Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Keresahan Yuri
Yuri sampai di kosan sekitar pukul sembilan malam. Suasana kosan cukup sepi, banyak kamar yang pintunya sudah tertutup rapat. Entah penghuninya sedang keluar, pulang ke rumah, atau sudah terlelap.
Setelah parkir mobil di tempat biasa, dia segera berjalan ke gerbang, mengunci pintu, lalu segera melangkah masuk ke kamarnya di lantai dua.
Barang belanjaannya diletakkan di atas meja belajar begitu saja. Nggak mau menunda lebih lama, dia langsung melipir ke kamar mandi, membersihkan badannya sebelum menikmati makan malam junk food-nya.
Ponselnya bergetar sebentar, tepat saat dia keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di kepala. Ada pesan masuk dari Mamanya.
Mama: Kak, uang buat bayar kosan sudah Mama transfer. Kalau kurang bilang ya, sayang. Love you.
Yuri hanya membaca sekilas dan membalas singkat. Mau menelepon Mamanya juga nggak mungkin, di sana pasti sudah tengah malam.
Saat ini, keluarga Yuri menetap di Australia, menemani Omanya yang baru selesai operasi, sekaligus mengurus perusahaan di sana bersama adik Papanya.
***
Mata Yuri memindai meja belajarnya. Dia segera membuka kemasan makanan cepat saji yang tadi dibeli untuk makan malam. Tangan lainnya sibuk bermain ponsel.
Tangan kirinya lincah menggulirkan akun-akun media sosial yang muncul di beranda. Ada satu akun yang sampai sekarang masih dia ikuti dan diam-diam dia stalking. Siapa lagi kalau bukan akun si mantan. Mereka putus bukan karena sudah nggak sayang lagi, tapi karena jarak.
Ada satu postingan baru yang diunggah mantannya. Foto langit malam dengan Tokyo Tower berdiri megah di dalamnya, disertai caption "With U".
Yuri yang sedang asik mengunyah, langsung tersedak. Buru-buru dia minum air mineral, berdeham karena makanannya sempat menyangkut di tenggorokannya.
"What?" kagetnya, nyaris teriak.
"Dia sudah move on ternyata", kecewanya.
"Hah... Wajar sih, sudah setahun lebih kita putus. Ya kali dia nggak punya pacar baru di sana, gue juga yang mutusin," monolognya sedih sambil mengunyah ayam tepung, merasa dirinya jomblo sendiri.
Tangannya bergerak cepat, mencari tahu apakah ada tautan atau tagar yang menunjukkan siapa perempuan yang berhasil meluluhkan hati mantannya. Hasilnya nihil.
Yuri kesal dan menggerutu sendiri sambil sibuk menghabiskan makanannya.
"Siapa ya kira-kira?", sambil tangannya mengacung-acungkan tulang ayam di depan wajahnya.
"Aaa... Dia sudah move on dong, gue harus cepet-cepet nih punya pacar baru. Gue nggak boleh kelihatan gamon kalau nanti kita reunian. Tapi siapa?", rengeknya pada diri sendiri yang akan dia gaet.
Yuri menarik napas dalam dan segera membereskan makan malamnya yang sudah habis, hanya menyisakan tulang ayam saja. Dia lanjut menata rapi barang-barang yang dibeli tadi dengan sedikit galau, seperti belum ikhlas mantannya melupakannya begitu saja.
Ponselnya ia letakkan begitu saja di meja belajar. Ada satu pesan masuk dari Isa berisi lokasi kosan yang akan didatanginya besok.
***
Minggu Pagi.
"Pagi, Tante," sapa Yuri saat mengunjungi kamar Widya pagi menjelang siang ini. Dia jelas sudah mandi dan baru selesai sarapan seadanya yang dia beli kemarin.
"Pagi, Yuri. Sini, masuk," sambut Tante Diah. Widya sempat mengenalkan tantenya dulu saat awal-awal beliau pindah ke kota yang sama dengan mereka.
Tante Diah memeluk Yuri sebentar dan kembali fokus pada beberapa barang yang sedang ia packing.
"Ri, mau ikut ke rumah Tante nggak? Nanti Tante bakal antar balik ke sini," ajak Widya yang keluar dari kamar mandi sambil membawa beberapa botol di tangannya.
"Boleh, Wid. Tapi nanti gue bawa mobil sendiri aja ya. Sore nanti gue ada acara," jawabnya sambil duduk di lantai, tangannya ikutan sibuk menata beberapa buku milik Widya.
"Oke, nggak masalah. Iya, kan, Tan?" Tante Diah hanya mengangguk, tangannya masih fokus melipat beberapa baju milik Widya.
"Ini mau pindah hari ini apa gimana? Kok udah bersih banget kamar lo?" tanya Yuri heran. Widya cuma cengengesan dengan muka sedikit bersalah.
"Wah... nggak bilang lo ya," ujar Yuri pura-pura sedih.
"Tante tadi yang menyuruh Widya, Yuri. Barang Widya kan nggak banyak, jadi sekalian saja pindah hari ini. Maaf ya kalau mendadak," jelas Tante Diah.
"Eh... nggak apa-apa, Tante. Santai aja. Hehehe," Yuri salah tingkah. Dia mana tahu kalau Widya pindahan hari ini, kemarin bilangnya cuma mau nyicil angkut barang.
***
"Mau makan siang apa kalian? Tante mau pesan makan saja ya, Tante nggak bisa masak soalnya," tanya Tante Diah, saat mereka sudah sampai di rumahnya, sekitar setengah jam yang lalu.
"Apa saja, Tante. Saya ikut saja," jawab Yuri sopan.
"Kamu gimana, Wid?"
"Pengen makan soto betawi, Tan. Kayaknya enak deh, siang-siang gini," Widya meminta persetujuan Yuri. Yuri langsung paham maksud Widya, dan menganggukkan kepala sebagai tanda setuju.
"Oke, Tante pesan dulu ya."
Yuri dan Widya sedang asik duduk manis di sofa ruang tengah sambil ngadem. Cuaca di luar terik banget. Matahari kayak ada banyak dari berbagai sudut. Nyengat.
Hawa panas sempat mereka rasakan saat mengangkut beberapa barang milik Widya masuk ke dalam rumah dari mobil tantenya tadi.
"Tante lo kerja di mana, Wid?" tanya Yuri basa-basi.
"Di RS depan kampus itu. Dia jadi dokter umum di sana."
"Oh... keren ya. Tante lo cantik lagi, kirain gue udah punya suami tau."
"Belum, tapi katanya lagi dekat sama salah satu dokter yang ikut mutasi ke sini," jawab Widya sambil berbisik. Untungnya saat ini tantenya ada di dapur, jadi nggak denger obrolan mereka.
"Lo mau ada acara apaan nanti sore?" tanya Widya yang beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Yuri mengekori dari belakang.
Mereka sampai di lantai dua. Widya mulai membongkar dan menata beberapa barangnya.
"Gue mau ngecek kosan yang lagi kosong, Wid. Siapa tahu cocok."
"Habis ini kita pasti jarang ketemu, mana udah nggak sekosan. Mata kuliah juga belum tentu sekelas terus ya. Semester tiga pasti lebih sibuk," sendu Widya.
"Iya, lo benar. Bakal untung-untungan dapat kelas dan dosen siapa nanti."
"Gue sih berharap banget dapat mata kuliah yang diajar Pak Kenan ya," Widya tertawa sambil menata pakaiannya. Yuri hanya memutar matanya malas, tadinya dia ikutan sedih dengan mereka yang mulai jarang bisa ada waktu bersama, tapi mendadak air matanya kembali naik dengan ucapan Widya baru saja.
"Pak Kenan mulu. Kalau nanti nggak dapat kelas Pak Kenan jangan nangis, ya, Dek ya," ledek Yuri sedikit sebal.
"Kampret lo, Ri!"
Mereka tertawa bersama, menghabiskan Minggu siang menata kamar baru Widya. Tapi di balik tawa Yuri, tersimpan rahasia apa yang dia lihat kemarin di parkiran mal, yang buat dia melihat Pak Kenan jelas tak sama lagi.
"Widya... Yuri... Ayo makan dulu," teriak Tante Diah dari lantai satu. Keduanya balas menjawab serentak.
***
"Makasih banyak ya, Tante. Saya pamit dulu."
"Iya, sama-sama Yuri. Sering-sering main ke sini ya."
"Iya, Tante nanti saya mampir kesini. Wid, gue pamit ya."
"Iya, hati-hati di jalan, Ri. Thanks ya sudah bantuin pindahan."
"Kayak sama siapa aja lo. Bye~"
"Bye, Yuri."
Yuri melajukan mobilnya keluar dari cluster perumahan Tante Diah. Saat mobilnya sampai di pertigaan air mancur, lagi-lagi dia bertemu dengan mobil Pak Dosen, Pak Kenan, yang masuk dari sisi jalan berlawanan dengan jalur mobilnya. Yuri yang kaget sempat mengerem mendadak, untungnya jalanan sepi.
"Astaga... Yuri bego. Ini kan Garden City, perumahan yang semalam gue lihat pak dosen masuk kesini. Jadi benar dia tinggal di sini? Cuma beda cluster sama rumah Tante Widya. Gila... daebak banget, pasti Widya kesenangan kalau tahu Pak Kenan satu perumahan sama dia," Yuri senyum-senyum sambil kembali menyalakan mobilnya dan keluar dari perumahan
Sebelum keluar dari perumahan dia papasan dengan motor besar yang sedikit mengebut, Yuri sampai membunyikan klakson karena kaget, "Dasar bego, kalau mau ngebut di sirkuit sana", teriaknya dalam mobil geram.
***
Sore ini, jalanan depan kampus cukup padat merayap. Sepertinya beberapa pengendara, baik mobil maupun motor, kembali dari perjalanan luar kota. Yuri dengan sabar menyetir, gas-rem — gas-rem dari tadi sambil mendengarkan musik dari radio.
Suara merdu Yuri mengalun di dalam mobil, mengikuti lirik yang sedang diputar.
🎶 Kata ini memang terkesan berlebihan. Tapi kamu sebenar-benarnya cinta yang ada.
🎶 Maaf, aku tak bisa membuatmu kembali. Kini semuanya telah berbeda dan sia-sia. Sekarang aku sendiri (sungguh-sungguh sendiri).
🎶 Membiasakan diri tanpa kamu lagi.
Kupaksa hati menerima saat kau pergi
Sungguh, ini terlalu berat
Aku tak sekuat itu, Sayang, wo-oh-uh-uh-oh'
Lagu "Sesal" dari salah satu penyanyi wanita jebolan ajang pencarian bakat mengalun indah. Badan Yuri bergoyang mengikuti irama, menunggu kemacetan yang tak kunjung mereda.
***
Yuri beberapa kali harus meyakinkan diri, kalau rumah yang sekarang ada di depannya adalah rumah yang benar akan dia tuju.
Entah kenapa degupan jantungnya mendadak bekerja dengan cepat.
"Tenang, Yuri. Tarik napas, hembuskan," dia memotivasi dirinya sendiri, sebelum memberanikan diri keluar dari mobil.