Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Please, Jangan Nyapa Gue…
Arga berdiri dengan tangan terlipat di dada, tubuhnya masih dibasahi sisa keringat setelah olahraga. Ia berdiri di luar pagar rumahnya, menatap seorang tukang yang sedang jongkok sambil mengoleskan cat ke besi pagar hitam.
“Mas, bagian ujungnya jangan lupa diratain, ya. Soalnya kalau belang, kelihatan banget dari luar,” ucap Arga dengan suara datar tapi tegas.
Tukang itu langsung mengangguk, “Siap, Pak. Nanti saya halusin lagi.”
Arga hanya mengangguk tipis. Matanya sesekali melirik ke arah kontrakan sebelah. Gorden barunya tampak masih berlipat-lipat, terpasang agak miring, tanda kalau si penghuni baru masih belum terbiasa menata rumah. Sudut bibirnya terangkat samar. Ia masih mengingat jelas wajah gadis pagi tadi yang tabrakan sambil membawa plastik nasi uduk.
Ia kembali memperhatikan tukang cat. Bau cat menyeruak ke udara sore. Arga memasukkan tangan ke saku celana, berdiri dengan gaya santai tapi aura cool nya tetap menonjol. Tatapannya sekali lagi melirik ke arah rumah sebelah.
Di balik jendela kamar, Naya masih terlelap. Rambutnya berantakan, napasnya teratur, tak sadar kalau ada seseorang yang diam-diam memperhatikan tanda-tanda keberadaannya dari luar.
Naya menggeliat sambil menguap panjang, tubuhnya diregangkan ke kanan dan kiri. Ia meraih ponsel yang tergeletak di samping bantal, lalu menyalakan layarnya.
“Astaga, udah setengah lima aja?!” serunya kaget. “Padahal niatnya cuma rebahan bentar doang…”
Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, masih berat buat bangun. Tapi akhirnya ia menyeret langkah ke kamar mandi. Suara air kran menyambut, lalu ia mencipratkan air dingin ke wajahnya berulang kali. Segar sedikit, meski mata masih agak sembap karena ketiduran.
Keluar dari kamar mandi, Naya meraih handuk kecil di gantungan lalu menepuk-nepuk wajahnya sampai kering. Rambut panjangnya ia ikat asal dengan karet yang kebetulan nyangkut di pergelangan tangan. Ikatan berantakan, tapi cukup nyaman.
“Oke, belanja dulu deh. Biar ada stok buat masak besok sebelum berangkat kuliah. Untung gue masuk jam delapan, masih ada waktu masak dikit,” gumamnya sambil bersiap.
Ia meraih dompet dan ponsel, lalu mengenakan sandal. Sebelum keluar, ia menatap sebentar ke seisi kontrakan yang masih penuh kardus belum tersusun rapi.
“Tenang aja, besok-besok gue beresin. Sekarang yang penting perut aman dulu.”
Naya pun melangkah keluar dari kontrakan. Udara sore yang lembut langsung menyapa wajahnya, membuatnya menarik napas panjang. Dengan sigap ia mengunci pintu, memutar kuncinya dua kali untuk memastikan. Setelah itu ia menepuk-nepuk celananya pelan, kebiasaan kecil untuk memastikan kunci sudah masuk ke saku.
Sambil melangkah ringan, Naya bersenandung kecil, nada asal yang bahkan nggak jelas lagunya apa. Udara sore cukup adem, membuat langkahnya terasa santai. Tapi begitu matanya tanpa sengaja menoleh ke depan, senandung itu langsung terhenti.
“Duh, orang itu lagi…” gumamnya pelan, wajahnya mendadak tegang.
Di depan sana, tepat di halaman rumah mewah bercat putih itu, berdiri laki-laki yang tadi pagi sempat ditabraknya. Kali ini ia hanya memakai kaos hitam tipis dan celana training abu, dengan sebotol air minum di tangannya. Gerakannya tenang, tapi sorot matanya tajam, dan… yah, aura "om-om cool genit" itu masih terasa.
Naya langsung melirik ke arah lain, pura-pura sibuk menatap burung gereja yang bertengger di kabel listrik. “Gak ada jalan lain apa selain harus lewat depan rumah dia? Kenapa sih dunia sekecil ini banget,” gerutunya dalam hati.
Ia berhenti sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan dramatis. “Oke, Naya, pura-pura nggak lihat. Jalan aja, kayak nggak ada apa-apa. Bodo amat.”
Langkahnya mulai dipercepat, kepalanya sedikit menunduk, seolah-olah sedang fokus sama jalan. Tapi jantungnya berdetak agak lebih cepat. Ia bisa merasakan tatapan dari arah rumah besar itu, entah beneran dilihat atau cuma sugesti saja.
“Please, jangan nyapa gue. Please, jangan nyapa gue…” bisiknya dalam hati, bibirnya terkatup rapat menahan gugup.
Namun semakin ia berusaha untuk nggak menoleh, semakin terasa kalau laki-laki itu benar-benar memperhatikannya.
Langkah Naya makin cepat, berharap bisa segera melewati rumah besar itu tanpa insiden. Tapi begitu ia mendekat, suara bariton yang tenang terdengar memecah sore.
“Eh, yang suka nabrak lagi lewat…” ucap Arga santai, nada suaranya datar tapi jelas terdengar.
Naya spontan menoleh sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan lagi. “Astaga, gue udah bilang pura-pura nggak liat, kenapa dia nyapa juga sih…” gerutunya dalam hati.
Arga, yang bersandar santai di tiang pagar dengan botol air di tangan, menatapnya tanpa ekspresi berlebihan. Tapi ada senyum tipis menghiasi sudut bibirnya.
“Kalau nanti tabrakan lagi…” Arga berhenti sebentar, meneguk air mineralnya, lalu menatap Naya dengan sorot mata santai. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “…nggak apa-apa kok. Saya peluk aja biar nggak jatuh.”
Naya langsung berhenti sepersekian detik, bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh dengan ekspresi campuran antara kaget, risih, dan nggak percaya ada orang yang bisa ngeluarin gombalan model begitu.
“Ih!” Naya refleks merapatkan kedua lengannya ke dada sambil bergidik. “Masih ada juga ya orang model begini…” gumamnya dengan nada kesal, tapi jelas terlihat wajahnya merona karena malu.
Arga hanya terkekeh kecil, tawa tipisnya nyaris nggak terdengar. Dari caranya bersandar di pagar, jelas banget kalau dia santai dan nggak terbebani sama sekali dengan reaksi Naya.
“Eh, jangan takut gitu dong,” ujarnya lagi dengan nada cool, seolah-olah kalimat tadi hal biasa saja. “Saya kan cuma bercanda.”
Naya mendengus, buru-buru mempercepat langkahnya tanpa menoleh lagi. “Bercanda apaan! Gombal begitu mana ada yang normal…” rutuknya dalam hati.
Sementara itu, Arga masih menatap punggungnya yang semakin menjauh, tersenyum samar. “Ternyata gampang kebawa emosi juga, ya,” gumamnya rendah, sebelum kembali masuk ke rumahnya dengan tenang.
Naya berjalan dengan wajah masam, kedua alisnya nyaris bertaut. Mulutnya komat-kamit seperti radio rusak.
“Sumpah ya… apes banget gue. Baru pindah sehari, udah ketemu sama modelan om-om genit begitu. Ya Allah, cobaan apa lagi ini?” ucapnya setengah berbisik, setengah ngomel sendiri.
Sesekali ia menghela napas panjang, lalu menendang-nendang kecil kerikil di jalan. “Ya ampun, Nay… lo tuh niatnya mau hidup tenang, fokus kerja, bukan drama sama tetangga nyebelin.”
Tanpa sadar, langkahnya membawa ke sebuah warung sederhana di pojok jalan. Warung itu beratap seng, dengan meja kayu penuh sayuran segar yang baru dipetik dari kebun. Ada bayam, kangkung, tomat merah merona, tahu, tempe, sampai kerupuk yang ditumpuk dalam toples kaca besar. Aroma khas bumbu dapur tercium samar, bercampur wangi tanah basah sisa embun pagi.
“Pas banget,” gumam Naya sambil tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang begitu melihat deretan sayur mayur. Ia memilih belanja di warung daripada supermarket, karena kondisi dompetnya lagi kritis menjelang gajian.
Tangannya cekatan meraih seikat bayam segar, lalu kangkung hijau gelap yang masih berembun. “Hmm, bisa bikin sayur bening sama tumis kangkung. Hemat tapi sehat,” ucapnya lirih.
Setelah itu, ia mengambil dua papan tempe yang masih hangat bau kedelainya begitu menggoda. “Ini sih bisa jadi lauk sejuta umat. Tempe goreng crispy, siapa yang bisa nolak?” ujarnya, sambil nyengir sendiri membayangkan hasil gorengannya nanti.
Matanya kemudian menangkap toples kaca besar berisi kerupuk putih yang renyah. Ia langsung meraih beberapa bungkus. “Fix, kerupuk wajib. Tanpa kerupuk, makan tuh rasanya kayak ada yang hilang.”
Ibu pemilik warung tersenyum ramah, memperhatikan Naya yang sibuk memilih barang. “Wah, Mbak baru ya di sini? Kayaknya saya baru lihat.”
Naya menoleh sambil terkekeh kecil. “Hehe, iya, Bu. Saya baru pindah kemarin, di kontrakan deket situ.”
“Ohh, pantes. Semoga betah ya di sini.”
“Amin, Bu. Makasih ya,” jawab Naya sambil menyerahkan belanjaannya untuk ditimbang.
Dompet kecilnya ia keluarkan dari tas selempang lusuh. Sambil menunggu, Naya sempat melirik isi dompetnya yang tipis. “Astaga… sisa segini doang. Untung warung lebih murah daripada ke supermarket. Kalau enggak, bisa makan garam gue seminggu ke depan,” bisiknya pelan, lalu buru-buru menutup dompet dengan wajah datar.
Setelah membayar, Naya memasukkan semua belanjaan ke kantong plastik besar. Senyumnya muncul kembali, kali ini lebih tulus. “Oke, misi hari ini berhasil. Saatnya pulang dan siap-siap masak.”
Dengan langkah santai, ia kembali berjalan pulang, meski masih terngiang-ngiang gombalan receh Arga tadi pagi.