Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?
Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.
#adultromance #agegap #cintabedausia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Bening
Sekitar dua bulan lalu keluarga Bening pindah ke indekos sempit yang berada di lantai dua sebuah banguna bertingkat. Karena terlalu sempit, ayah atau ibunya bahkan kerap tidur di lantai. Kondisi yang begitu menyedihkan membuat mereka tak pernah akur. Ibu Bening yang selalu protes akan kemiskinan mereka dan ayahnya yang selalu berbuat kasar dan mabuk-mabukan.
Kaki Bening melangkah hati-hati saat menaiki anak tangga. Tetangga indekos meliriknya beberapa kali sambil bergumam-gumam acak. Barulah Bening mengerti alasannya ketika mendengar suara teriakan dari arah kamar indekos mereka.
“Wanita jalang! Lacur! Bangsat!” teriak ayah Bening, Baron.
“Lepaskan! Daripada kamu tukang mabuk! Cari kerja nggak becus. Mending aku ngelacur dan dapat uang. Kamu hanya meminta tanpa pernah tau rasanya kesusahan mencari duit.” Ibunya Bening tak mau mengalah.
Dari tempatnya berdiri, Bening melihat rambut ibunya dijambak paksa. Lalu diseret-seret oleh sang ayah yang langkahnya linglung. Dari jarak yang begitu dekat, Bening bisa mencium aroma alkohol yang berasal dari tubuh ayahnya. Keduanya saling berteriak, memukul, lalu menyerapah.
Kekerasan itu bukan hal yang tidak biasa bagi Bening. Setiap hari pemandangan yang sama dilihatnya tanpa henti. Beberapa tetangga memprotes karena keributan yang tak kenal siang dan malam. Bahkan mereka sampai mengancam akan melaporkan kepada pemilik indekos agar mereka diusir. Pada akhirnya, Bening-lah yang meminta maaf.
“Baru pulang kamu? Masih ingat rumah, ya?” Baron menangkap keberadaan Bening.
Anaknya terkesiap begitu mata merah Baron memelototinya. Karena Baron lengah, Diana, ibunya langsung mendorong lengan sang suami. Tubuh Baron limbung membentur tembok pembatas. Terlihat Diana mendekati Bening, lalu menarik lengannya dengan kasar.
“Lepas, Ibu!” pekik Bening.
“Anak tak berguna! Sudah Ibu bilang, berhenti kuliah. Percuma! Nggak ada gunanya. Lebih baik kamu cari uang. Cari uang, Bening!” teriak Diana sembari memaksa Bening masuk ke indekos.
“Ibu!” Bening menjerit. Namun, kekuatannya tak sebanding karena sekarang Baron juga berdiri dan mendorong punggungnya dengan paksa.
Tubuh Bening terhempas ke lantai dingin. Diana pergi ke kamar mandi, mengambil air dengan gayung lalu menyiram kepala Bening dengan air dingin. Baron melipir ke tempat tidur, menyulut rokok dan mengamati kejadian itu.
“Ini akibatnya kalau membangkang pada orang tua. Ibu kan sudah bilang, kerja! Masih aja suka keluyuran dan bergaul dengan orang kaya yang sama sekali nggak bisa membantu,” kata Diana mengomel.
“Aku nggak akan berhenti. Setelah lulus, aku akan bekerja, Ibu.”
“Halah! Mau kerja apa? Jadi bos juga belum tentu. Kamu sengaja pergi lama-lama karena nggak mau dipukul, kan? Maunya hanya Ibu yang dipukul pria bangsat itu!” Ia menunjuk Baron yang masih menghisap rokok.
“Apa yang Ibu bicarakan? Aku kuliah. Dan siapa yang setiap hari akan betah di tempat ini? Aku muak. Tempat ini seperti neraka!”
Telapak tangan Diana refleks mendarat kasar ke pipi Bening. Rambut Bening yang basah menempel ke pipi. Rasa perih dan panas menggelenyar ke permukaan pipinya tanpa henti. Namun, ia tak ingin menangis. Justru mendongak menatap sang ibu dengan mata memerah.
“Dari kecil sampai saat ini kamu nggak berguna, Bening. Untuk apa Ibu merawatmu kalau kamu begini?” Suara Diana akhirnya terdengar jauh lebih pelan. “Ibu menyesal—”
“Hei, hei!” Baron akhirnya angkat suara. “Jangan teruskan ucapan kamu.”
“Ibu menyesal?” Bening berdiri dari tempat. Tak menyangka ibunya akan mengatakan hal semacam itu. Mungkin maksudnya Diana menyesal telah melahirkan Bening ke dunia ini.
Akan tetapi, bukan salah Bening, kan? Dia tak meminta dilahirkan oleh Diana. Kalau bisa memilih, ia ingin lahir menjadi bagian keluarga Nata. Bukan keluarganya dan hidup di tempat yang seperti neraka.
“Bening, ibumu cuma emosi, jadi ….”
Kalimat Baron tertahan karena Bening memilih merampas tas dan keluar dari ruangan sempit itu. Meski terdengar suara Diana meneriaki namanya, Raras tak peduli. Bersama tubuh yang sedikit basah kuyup, Bening meninggalkan gedung indekos. Ia berlari tak tentu arah, lalu duduk di halte bus terdekat yang cukup sepi.
“Aku harus ke mana sekarang ….” Bening bergumam sembari menatap langit yang mulai menggelap.
Imajinasinya liar membandingkan kehidupan dirinya dan Nata. Dua keluarga yang begitu bertolak-belakang. Meski Nata sering ditinggal Garda karena urusan pekerjaan, tetapi kasih sayang tak pernah berhenti didapatkan oleh Nata. Sedangkan Bening? Ia tahu kehidupannya dan Nata begitu kontras.
Sesekali ia berpikir, andai saja dirinya berada di posisi Nata? Andai saja Garda adalah ayahnya? Namun, seiring berjalan waktu kekaguman pada Garda sebagai figur ayah perlahan sirna. Bening tahu, ketertarikannya bukan lagi hanya sebatas itu. Namun, ia terpesona pada Garda seperti rasa suka seorang wanita terhadap pria pada umumnya.
Raras mengusap wajah frustrasi. Sampai akhirnya suara klakson mobil terdengar memecah fokus Bening.