Kepercayaan Aleesya terhadap orang yang paling ia andalkan hancur begitu saja, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Namun saat air matanya jatuh di tempat yang gelap, Victor datang diam-diam... menjadi pelindung, meskipun hal itu tak pernah ia rencanakan. Dalam pikiran Victor, ia tak tahu kapan hatinya mulai berpihak. Yang ia tahu, Aleesya tak seharusnya menangis sendirian.
Di saat masa lalu kelam mulai terbongkar, bersamaan dengan bahaya yang kembali mengintai, mampukah cinta mereka menjadi perisai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Suasana meja makan rumah Scott pagi itu terasa damai. Nathan, sang kepala keluarga, akhirnya bisa menikmati sarapan bersama setelah dua minggu melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Sementara Victor duduk di seberang Aleesya yang tampak lahap menikmati nasi goreng sosis kesukaannya.
Rossa tersenyum kecil memandangi wanita itu, membuat Victor mengernyit bingung. "Ngapain, Bu, liatin Aleesya terus?" tanyanya setelah meneguk air. Aleesya ikut menatap ke arah Rossa yang menggeleng pelan. "Tidak ada. Hanya saja... pagi ini dia terlihat cantik dan berbeda. Beruntung sekali ya Maxime." jawab Rossa dengan nada menggoda.
Pipi Aleesya spontan merona, sedangkan Nathan ikut tersenyum. "Benar juga, kau akan berkencan dengan Maxime hari ini, Sya?" Aleesya mengangguk, menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. "Iya, Om. Kebetulan Maxime yang ngajak," jawabnya sambil tertawa kecil.
Nathan menunduk sejenak, meneguk kopi, kemudian melanjutkan ucapannya. "Maxime terlihat dewasa. Om sempat melihat profilnya di sampul majalah bisnis kemarin."
Victor mendengus pelan, "Terkadang yang terlihat di profil seseorang tidak mencerminkan sifat aslinya, Yah." mendengar itu, Aleesya hanya melirik tajam ke arahnya. Sementara Nathan dan Rossa merasakan ketegangan yang berasal dari dua anak muda ini.
"Apa?" Victor bertanya dengan nada dingin. "kau ingin berkencan, bukan? Semoga harimu menyenangkan." lanjutnya dengan sedikit ketus, tapi diabaikan oleh Aleesya.
Aleesya menoleh ke depan lalu beranjak. "Kalau gitu, Aleesya pamit dulu ya, Om, Tante. Have a nice day!" ujarnya ceria, berjalan keluar tanpa menoleh lagi.
Saat langkahnya tak lagi terdengar, suasana di meja makan langsung hening. Nathan menatap putranya tajam. "Kamu tahu sesuatu, Vic?" Victor hanya diam. Tangannya terlihat di atas meja dengan kedua matanya menatap kosong ke arah cangkir kopinya yang tinggal separuh.
Rossa berdiri, membawa piring kotor ke wastafel sambil menimpali, "Yang jelas, ini bukan sesuatu yang baik, Yah." Victor melirik dan bangkit dari kursi, meninggalkan meja makan, membawa dua kakinya menuju teras belakang. Dari balik kaca, Nathan dan Rossa saling pandang... mereka sama-sama tahu bahwa ada suatu hal yang disembunyikan anak mereka, sesuatu yang akan mengguncang lebih dari sekadar hubungan antara dua anak muda.
---
"Babe..!!!" Maxime berdiri di samping mobil sport nya sambil melambaikan tangan begitu melihat Aleesya keluar dari pagar rumah. Pria tiga puluh tahun itu mengenakan celana bahan hitam dengan atasan polo putih. Tubuhnya tegap dengan kulitnya sawo matang, nyaris setinggi Victor.
Aleesya menutup pintu gerbang, kemudian berlari kecil menghampiri kekasihnya itu. Saat tiba di depannya, Maxime langsung memeluk dan mengecup lembut keningnya. "Cantik, always beauty." pujinya seraya melingkarkan tangan di pinggang Aleesya.
Wanita itu tersipu, jemarinya mengusap pipinya yang terasa hangat. "Max... berhentilah membuat pipiku panas." namun ucapan itu justru di balas senyuman nakal dari Maxime sebelum kecupan singkat darinya mendarat di pipi Aleesya. "Then? Kamu pacarku, sayang. Melihatmu tersipu seperti ini, rasanya begitu candu untukku."
Tak lama, mobil Maxime melaju meninggalkan halaman rumah keluarga Scott menuju ke sebuah villa yang kerap mereka kunjungi saat ingin berdua. Letaknya berada di pinggiran kota, dekat puncak dengan udara sejuk yang mengelilingi serta terdapat hamparan perkebunan teh yang menghijau di sisi timur.
---
Kembali ke rumah Scott, Victor terlihat serius berada di depan laptop yang sudah menyala. Tatapannya fokus, sinar matahari yang belum terlalu terik membuat badannya menghangat. Alisnya bertaut, jarinya bergerak pelan menggeser mouse.
"Serius sekali, Vic? Papa ingin membicarakan sesuatu denganmu." ucap Nathan melirik sekilas putranya lalu duduk di sebelah sambil memegang tab. "Jika soal pembaruan kontrak dengan Thames Gold Mining, sudah selesai, ayah tak perlu khawatir." jawabnya tegas, matanya masih fokus ke layar.
Nathan menoleh, menyenderkan punggungnya di kursi. "Ayah sudah menerima laporannya dari sekertarismu. Bukan itu, Nak. Ayolah jangan terlalu serius." Victor menarik napas sambil memejamkan mata sesaat dan menutup laptopnya. "Fine. What's wrong?”
"Kau akan ke Nuxvar?" tanya Nathan tersenyum. Victor mengangguk, "Ya seperti biasa, bersama anak-anak." tangannya terulur meraih jus jambu kemasan di depannya. Nathan menegakkan badannya, "Lalu kapan kau akan menikah?" pertanyaan itu sukses membuat Victor terbatuk. Nathan dengan sigap membantu putranya dengan memukul-mukul punggungnya
Victor ikut memukul dadanya sendiri, sambil berusaha mengatur napas. Setelah tenang, barulah ia menatap ayahnya. "Menikah?! Ayah serius?"
"Lalu sampai kapan kamu akan terus bermain-main? Ayah mendengar semua aktifitasmu, Vic." Kata Nathan berbicara sedikit tegas, rahangnya mengeras. Victor meletakkan kedua tangannya di pinggang sambil menatap ayahnya seolah meminta penjelasan.
"Ibu bilang kamu putus lagi dengan Bianca, dan sekarang dekat dengan Angel?” Victor... Di usiamu, ayah dulu hanya fokus bekerja, lalu bertemu ibu kamu dan menikah hingga sekarang, kapan kamu akan serius?" Nathan menyilangkan tangan alisnya bertaut. "Yah... Victor seperti ini juga sedang mencari siapa yang pantas mendampingi hidup Victor. Tak bisakah Victor menikmati waktu bebas sedikit lagi? Toh semua pekerjaan yang ayah berikan sudah Victor kerjakan dengan sempurna." Victor mencoba bernegosiasi dengan ayahnya.
Nathan mencoba percaya, "Apa jaminannya ayah harus percaya dengan kata-katamu?" Victor melirik ke atas, berpikir keras. "Kemanapun aku pergi, Aleesya akan selalu mengawasiku. Aku akan mengajaknya terus, ayah. Tapi jangan tarik semua fasilitasku. Aku mohon, ayah." ia sedikit gugup dan memegang tangan ayahnya.
"Baiklah, ayah akan mencoba mempercayai perkataanmu dan menerima laporan dari leedya mengenai perkembanganmu. Awas jika kau macam-macam, apalagi meniduri wanita. Kau calon penerus ayah jadi sudah menjadi kewajibanmu untuk menjaga kehormatan keluarga kita."
---
Pintu vila terbuka, Maxime membiarkan Aleesya masuk lebih dulu untuk menuju kamar pribadi mereka.
Wanita itu berdiri di depan jendela yang mengarah langsung ke kebun teh. Ia menarik napas panjang dan tersenyum lebar sementara Maxime memeluk perutnya dari belakang dan meletakkan dagu di atas bahu Aleesya.
"Aku suka tempat ini, Max. Rasanya menenangkan dan hawanya pun masih sejuk." ucap Aleesya mengeratkan pelukan kekasihnya. Max hanya diam, lalu duduk di kasur sambil menatap Aleesya yang memutar badan. "Karena tempat ini khusus untukmu, Ale. Jika kita menikah, villa ini akan menjadi milikmu. Kapan aku bisa mengunjungi orangtua mu untuk membahas pernikahan kita?"
Aleesya terhenyak, pertanyaan Max barusan seolah menampar hatinya. "Menikah?" Aleesya mengulang pertanyaan Maxime. Pria itu mengangguk, "Kita akan menikah dan membuat keluarga kecil yang bahagia, sayang. Kau mau kan menikah denganku?"
Aleesya menghampiri kekasihnya itu, dan duduk di depannya. "Max... bukankah sudah ku bilang... jika aku belum ingin menikah? Aku masih ingin mengejar karirku sebagai perbankan, kita sudah membicarakan ini kan?"
Lagi, penolakan itu meremas hati Max. Ini adalah tiga kali pacarnya menolak untuk menikah dengannya. Buku tangan Max mengepal, ia berusaha menahan emosi. "Sayang, sebenarnya ada apa denganmu? Kita sudah tiga tahun berpacaran, apalagi yang membuatmu menunggu? Kau tak yakin padaku? Apa ada pria lain yang kamu sembunyikan?"
Udara dalam ruangan kamar itu menjadi berat, ketegangan mulai menyelimuti mereka. "Pria lain? Max? Apa maksudmu? Aku tidak mempunyai pria lain seperti yang kamu katakan-" ucapan Aleesya terpotong karena Max menyelanya. "Tidak usah berbohong, Aleesya! Jika kau tidak memiliki pria lain, lalu Victor itu siapa? Kau bahkan terang-terangan keluar dari rumahnya."
Mereka bertengkar, Aleesya mengerutkan keningnya, menatap Max penuh tanya. Dadanya terasa sesak, suara Max yang meninggi membuatnya kehilangan kendali.
"Victor? Max.. kau sudah tahu bahwa kami hanyalah teman, dan orangtua kami bersahabat. Aku sudah memberitahumu saat awal kita pacaran dulu. Kamu lupa?!" nada bicara Aleesya mulai meninggi. "Tapi kau tidak harus tidur di rumahnya bukan? Aleesya, kau pacarku!" Max tak mau kalah.
Aleesya mengalihkan pandangannya, ia mengusap rambut dengan wajahnya yang sudah terlihat frustasi. Setelah berhasil tenang, ia meraih tangan Max. "Max... kita sudah bersama selama tiga tahun. Beri aku kebebasan untuk menikmati masa mudaku sebelum aku harus fokus pada anak-anakku nanti. Kita kesini untuk bersenang-senang, bukan untuk bertengkar."
Setelah mendengar itu, Max akhirnya luluh. Ia juga menarik napas kemudian menarik Aleesya ke dalam pelukannya. "Aku minta maaf, sayang. Maaf karena sudah kasar padamu." Aleesya mengangguk, ia balas memeluk Max sambil mengusap lembut punggungnya. "Aku tahu. Aku juga minta maaf sayang. Maaf karena belum bisa memberimu kepastian."
Suasana akhirnya sedikit mencair setelah mereka berpelukan cukup lama. Sepanjang hari itu, mereka menghabiskan waktu bersama. Dan di tengah kebahagiaan itu, Aleesya teringat ucapan Victor yang akan mendapatkan kejutan di villa Maxime. Namun saat pandangannya menyusuri setiap sudut villa, wanita itu tidak menemukan bukti yang memperkuat ucapan sahabatnya. Tapi... firasatnya justru berkata lain.
---