NovelToon NovelToon
MENIKAHI ANAK BOS ANEH

MENIKAHI ANAK BOS ANEH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:878
Nilai: 5
Nama Author: Tri 2001

Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pindah Kantor ke Rumah Bos

Pagi itu, aku datang ke kantor seperti biasa, pakai kemeja biru muda yang udah disetrika sama ibuku yaitu Ibu Neneng dari subuh.

Belum sempat duduk, tiba-tiba sekretaris Pak Samingan, Bu Wiwik, udah manggil dari depan.

“Rara, kamu disuruh ke ruangan Pak Samingan sekarang.”

Aku kaget. “Lho, kok mendadak, Bu? Saya salah input data ya?”

“Ndak tahu, pokoknya beliau bilang penting.”

Aku langsung jalan cepat, sambil dalam hati doa, “Ya Allah, jangan sampai aku dipecat gara-gara balon merah.”

Begitu masuk ruangan, Pak Samingan udah duduk di balik meja, sambil buka laptop.

“Silakan duduk, Ra.”

“Iya, Pak.”

Beliau ngelihatku sebentar, terus senyum tipis. “Saya mau ngomong soal tugas kamu.”

“Lha, ada apa, Pak?”

“Saya pikir… mulai minggu ini, kamu kerja di rumah saya aja.”

Aku langsung melongo. “Lho… kerja di rumah, Pak? Maksudnya?”

“Iya. Jadi asisten pribadi di rumah, bukan di kantor. Kamu bantu saya urus dokumen, bantu Bu Wiji kalau perlu, dan... kalau bisa, temani Arifbol.”

Aku langsung bengong. “Temani... Mas Arifbol?”

“Iya. Kamu cocok sama dia. Sejak kamu datang, anak itu lebih tenang. Biasanya kalau saya tinggal kerja, dia rewel. Tapi kemarin, dia malah semangat hafalan.”

Aku nunduk malu, tapi dalam hati ada rasa aneh — semacam campuran senang dan gugup.

“Kalau kamu setuju, mulai besok langsung pindah ke rumah. Nanti jam kerja sama aja, tapi kamu di sana.”

Aku senyum. “Saya siap, Pak.”

“Bagus. Saya percaya kamu bisa jaga anak saya. Cuma satu pesan…”

“Apa, Pak?”

“Kalau dia mulai aneh, jangan dibantah. Diem aja, nanti reda sendiri.”

Aku ngakak kecil. “Siap, Pak. Saya udah mulai terbiasa.”

Sore harinya, aku cerita ke rumah.

Ibuku yang lagi ngiris bawang langsung berhenti, matanya melotot.

“Lho, Rara! Jadi kamu kerja di rumah bosmu?!”

“Iya, Bu. Kata Pak Samingan biar bisa bantu urus anaknya juga.”

Pak Abi yaitu bapakku yang lagi baca koran ikut nyeletuk, “Wah, mantap to. Berarti anakku udah naik jabatan.”

Aku nyengir. “Naik jabatan apa, Pak. Cuma pindah tempat.”

“Ya tapi, Ra, kamu hati-hati ya. Rumah besar itu kadang banyak aturannya. Jangan asal duduk, jangan asal makan,” kata Bu Neneng serius.

“Iya, Bu. Tenang aja, aku kan nggak sembarangan.”

Ibuku melirik sinis kepadaku. “Ngono, tapi kalau anak bosmu manggil, langsung lari. Hati-hati, lho, jangan baper!”

Aku langsung batuk pura-pura. “Eh, aku bantuin iris bawang aja deh, Bu.”

Keesokan paginya, aku udah siap dari jam enam. Naik ojek, sampai di rumah Pak Samingan jam tujuh kurang.

Pagar besar udah kebuka, Mbok Jum nyambut sambil nyengir,

“Wah, Mbak Rara saiki kerja tetap kene yo? Mas Arifbol udah nunggu dari subuh, lho.”

Aku kaget. “Lho, subuh-subuh?”

“Iya, katanya mau nyiapin sesuatu buat Mbaknya.”

Aku masuk, dan di ruang tamu, sudah ada pemandangan luar biasa lucu:

Arifbol berdiri sambil bawa segelas susu putih dan balon baru warna biru.

“Mbak Raraaa! Selamat datang di rumahku!” katanya semangat banget.

Aku ngakak. “Lho, Mas, ini semua buat saya?”

“Iya! Kata Bapak, kamu sekarang kerja di sini. Jadi aku siapin sambutan.”

“Waduh, terima kasih, Mas. Wah, balonnya bagus banget.”

“Yang merah kan sudah kamu punya, sekarang kamu dapet biru. Biar lengkap kayak langit dan cinta.”

Aku langsung terdiam.

“Eh, maksudku langit dan laut!” katanya cepat-cepat, wajahnya merah.

Aku ngakak keras. “Iya, iya, Mas. Tenang aja, aku nggak salah paham kok.”

Siang itu, aku mulai kerja di ruang kecil dekat ruang tengah.

Ada meja rapi, komputer, sama rak buku.

Tapi tiap 15 menit, Arifbol selalu nongol.

Kadang cuma buat nanya hal nggak penting:

“Mbak Rara, kamu suka warna apa?”

“Mbak Rara, kamu tau doa naik tangga?”

“Mbak Rara, kalo balon meletus, dosanya gede ndak?”

Aku sampai nggak bisa kerja fokus.

Tapi anehnya, aku nggak kesel. Malah ketawa terus tiap dia ngomong.

Sore, sebelum pulang, Bu Wiji datang dari lantai atas.

Wajahnya lembut banget, khas ibu Jawa yang kalem.

“Rara, ya?” katanya.

“Iya, Bu.”

“Terima kasih sudah mau kerja di sini. Saya tahu, nggak semua orang bisa sabar menghadapi Arifbol.”

“Saya senang, Bu. Mas Arifbol orangnya baik.”

Bu Wiji senyum haru. “Dia memang baik, cuma sering salah dimengerti orang. Semoga kamu betah di sini, ya. Kalau ada apa-apa, langsung bilang ke saya.”

“Iya, Bu. Terima kasih.”

Pas aku pamit pulang, Arifbol tiba-tiba nyodorin kertas kecil.

“Tadi aku gambar,” katanya bangga.

Aku buka — gambarnya dua orang tersenyum sambil pegang balon merah dan biru. Di bawahnya tertulis miring:

> “Aku senang Mbak Rara kerja di rumahku.”

Aku senyum lebar.

Dan tanpa sadar, mataku sedikit basah.

Hari pertama kerja di rumah Pak Samingan ternyata… ndak semulus bayanganku, rek.

Dari pagi udah ada tiga kejadian yang bikin aku pengen ngakak campur pingsan.

Yang pertama, waktu aku mau masuk ruang kerja kecil di samping ruang tamu. Aku lihat Arifbol duduk di lantai, serius banget.

Kupikir dia lagi baca doa. Eh, ternyata dia lagi… ngitung semut!

“Mas Arifbol, sampeyan ngopo to?” tanyaku sambil nahan ketawa.

Dia nyengir polos, “Aku lagi latihan fokus, Mbak. Kata Bapak, aku kudu belajar konsentrasi. Nah, semut ini lewat sepuluh kali, tapi aku baru bisa ngitung delapan.”

Aku ngakak, “Wah, pantesan semutnya bingung, Mas. Udah bolak-balik tapi nggak kelar-kelar!”

Arifbol ngelirik serius. “Mbak jangan ganggu dulu, nanti nilainya berkurang.”

“Nilai dari siapa?”

“Dari semutnya.”

Aku langsung nyerah. Ya Allah, sabar iku kunci. 😭

Sekitar jam sepuluh, Bu Wiji turun bawa nampan berisi pisang goreng. “Rara, istirahat dulu. Kamu belum sarapan, kan?”

Aku senyum, “Wah, terima kasih, Bu. Pisang gorengnya wangi banget.”

“Tadi Mas Arifbol yang ngiris pisangnya, lho,” katanya pelan.

Aku langsung kaget. “Serius, Bu?”

“Iya, dia pengin bantu kamu. Katanya biar Mbak Rara tambah semangat kerja.”

Arifbol muncul dari belakang lemari, mukanya belepotan tepung.

“Mbak, enak ndak? Aku ngirisnya miring, soalnya pisang lurus katanya kurang lucu.”

Aku ngakak sampe hampir keselek. “Hahaha, iya, Mas, enak banget kok. Pisang miringnya bikin unik.”

“Unik kayak kamu,” katanya polos.

Aku mendadak diem.

Bu Wiji cuma senyum tipis sambil pura-pura sibuk ngelap meja.

Siangnya, aku mulai ngetik laporan keuangan di komputer. Tapi baru lima menit, Arifbol duduk di kursi sebelahku.

“Mbak Rara, aku boleh nanya?”

“Boleh, Mas. Nanya apa?”

“Kalau aku udah besar nanti, aku bisa kerja kayak kamu nggak?”

Pertanyaannya sederhana, tapi nadanya tulus banget.

Aku berhenti ngetik, nengok ke dia. “Bisa, Mas. Asal rajin belajar.”

“Tapi aku sering kejang, Mbak. Kadang orang-orang di luar rumah takut sama aku.”

Aku nahan napas. Ada rasa haru yang tiba-tiba nyelip di dada.

“Mas,” kataku pelan, “orang hebat itu bukan yang ndak pernah sakit, tapi yang tetap semangat walau sakit. Kamu rajin sholat, ngaji, bantu Ibu. Itu aja udah luar biasa.”

Dia terdiam sebentar, lalu senyum kecil.

“Kalau gitu, aku mau terus semangat. Soalnya kalau aku semangat, Mbak Rara senyum, kan?”

Aku langsung salah tingkah. “Lho, kok ngomongnya gitu, Mas?”

“Lha, aku ngomong bener. Kalau Mbak Rara senyum, aku semangat. Kalau Mbak cemberut, aku pusing.”

Aku ngakak. “Wah, Mas Arifbol, ini namanya motivasi model baru.”

Sore, sebelum pulang, aku bantu Mbok Jum beresin taman.

Dari jendela, kelihatan Arifbol duduk di teras, baca Al-Qur’an.

Suara bacaannya lembut banget, meski kadang terbata.

Entah kenapa, tiap denger dia ngaji, dadaku selalu terasa adem.

Kayak semua lucu-lucunya tadi tiba-tiba berubah jadi rasa sayang yang… halus.

Waktu aku pamit pulang, Arifbol lari kecil ke arahku.

“Mbak, tunggu!”

Aku berhenti. “Ada apa, Mas?”

Dia nyodorin sesuatu — karet gelang warna-warni yang udah dikepang jadi gelang kecil.

“Ini aku buat tadi. Biar kamu inget kerja di sini.”

Aku tertegun. “Wah, Mas, bagus banget. Makasih ya.”

“Kalau kamu pakai itu, aku jadi tenang.”

Aku senyum. “Aku pakai, Mas. Janji.”

Dia senyum lega. “Besok aku bikinin versi balon, ya.”

Aku ngakak. “Ya ampun, Mas, jangan semua hal dijadiin balon!”

Dalam perjalanan pulang naik ojek, aku ndelok gelang di tanganku.

Warna-warninya norak sih — merah, kuning, ijo, biru — tapi entah kenapa aku senyum sendiri.

Ada rasa aneh, campur lucu dan hangat.

Kayak aku mulai sayang sama dunia anehnya Mas Arifbol.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!