia.
Perempuan itu.
Gadis keras kepala yang datang membawa badai ke dalam hidupnya. Yang mengguncang semua rencana licik yang sudah ia susun bertahun-tahun.
Leo mencintainya. Tapi juga menggunakannya. Dua hal yang tak lagi bisa ia pisahkan.
Dan semuanya sudah dimulai.
Ia menunduk. Mengepalkan tangan.
"Papa… aku hampir sampai," bisiknya lirih. Matanya mengeras. "Dario akan merasakannya. Dan senjata paling sempurna… adalah gadis yang dia pikir bisa ia kendalikan seumur hidupnya."
Senyumnya kembali muncul.
Dingin. Rumit.
Dan sangat manusiawi.
Karena di balik semuanya… Leo pun rapuh.
Terlalu rapuh untuk melepaskan Lia.
---