Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Areta membuka matanya perlahan-lahan dan melihat dirinya yang kembali di kamar Vincent.
Ia merasakan seluruh tubuhnya kaku dan sakit, terutama pada pergelangan kaki kirinya.
Ia mencoba untuk bangkit, tetapi sebuah bunyi logam yang beradu menarik perhatiannya.
Areta menoleh dan membelalakkan matanya ngeri.
Pergelangan kakinya terpasang oleh rantai besi tebal yang dihubungkan ke tiang ranjang yang kokoh.
Rantai itu tidak terlalu panjang, hanya cukup memberinya ruang gerak terbatas di sekitar tempat tidur.
Ia benar-benar menjadi tawanan di rumah Vincent.
Keputusasaan yang dingin merayap di hatinya, bercampur dengan kemarahan yang tertahan.
Tak lama setelah ia sadar, pintu kamar terbuka dan ia melihat Vincent yang masuk ke kamar tampak sangat tenang, seolah menangkap Areta untuk kedua kalinya adalah rutinitas yang membosankan.
Ia mengenakan celana bahan hitam dan kemeja putih yang baru saja disetrika, terlihat rapi dan mematikan.
Vincent berjalan sambil menggenggam beberapa lembar kertas.
Ia melemparkan kertas-kertas itu ke pangkuan Areta.
"Bacalah," perintah Vincent dengan suara datar, tanpa sedikit pun nada bersalah atau kasihan melihat Areta yang terantai.
Dengan tangan gemetar, Areta meraih kertas itu. Matanya menyapu cepat deretan kata-kata resmi.
Itu adalah berkas perjanjian legal, dan intinya membuat napas Areta tercekat: Surat Pernikahan.
"Apa ini?" bisik Areta, suaranya parau.
Vincent kini berdiri tepat di samping ranjang, mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat Areta menciut.
Ia mengambil kembali lembar-lembar kertas itu dan mulai membacakan isinya seolah-olah membacakan daftar belanjaan.
"Ini adalah kontrak seumur hidupmu. Pasal pertama kamu adalah istriku yang sah di mata hukum, efektif hari ini. Kedua semua utang Jacob terbayar lunas saat pernikahan ini disahkan. Ketiga, kamu tidak memiliki hak atas properti atau hartaku, dan keempat ini yang paling penting untukmu, Areta tidak ada lagi upaya pelarian."
Vincent menatapnya dengan tatapan tajam seolah ingin menerkam Areta.
"Jam sepuluh, kita menikah. Jangan kabur lagi."
Mendengar batas waktu yang singkat dan kenyataan yang mengerikan itu, semua rasa takut Areta berganti menjadi kemarahan.
Ia mengabaikan rasa sakit di tubuh dan kakinya yang terpasang rantai.
"Kamu gila, Vincent! Aku tidak mau!" seru Areta, wajahnya memerah karena amarah dan air mata yang tertahan.
"Aku tidak akan menikah denganmu! Aku bukan jaminan yang bisa kamu nikahi!"
Vincent hanya menyeringai dingin, tawa sinis tanpa kehangatan.
"Kamu pikir kamu punya pilihan? Rantai itu ada untuk membuktikan sebaliknya," ujar Vincent, menunjuk rantai besi di kaki Areta dengan ujung jari.
"Sepuluh. Pagi ini. Dan kamu akan melakukannya, entah itu di kursi roda atau sambil menangis. Itu terserah kamu."
Ia meletakkan kertas kontrak itu kembali di sisi Areta, lalu berbalik tanpa memedulikan tatapan horor gadis itu.
"Panggil penata rias. Siapkan dia," perintah Vincent pada seseorang yang berdiri di ambang pintu, lalu ia melangkah keluar meninggalkan Areta dalam jeritan keputusasaan yang tidak bersuara.
Seorang wanita paruh baya dengan dandanan profesional dan dua asistennya segera masuk setelah Vincent keluar.
Melihat Areta yang terantai di tiang ranjang, mereka hanya saling pandang sekilas, sudah terbiasa dengan keanehan di rumah mafia itu, lalu langsung bersikap profesional.
"Ayo Nona, kita harus segera bersiap," kata penata rias itu ramah, mencoba terdengar netral.
Areta menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan meminta mereka untuk keluar.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak akan menikah!"
"Maaf Nona, tapi kami hanya menjalankan perintah Tuan Vincent," ujar salah satu asisten sambil mendekati Areta, siap menyentuh bahunya.
"Jangan sentuh aku!" bentak Areta.
Namun, perlawanannya sia-sia. Dua asisten itu dengan paksa memegang Areta, membantu penata rias melepaskan pakaian kotornya dan mulai membersihkan tubuhnya.
Air mata Areta kembali tumpah, bukan karena sakit, melainkan karena perasaannya yang dicabik-cabik.
Ia diperlakukan seperti boneka yang dipersiapkan untuk sebuah pertunjukan mengerikan.
Setelah tubuhnya bersih, mereka mulai menata rambut dan wajahnya.
Areta hanya diam, tatapannya kosong, tetapi di dalam hatinya badai amarah membara.
"Baik, aku akan menikah dengan bajingan itu."
Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba mencari sisa kendali atas dirinya.
"Tapi aku memilih gaunku sendiri. Gaun yang kalian bawa itu.Aku tidak suka."
Penata rias utama, terkejut dengan perubahan sikap yang mendadak itu, segera menoleh ke belakang, di mana sebuah dress pengantin mewah berwarna gading tergantung di gantungan.
"Tentu saja Nona, kami sudah membawa tiga pilihan terbaik dari butik Tuan Vincent. Gaun ini sudah dipilih khusus, sangat cocok untuk—"
"Aku tidak mau yang itu. Aku mau gaun yang paling sederhana, yang paling tidak terlihat seperti gaun pengantin. Yang berwarna hitam. Ada?" potong Areta tajam.
Penata rias itu tampak bingung dengan permintaan Areta.
"Gaun hitam, Nona? Untuk pernikahan?"
"Ya. Atau aku tidak akan bergerak sedikit pun dari ranjang ini. Katakan pada Vincent," ancam Areta.
Sementara itu Vincent duduk di ruang kerjanya yang bernuansa gelap, menyeruput kopi hitam panas.
Di hadapannya, duduk Jonas, tangan kanan kepercayaannya dan sahabatnya, yang memiliki raut wajah serius.
"Pernikahan akan berlangsung tepat jam sepuluh. Semua sudah siap. Hakim, pengacara, dan saksi," ujar Vincent dengan nada tenang yang tidak mencerminkan kekacauan yang baru saja ia hadapi.
Jonas menghela napas, ekspresinya dipenuhi dilema.
"Ada hal lain, Vince. Tentang Jacob."
Mendengar nama itu, Vincent mengangkat satu alisnya, tanpa menunjukkan emosi.
"Dia meninggal dunia pagi tadi di rumah sakit. Luka-lukanya terlalu parah," lapor Jonas hati-hati.
Cangkir kopi Vincent terhenti di udara. Ia tidak menunjukkan keterkejutan, hanya keheningan yang dingin.
Kematian Jacob berarti utang itu secara resmi sudah hilang bersama pemiliknya, tetapi jaminan Areta kini menjadi miliknya tanpa ada tuntutan balasan lagi.
"Apakah Areta sudah tahu?" tanya Vincent.
"Belum. Kami berhasil menahan kabar itu, hanya pihak rumah sakit dan beberapa orangku yang tahu."
Vincent meletakkan cangkirnya perlahan, bunyi porselen beradu di meja kayu mahal.
Ia menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menatap Jonas.
"Bagus," ucap Vincent, suaranya mengandung perintah mutlak.
"Rahasiakan. Sampai pernikahan ini selesai."
Jonas menatap sahabatnya dengan pandangan campur aduk.
"Vince, kau tahu, menahannya seperti ini—"
"Aku tahu apa yang aku lakukan, Jonas," potong Vincent tajam.
"Aku tidak hanya menginginkan utangnya. Aku menginginkan dia. Dan setelah dia berani kabur dua kali, dia harus membayar lebih mahal dari sekadar utang ayahnya. Kematian ayahnya adalah leverage terakhirku. Aku tidak mau dia mengacaukan upacara ini dengan air mata dan drama. Pastikan tidak ada berita apa pun yang bocor padanya, bahkan setelah upacara. Jelas?"
Jonas mengangguk pasrah saat mendengar perintah dari Vincent.
"Jelas, Vince."
lanjut Thor💪😘