Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman masa kecil Wulan
"Ibuuu!" Wulan memeluk Ratih dengan erat, nafasnya terengah-engah ketakutan.
"Tenang Nak, ibu di sini." Ratih mengelus punggungnya, memeluknya.
"Buk, dia datang lagi. Dia duduk di sini!" kata Wulan dalam tangisnya, ia menunjuk ranjangnya sendiri
"Iya Sayang, tenang ya." bujuk Ratih, ia hanya bisa berkata demikian karena itu sudah berulang kali sejak Wulan mulai sekolah dasar.
Katanya, ada sosok perempuan berpakaian putih sering menunggui Wulan jika sedang tidur, sering mengikuti Wulan pergi ke dapur, ke kamar mandi, juga keluar rumah jika malam hari. Bukankah penjelasan itu cukup membuat merinding. Namun tak ada yang bisa di lakukan Ratih, mendatangkan beberapa orang pintar pun sudah di upayakan, namun hasilnya nihil, tak ada perubahan sama sekali.
"Nduk, apakah kamu melihat wajahnya?" tanya Rudy.
Wulan menggeleng.
Frustasi! Itulah yang dialami Rudy, jika ada wujudnya, harusnya ada wajahnya bukan? Lalu kenapa sosok itu terus mengikuti Wulan, untuk apa?
Jika ada salah, apa yang sudah Wulan lakukan, dia anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Kalau kesalahannya ada pada Rudy, apa yang sudah Rudy lakukan? Rudy merasa tidak pernah melakukan kesalahan yang menyebabkan hal yang fatal.
"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana Mas?" ungkap Ratih.
"Apakah ada yang kamu lakukan di belakang ku Ratih?" tanya Rudy, sudah hampir putus asa hingga mencurigai istri sendiri.
"Nggak ada Mas." jawab Ratih sambil memijat kepalanya.
"Lalu kenapa anak kita bisa seperti ini Dek, aku takut dia tak normal sampai dewasa." kata Rudy.
Keduanya larut dalam kebingungan yang seolah tanpa jalan keluar.
"Apakah ada hubungannya dengan Mbah Mirah? Mbah Suro?" kata Rudy.
Seketika keduanya tersentak dari kebingungan, namun tak mungkin menemui mereka berdua lagi, keduanya sudah pergi untuk selamanya.
Begitulah malam-malam terasa amat panjang, terutama bagi Wulan, pukul sembilan belum terasa mengantuk, namun setelah kantuknya datang tidurpun terasa sangat menakutkan.
Kurang tidur, tidak bisa berkonsentrasi belajar, tubuhnya kurus, pucat, makan pun hanya sedikit.
Sekilas dia sehat, namun di balik itu, dia sedang dalam tekanan batin dan mental yang luar biasa, malam tak bisa tidur, siang dia harus sekolah, dan sore dia harus memasak, mengurus Jaka yang ditinggal Ratih membantu Rudy di ladang.
Piring harus di cuci agar sang ibu tak marah, mencuci baju pun sendiri. Jika sore hari ibu belum pulang dari ladang, sore pun ia harus memasak nasi barulah pergi mengaji.
Pulang mengaji...? Kena marah lagi.
"Kaki adikmu sampai lecet begini, kenapa?" tanya Ratih menjelang Maghrib.
"Jatuh Bu." jawab Wulan.
"Harusnya kamu larang adikmu main terlalu jauh, lecet begini kakinya sakit. Dia masih kecil, kasihan." marah sang ibu.
Ingin rasanya Wulan menjawab bahwa tadi sudah di larang, namun Jaka tidak mau mendengarkannya. Sedangkan tugasnya belum selesai, hidupnya kacau sekali.
Siang itu, matahari terik menyengat kulit, pukul dua siang Wulan mulai pergi ke sungai untuk mandi dan mencuci baju.
Kebetulan Jaka diajak Ratih ikut ke ladang sehingga Wulan bisa mandi dan mencuci tanpa mengajak Jaka.
Langkah kakinya di percepat ketika melewati semak di pinggiran ladang orang yang tidak terurus. Anak-anak yang lain sudah berjalan lebih dulu seperti biasa.
Bukan Wulan yang ketinggalan, tapi memang sengaja di tinggalkan lantaran mereka tidak suka Wulan. Mereka juga bukan orang asing, mereka yang biasa mandi di sungai itu adalah saudari-saudarinya, anak dari kedua bude, saudari Ratih ibunya.
Suara gemericik arus semakin terang terdengar di telinga seirama dengan nafasnya. Wulan senang karena dia tidak jauh tertinggal dari saudara sepupunya itu, tampak mereka sudah mulai mencuci di atas batu bersama beberapa teman yang lain.
"Wulan, sini!"
Seorang anak tetangga Wulan melambaikan tangannya.
"Hush! Kamu ngapain ajak dia?" Sarinah, anak bude yang paling tua itu menepis tangan temannya.
Senyum yang baru saja merekah di bibir Wulan kini kembali surut, ia menenteng ember berisi baju kotornya lalu menuju batu yang agak jauh dari yang lain.
Riuh suara Sarinah dan beberapa yang lain bercanda, tertawa saling melempar air dan saling mengejar di dalam air yang tidak terlalu dalam itu. Tapi tidak dengan Wulan, ia hanya bisa tersenyum tipis menikmati kesenangan mereka tanpa mengikuti permainannya.
Cukup lama, hingga mereka semua sudah selesai mandi dan berkemas pulang.
"Wulan, cepat selesaikan."
Lagi, anak tetangga Wulan bernama Yanti itu memanggil Wulan yang masih membilas cucian terakhirnya.
"Iya, Yan." jawab Wulan, sambil bergegas menyiramkan air ke tubuhnya, mandi terburu-buru.
"Sudah! Ayo kita pulang!" ajak Sarinah kepada Yanti, memaksanya pergi.
"Tapi Sar, Wulan belum selesai." katanya.
"Biarin aja, diakan datangnya tidak barengan kita. Ngapain nunggu dia?" sinis Sarinah, mendorong Yanti berjalan lebih dulu, meninggalkan Wulan.
Wulan pun paham, bahkan suara mereka sangat jelas kalau Sarinah tidak mengizinkan Yanti berteman dengannya. Bukan hanya Yanti, tapi kalau bisa semua orang tidak boleh berteman dengan Wulan.
Rasa takut mulai menyelimuti hati dan pikiran Wulan ketika semua orang telah meninggalkannya, ia pun tergopoh-gopoh mandi dan segera pulang tanpa mengeringkan badan terlebih dahulu.
Nafasnya terengah-engah berjalan sedikit menanjak tanpa beristirahat, rasa takutnya mendominasi sehingga mengalahkan lelah, baju yang basah kini terasa hangat lantaran pori-pori kulit mengeluarkan keringat.
"Wulan?"
Wulan pun terkejut, ia menoleh cepat ke arah sumber suara yang memanggilnya.
"Eh, Mas Arif." Menghembuskan nafas lega, karena yang memanggilnya ternyata orang yang dia kenal.
"Kamu jalannya cepat sekali, dari tadi aku ngikutin kamu." kata Arif, anak SD kelas enam yang tinggal di ujung desa.
"Aku?" Wulan salah tingkah sambil tertawa malu.
"Takut ya?" kata Arif.
"Siapa yang takut, cuma, takut telat mengaji." kata Wulan berbohong.
Arif pun terkekeh, dia tahu betul Wulan takut, dia juga tahu kalau saudara dan teman-temannya menjauhi Wulan. "Ayo, bareng mas Arif saja. Sekalian aku mau ke rumah Ustadz Ilman." kata Arif.
Wulan pun mengikuti langkah anak laki-laki di depannya, dari semua manusia yang dia kenal, cuma Arif yang tidak mengucilkannya. Padahal dia adalah anak orang berada, berbeda jauh dengan Wulan yang tergolong miskin.
"Sini, mas bawa embermu itu." tunjuk Arif.
"Nggak usah Mas, enteng kok." kata Wulan, mempertahankan ember berisi baju basah, membuat tangan kecilnya sedikit keberatan.
"Benar, tidak mau aku bawakan? Ini hari terakhir aku di sini loh?" goda Arif. Tapi cukup membuat Wulan terkejut.
"Emangnya, mas Arif mau kemana?" tanya Wulan.
"Besok kan, aku berangkat ke pesantren." jawab Arif.
Seketika mereka saling diam, kalau Arif tak ada, maka tidak ada pula orang yang mau berteman dengan Wulan, pulang sekolah Wulan pasti sendirian.
Rasa sedih menjalar di hati Wulan, namun tidak tau harus berkata apa. Toh, Arif melanjutkan sekolahnya sesuai cita-cita yang selalu di ceritakan setiap pulang sekolah bersama Wulan.
"Wulan, kau hati-hati ya." kata Arif, mereka berdiri sejenak ketika hampir sampai di rumah Wulan.
"Pasti Mas, Wulan akan baik-baik saja." jawab Wulan, menampilkan senyum manis khas gigi kelinci, cantik sekali bagi siapa saja yang melihatnya.
"Aku akan pergi enam tahun untuk mendapatkan gelar ustadz dan bisa mengajar di pondok. Nanti, kalau ayah tidak keberatan menjemput ku, aku akan pulang setiap lebaran dan aku akan menemui mu"
Wulan pun hanya bisa diam, hatinya benar-benar sedih kehilangan sosok kakak yang tulus. Satu tahun itu, sangatlah lama.
"Kalau tahun depan aku tidak pulang, artinya tiga tahun kemudian aku pasti akan menemuimu. Saat itu aku pasti punya uang untuk pulang sendiri. Jangan pindah rumah ya?" canda Arif, namun ucapannya benar-benar serius.
"Mas Arif, hati-hati." ucap Wulan, akhirnya mereka berpisah setelah tiga tahun berteman. Arif sering membantu Wulan dari perundungan. Tapi sekarang? Wulan sendiri lagi.
"Ingat! Jangan pindah tanpa pesan untuk ku ya?" teriak Arif, ketika Wulan sudah diambang pintu rumahnya.
Wulan pun menoleh, mengangguk dan melempar senyum terakhir.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya