Vira, terkejut ketika kartu undangan pernikahan kekasihnya Alby (rekan kerja) tersebar di kantor. Setelah 4 tahun hubungan, Alby akan menikahi wanita lain—membuatnya tertekan, apalagi dengan tuntutan kerja ketat dari William, Art Director yang dijuluki "Duda Killer".
Vira membawa surat pengunduran diri ke ruangan William, tapi bosnya malah merobeknya dan tiba-tiba melamar, "Kita menikah."
Bos-nya yang mendesaknya untuk menerima lamarannya dan Alby yang meminta hubungan mereka kembali setelah di khianati istrinya. Membuat Vira terjebak dalam dua obsesi pria yang menginginkannya.
Lalu apakah Vira mau menerima lamaran William pada akhirnya? Ataukah ia akan kembali dengan Alby?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Drezzlle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Lama Belum Kelar
Mobil meluncur dalam diam, mengantarkan Alby dan Abella ke apartemen mereka. Abella membeku, tak berani bicara saat Alby masih marah.
Drrt…drrrtt…
Getar ponselnya memecah keheningan. Pesan dari Riko membuatnya terkejut "Sudah seminggu, Sayang. Kirim uang sekarang, atau besok aku datang ke apartemen." Napas Abella tercekat, pria yang sebelumnya ia sering ajak bersenang-senang di ranjang tampak tak sabaran. Tak mau tahu posisinya yang kesulitan sekarang.
“Aku tidak bisa mengirimimu uang lagi. Kita selesai sampai disini,” Abella membalas pesan tersebut.
Setelah menikah, hidup Abella berubah menjadi neraka. Alby mengurungnya dalam sangkar emas, mengendalikan setiap gerakannya. Kartu ATM dan kartu kreditnya disita. Melawan berarti menantang amarahnya.
Seperti kemarin, saat ia bersikeras tidak ingin resign. Malam itu, Alby pulang dengan mata merah dan bau alkohol yang tajam. Tanpa ampun, tamparan keras mendarat di pipinya, disertai kata-kata kasar dan terus menggumamkan nama “Vira” berulang kali bahkan saat keduanya sedang berhubungan suami istri.
“Aaaa… sial!” teriak Abella di dalam hati nya. Ia terjebak dalam rencananya sendiri.
.
Alby baru saja mengantar Abella ke apartemen, tapi sudah bersiap untuk pergi lagi. Abella meraih tangannya, mencegahnya.
“Mau kemana lagi?” tanya Abella.
“Aku ada urusan sebentar, tidurlah jangan tunggu aku,” jawab Alby dingin, mencoba menarik tangannya namun istrinya mempererat cengkeraman nya.
“Kamu bilang lelah ingin istirahat. Aku butuh kamu Alby … aku butuh kenyamanan, berbaring dengan suami. Kamu tahu aku seharian mual dan ingin pingsan,” ujar Abella, ia takut suaminya minum alkohol dan pulang dalam keadaan ma.buk lalu memukulnya lagi.
“Itu salahmu sendiri. Aku sudah katakan, untuk kamu resign. Jika William kembali ke kantor dan salah satu dari kita belum menyerahkan surat resign, aku akan habis. Kau tahu itu?!” pekik Alby, menarik tangannya lebih kuat, hingga cengkeraman istrinya mengendur—terlepas.
“Jika aku resign kamu akan mengembalikan semua milikku, kartu kredit ku dan mengembalikan kunci brangkasku?” Abella meminta apa yang seharusnya menjadi miliknya.
“Hah… berisik!” Alby segera keluar dari pintu, dengan langkah lebar masuk ke dalam lift.
“Alby!” teriak Abella. Ia berusaha mengejar, tapi rasa sakit di perutnya mengunci langkahnya. Kandungannya yang sudah memasuki 20 minggu terasa seperti beban yang menyiksa.
.
.
Sementara di rumah sakit…
Di sudut kantin rumah sakit, Vira dan Inneke, Ibunya William duduk berhadapan. Dua cangkir kopi beruap di tengah meja polos, sementara tangan mereka yang saling terlipat—hening.
“Hah…” Inneke menghela napasnya panjang. Wanita yang duduk di depannya terlihat masih muda dan tidak pantas dengan anaknya yang seorang duda dengan dua anak.
“Kalian sudah berapa lama bersama?” tanya Inneke, senyumnya ramah menatap Vira.
“Belum lama, Tante. Baru dalam hitungan hari saja,” jawab Vira sopan, ia membalas senyum Inneke.
“William itu duda, dia punya dua anak. Kamu tahu itu?” pertanyaan ini terdengar seperti interogasi.
Seketika Vira merasa berada di ruangan sempit dengan cahaya temaram. Satu lampu neon seolah berada tepat di atas mereka. Bergerak ke kanan dan ke kiri, menyorot secara bergantian.
“Saya tahu… Tante,” jawab Vira, bahunya sedikit gemetar tapi berusaha tetap tegak.
“Kamu yakin bisa menerima William dan juga dua anaknya… saya lihat kamu masih muda. Apa kamu dekat dengan William untuk maksud lainnya?” wajah ramah itu berubah, alisnya terangkat satu. Suaranya tegas dari sebelumnya.
‘Sebenarnya belum terpikirkan… lagi pula William yang awalnya memaksa. Hah… harusnya nggak dateng kesini sih,’ batin Vira. Tangannya bertautan di bawah meja, menelan salivanya dengan susah payah mengusir rasa gugupnya.
“Mungkin saya masih terlalu dini untuk mengatakan hubungan kami serius, Tante. Saya tidak memiliki niat atau maksud tertentu dekat dengan Pak William, karena awalnya saya ingin resign tapi beliau berkeinginan melamar saya,” jawab Vira jujur, tak ingin semakin rumit.
Inneke tersentak dengan jawaban Vira, “Me—melamar?” matanya membulat sempurna, tak percaya.
Vira mengangguk. “Pak William melamar saya, tapi saya belum menerimanya.”
Kedua bahu Inneke turun, dengan gerakan perlahan bersandar di kursi—mengesap kopinya perlahan, mengamati wajah Vira. Pikirannya dipenuhi dengan “Apa yang membuat putranya mendadak melamar wanita?”
Vira ikut mengangkat cangkir kopinya, mengesapnya dengan pelan. Sesekali melempar senyum.
“Sebaiknya kamu pulang. Untuk sekarang William belum bisa dikunjungi. kondisinya belum pulih.” Inneke meletakkan cangkirnya, bersiap bangkit dari kursi.
Tapi gerakannya berhenti, kembali menatap Vira. “Jauhi dia, aku akan bicara dengannya. Aku tidak ingin anakku terlibat dengan wanita muda yang bahkan tidak memiliki perasaan apapun padanya. Anggap saja lamaran yang ia katakan itu lelucon,” tambahnya, memberi pesan. Lalu pergi meninggalkan Vira.
Vira hanya diam, ia tidak membalas “ya” ataupun “tidak”.
Langkahnya gontai keluar dari rumah sakit. Ia menghela napasnya pelan, “Apa aku peduli padanya karena cinta?” monolognya.
Saat tiba di area parkir suara bariton yang familiar memanggilnya. “Vira…”
Vira menoleh dan mendapati Alby yang berdiri di belakangnya. Ia segera berbalik dan segera masuk ke mobil. Dengan cepat Alby, menahan pintu itu kuat-kuat.
“Vira, aku mau ngomong,” desak Alby.
Vira tidak peduli, ia menutup pintu mobilnya dengan paksa. Jemari Alby menahannya kuat, meringis kesakitan saat terjepit .
“Apa yang kamu lakukan disini?” pekik Vira.
“Aku nyari kamu… apartemen udah kosong. Jadi aku pikir kamu pasti jenguk pria itu di rumah sakit. Aku kangen sama kamu Vir…” Alby menarik paksa pintu mobil, hingga berhasil menerobos masuk dan duduk di samping Vira.
“Kamu gila, Alby. Kamu sudah beristri. Istrimu hamil dan kamu akan menjadi ayah. Bisa-bisanya kamu…” mata Vira membesar, amarahnya membuncah melihat mantannya yang tampak tak waras masih mengejarnya. “...keluar!” suara Vira meninggi.
Alby berusaha menyentuh tangan Vira, tapi Vira segera memukulnya dengan tas.
“Aku kacau… aku nggak bisa hidup tanpa kamu Vira. Aku akui aku salah, maafin aku.” Alby tertunduk, dadanya tersengal naik dan turun.
“Kamu nggak waras, kita sudah berpisah. Itu juga semua karena kamu. Kamu yang memulai!” suara Vira semakin meninggi. Ia memukul wajah Alby kembali dengan tasnya. Dan pria itu hanya diam saja, menerima.
“Aku tahu… sayang. Aku sudah mencobanya. Tapi bayangan wajahmu yang selalu dipikiranku. Mamah papah juga hanya ingin kamu, aku ingin kita kembali. Please, ngertiin aku,” suara Alby semakin parau. Matanya memerah basah, air mata terlihat menumpuk di pelupuk mata.
“Aku nggak peduli. Kita sudah selesai. Aku nggak mau ada urusan lagi sama kamu ataupun Abella. Pergi atau aku teriak?!” Vira memberikan kecaman, ia membuka pintu di sebelahnya dan keluar.
Alby ikut keluar, dengan langkah cepat menarik tangan Vira. Brak! Punggung Vira membentur pintu mobil, Alby mendorongnya—satu tangannya mengunci langkah Vira. “Aku akan melakukan apapun sampai kamu kembali padaku lagi. Bahkan jika harus menyingkirkan Abella dan William sekaligus!”
Bersambung…
tapi di cintai sama bos gaskeun lah 😍