Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4
Naia meraung lirih ketika tubuhnya kembali dipaksa tunduk oleh Atharva. Air matanya mengalir deras, suaranya pecah, penuh dengan rasa sakit yang tak tertahankan.
“Tidak… jangan lagi… tolong hentikan… tubuhku sudah sangat sakit dan lelah,” ratapnya Naia sambil terisak, tangannya bergetar mencoba menahan meski ikatan di tangannya membuatnya tak berdaya.
Dadanya naik-turun, setiap helaan napasnya bercampur dengan jeritan lirih.
“Sakit… Ya Allah… perih sekali… seakan tubuhku dirobek berkali-kali…” gumamnya Naia ketika Atharva kembali menjelajahi setiap inci tubuhnya dengan sapuan lidah dan jari jemarinya.
Ia menggigit bibirnya, darah hampir keluar saking kuatnya menahan. Namun suaranya pecah lagi, ratapan itu semakin menyayat.
“Aku tidak sanggup… tolong… aku mohon berhenti… jangan sakiti aku lagi…” ratapnya Naia yang memohon belas kasihnya pria dewasa yang sedang menindihnya.
Matanya menatap kosong ke langit-langit, air mata terus membasahi wajah pucatnya.
“Kenapa aku harus merasakan ini… kenapa aku diperlakukan seperti binatang…!? Apa salah dan dosaku ya Allah?”
Tangisannya pecah lagi, tubuhnya bergetar hebat, ia berbisik serak di antara rasa sakit yang terus mendera.
“Ya Allah… lindungi aku… aku sudah tidak kuat… ambil saja nyawaku daripada aku terus disakiti seperti begini…”
Ucapannya itu terputus-putus, diiringi suara sesenggukan yang memilukan. Baginya, setiap detik yang berlalu adalah neraka hidup yang terus mengiris harga diri dan jiwanya.
Atharva menatap Naia yang masih menangis yang ada di bawahnya, tubuh mungil itu gemetar, namun justru itulah yang membuat darahnya bergejolak.
Nafasnya berat, suara parau keluar dari bibirnya yang menahan gemuruh hasratnya yang semakin bergelora.
“Empat tahun…,” desahnya lirih namun penuh tekanan, “empat tahun aku hidup sebagai duda. Tak pernah sekalipun aku menyentuh wanita lain sejak istriku pergi. Aku pikir aku sudah kebal sudah mati rasa…”
Sorot matanya menajam, menelusuri wajah Naia yang basah oleh air mata. Jemarinya menyusuri rambut acak-acakan itu, lalu menggenggam rahangnya agar tetap menatap padanya.
“Tapi kau, Naia…” suaranya bergetar, ada nada kagum sekaligus obsesi yang menakutkan.
“Kau meruntuhkan semua pertahananku. Tubuhmu, keteguhanmu telah membuatku tergila-gila. Aku tidak bisa berhenti. Seakan setiap detik aku haus untuk memilikimu lagi dan lagi.”
Naia memalingkan wajahnya, air matanya makin deras, tapi Atharva hanya menunduk, membisikkan kata-kata yang menusuk jiwanya.
“Kau bukan sekadar cantik. Kau kuat, lebih kuat dari wanita mana pun yang pernah kutemui. Bahkan dalam tangismu, dalam teriak perihmu ada sesuatu yang membuatku tak bisa melepaskanmu.”
Atharva menarik napas dalam, suaranya semakin berat, seolah menahan sesuatu yang mendesak dari dalam dirinya.
“Naia… aku mengagumimu. Ketahanan tubuhmu, keberanianmu, bahkan perlawananmulah alasan bagiku sehingga membuatku tergila-gila. Aku ingin kau tahu bukan tubuhmu saja yang mengikatku, tapi dirimu, seluruh dirimu, yang kini membuatku kehilangan kendali.”
Ia menatapnya lekat-lekat, bibirnya menyunggingkan senyum samar yang mengandung obsesi.
“Kau adalah candu, Naia. Sekali kucicipi, aku tahu aku tak akan pernah bisa berhenti.”
Atharva kembali mengangkat tubuh Naia yang lemah, seolah ia tak punya bobot sama sekali.
Gadis itu meronta kecil, tapi tenaganya nyaris habis. Kemudian dibawa masuk ke kamar mandi marmer yang dingin, Naia merasa seperti seorang tawanan yang tak lagi memiliki kendali atas dirinya.
Air shower menetes pelan, jatuh ke lantai keramik, memantulkan cahaya siang yang menembus kaca buram. Bau sabun dan aroma maskulin Atharva bercampur, menyesakkan dada Naia.
“Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Naia…” suara Atharva rendah, penuh obsesi.
Matanya menatap tajam, seperti lelaki yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Naia menutup mata, air mata bercampur dengan butir air dari shower. Hatinya terasa retak, tubuhnya bergetar bukan karena dingin, melainkan karena pasrah dan putus asa.
Atharva kembali menundukkan diri, membiarkan dirinya terseret oleh candu yang sama.
“Auhh ahh sakit,” racaunya Naia ketika Atharva kembali memasukinya lagi di dalam kamar mandi pagi menjelang siang hari itu.
Meski Naia merintih, berusaha menolak, tak ada daya yang cukup untuk menghentikan pria itu.
“A-ku ahh sakit tolong berhenti,” ratap Naia yang nafasnya semakin memburu ngos-ngosan karena Atharva tak berhenti memasukinya dengan berbagai gaya.
Yang terdengar hanyalah jeritan teredam dan denting air yang jatuh, menutup rapat tragedi yang sedang berlangsung di dalam ruang marmer mewah itu.
“Argghh… sayangku!! Kamu semakin mengikatku erat,” seru Atharva ketika dirinya tak mampu lagi menahan gelombang terakhir itu.
Bagi Atharva, momen itu seperti candu.
Bagi Naia, itu adalah penjara yang makin menghancurkan jiwanya.
“Argghh!! Kamu semakin menjepit diriku,” teriak Atharva ketika kembali berhasil mencapai titik klimaks.
Tubuh Naia masih gemetar saat Atharva membungkusnya dengan handuk tebal. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar, tapi matanya perlahan mulai menampilkan sesuatu yang berbeda, bukan sekadar pasrah, melainkan bara kecil yang ia sembunyikan rapat-rapat.
“Aku akan menuruti semua maumu…,” lirihnya dengan suara lemah, menunduk agar Atharva tak melihat sorot mata yang diam-diam menyimpan tekad.
Atharva tersenyum puas, mengira Naia benar-benar sudah tunduk sepenuhnya. Ia mengusap pipi Naia dengan jemarinya yang dingin, lalu meninggalkannya sejenak untuk menerima panggilan telepon penting.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Naia menatap pantulan dirinya di cermin. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bercampur dengan bisikan lirih penuh tekad.
“Aku akan keluar dari neraka ini… apa pun caranya.”
Ia mengatur napas, menyembunyikan luka batinnya di balik sikap patuh. Dalam hati, Naia berjanji kalau ia akan menunggu celah, momen sekecil apa pun, untuk kabur dari genggaman pria kejam itu dan dari nasib malang yang digariskan oleh suaminya sendiri.
Berselang beberapa menit kemudian…
Pintu kamar presidential suite itu terbuka, menampakkan Claudia dan Lampard yang masuk dengan langkah hati-hati.
Wajah Claudia seketika menegang. Pandangannya membeku saat melihat kondisi Naia yang masih terbaring lemah di ranjang mewah itu.
Tubuhnya Naia gemetar halus, wajah pucatnya basah oleh keringat bercampur air mata yang belum sempat mengering. Ada sesuatu yang menusuk dada Claudia, sebuah rasa sakit bercampur iri yang begitu menyesakkan.
“Sial!” umpatnya dalam hati, kedua tangannya terkepal rapat hingga buku jarinya memutih.
“Kenapa perempuan kampung ini yang harus berada di sana? Seharusnya aku yang pantas menerima pelukan, tatapan penuh cinta dan sentuhan Tuan Muda Atharva. Aku yang selama ini berdiri di sisinya, mengabdikan diri, menahan segala godaan dunia demi harapan menjadi satu-satunya wanita di hatinya. Tapi justru dia, gadis tak berarti itu, yang kini menempati tempat yang selama ini kudambakan.”
Atharva keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi mewah, tubuh tegapnya masih basah, rambut hitamnya meneteskan sisa air.
Namun bukan itu yang membuat ruangan bergetar, melainkan tatapannya yang tajam, penuh otoritas, dan penguasaan mutlak. Suaranya berat, tenang, tapi setiap kata mengandung perintah yang tak bisa dibantah.
“Claudia,” ucapnya tegas, “bersihkan tubuhnya, pakaikan gaun paling indah yang sesuai untuk wanita seistimewa dia. Percantik dia, karena aku tidak mau ada sisa tangisan setetes pun air matanya tersisa di wajahnya ketika dunia melihatnya berdiri di sisiku.” titahnya Atharva.
Claudia merasakan dadanya diremas perih. Kata-kata itu, seandainya diucapkan untuknya, mungkin ia sudah rela mati saat itu juga.
Namun kini, yang didandaninya bukan dirinya sendiri, melainkan perempuan yang ia anggap tak sebanding dengan Atharva. Obsesi lamanya semakin berkobar, tapi sekaligus menorehkan luka yang lebih dalam dihatinya.
Naia menggeliat lemah, matanya menatap Atharva dengan sisa tenaga yang masih ada. Bibirnya bergetar menolak keputusan pria berniat memilikinya.
“Tidak… aku tidak bisa memakai gaun itu. Dari kecil aku terbiasa berhijab, itu bagian dari diriku. Kau tidak bisa memaksaku melepasnya…” protesnya Naia dengan suaranya serak, bercampur tangis yang tertahan.
Atharva menghela napas panjang lalu menghembuskan nafasnya dengan cukup kasar, lalu mendekat.
Tatapannya dingin tapi tegas, seolah tak memberi ruang sedikit pun untuk Naia menolak keputusannya dan bantahan.
“Naia,” ujarnya pelan namun menusuk, “kau adalah milikku. Dunia tidak perlu tahu tentang jilbabmu. Dunia hanya perlu tahu kau adalah wanitaku. Kau harus berdiri di sisiku, secantik mungkin, tanpa ada yang menghalangiku memamerkanmu.”
“Tidak!” tolak Naia yang tetap bersikeras, suaranya pecah. “Kau bisa mengambil segalanya dariku, tapi jangan imanku! Jangan hijabku…”
Perdebatan itu semakin memanas, suara mereka beradu, penuh luka dan ego. Namun pada akhirnya, Naia kehabisan tenaga.
Air matanya jatuh lagi, tubuhnya limbung, dan ia pasrah ketika Claudia, dengan perasaan hancur bercampur iri, mulai menyentuh wajah dan rambutnya, menyiapkan gaun indah yang diperintahkan Atharva.
Naia menunduk dalam diam, merasakan kekalahannya bukan hanya pada Atharva, tapi juga pada dunia yang kini mencengkeramnya.
Atharva berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara dingin tapi berapi-api,
“Dan hubungi Arya. Katakan padanya aku ingin perjanjian baru. Aku ingin dia menceraikan Naia pagi ini juga. Dengan harga berapapun aku tidak peduli. Aku akan memastikan wanita ini terbebas darinya selamanya.”
Naia yang semula masih marah, kecewa dan sedih dengan keputusan sepihak dari Atharva, tubuhnya terasa remuk dan nyeri, matanya setengah terpejam menahan perih, perlahan membuka mulutnya.
Suaranya lirih, tapi penuh ketegasan, meski di sela-sela kalimatnya ada isakan yang masih terkadang terdengar dengan nafasnya yang tersengal-sengal.
“Aku… setuju menikah dengan Tuan Atharva…” katanya terbata, lalu menoleh dengan mata berkaca-kaca, “asal satu hal terpenuhi yaitu bebaskan aku dari Aryasatya Wijaya. Tolong… berapapun harga yang dia minta, bayarlah. Aku rela melakukan apapun asal aku benar-benar terbebas dari manusia iblis itu.”
Tangannya yang gemetar meremas seprai, sementara bibirnya bergetar menahan tangis. Ada luka, ada perlawanan, tapi juga ada secercah harapan tipis yang ia sandarkan pada Atharva.
Atharva mendekat, menatapnya dengan sorot mata yang dalam, antara kagum, obsesi, dan rasa puas. Senyum samar muncul di wajahnya yaitu sebuah senyum licik yang terselubung oleh kelembutan semu.
“Naia… kau akhirnya memilihku,” ujarnya lirih, nyaris seperti bisikan kemenangan.
“Dan percayalah, aku akan memenuhi syaratmu. Karena sejak semalam, aku sudah bertekad hanya kau adalah milikku, seutuhnya. Tidak akan ada lelaki lain yang bisa menyentuhmu lagi, bahkan Arya sekalipun.”
Naia terdiam, matanya basah. Sesekali ia meringis menahan sakit di bagian inti tubuhnya yang baru saja dipaksa menanggung sesuatu yang belum pernah dialaminya sebelumnya.
Tubuh mungilnya masih terasa perih, tapi di balik rasa sakit itu ada kepastian pahit dan ia telah mengambil keputusan besar, keputusan yang mungkin akan mengubah seluruh jalan hidupnya.
Atharva, pria berdarah Timur Tengah, Inggris, dan Indonesia itu, menatapnya dengan sorot yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ada cinta yang kelam, ada obsesi yang menakutkan, tapi juga janji yang terdengar lebih meyakinkan daripada apapun yang pernah diucapkan Arya.
Naia menutup matanya, air mata jatuh setetes, lalu berbisik lirih,
“Ya Allah… jika ini jalanku untuk bebas dari iblis yang bernama Arya harus menjadi budak ataupun Istrinya maka permudahlah jalanku dan kuatkanlah aku. Aku akan terima semua takdir-Mu, meski penuh luka.”