NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:598
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sumpah yang Dilanggar

Para abdi istana hulu lalang membawa gulungan perjanjian, hingga persembahan dan hadiah dari negara tetangga yang menjadi taklukan,. Di pagi yang cerah di kerajaan Nurendah memancarkan cahaya keemasan, seolah mentari tak ingin meninggalkan kejayaan kerajaan yang mengandung magis yang kuat. Menara Istana yang menjulang dengan bendera lingkaran emas berkilauan. Para mengeri sibuk menyambut tamu negara dari penjuru negeri, di sudut istana dayang-dayang sibuk dengan kegiatan melayani para bangsawan istana, ada yang sedang bercenkrama dengan anak-anak, ada yang sibuk membawa nampan makanan, buah-buahan dan minuman yang akandisajikan, baik untuk tamu negara dan juga para menteri juga para perwira istana.

Sementara di luar gerbang Istana ada pasar yang setiap hari sangar ramai dikunjungi, baik oleh rakyat ataupun abdi negara yang membutuhkan barang atau kebutuhan harian, deret toko berjejer menjual berbagai macam kebutuhan mulai dari pakaian, makanan dan juga menjual barang-barang kuno, perhiasan, perlengkapan perang. Riuh pasar terdengar dari kejauhan, ada yang berteriak-teriak menjajakan jualan, ada yang sibuk bertransaksi. Namun secara keseluruhan tampak baik dan tenang, ini menandakan kondisi istana dalam keadaan makmur dan sejahtera, hingga tidak ada huru hara yang berarti karena suasana cukup kondusif dan aman sentausa.

Pada malam purnama darah, ketika aroma dupa dari altar suci menyelimuti istana, Sultan Al-Fariz berdiri di hadapan Gerbang Langit. Cahaya putih menurun, membentuk lingaran yang menyelimuti tubuh Sultan. Udara di sekitarnya terasa hening, sultan hampir menahan napas.

“Al-Fariz, pewaris tahta Nurendah. Engkau ditakdirkan menjaga batas dunia. Bersumpahlah, kekuatan ini bukan untuk ambisimu dan untuk murka pribadi mu.” suara ghaib bergema di langit

“Aku bersumpah, demi langit dan bumi, kekuatan ini hanya akan kupakai untuk menjaga nurendah dan seluruh rakyatnya.”, dengan dada membusung Sultan Al-Fariz mengangkat tangannya.

Kilat cahaya mengelilinginya, membakar udara menjadi emas murni, dan terus berputar sampai membentuk pusaran berwarna kuning keemasan,  tubuh Al Fariz bergetar kuat sampai bibirnya mengeluarkan darah segar menahan rasa sakit yang menusuk di seluruh pori porinya, krakk !!!!,   bunyi tulang herderak kuat,  hingga membuat sakit yang tak tertahan, Al Fariz pingsan di altar itu.

Selang beberapa lama, tubuh Al Fariz terus berubah dan memancarkan aura kuat.  Selang beberapa waktu akhirnya Al Fariz siuman, dan berdiri 0erlauan lahan, tapi Al Fariz merasa seluruh tubuhnya dan sukmanya dipenuhi oleh energi tak terbatas… Al Fariz akhirnya keluar dari Altar menuju Istananya.

 

Bertahun-tahun lamanya, Nurendah menjadi pusat peradaban. Dewan penasihat berkumpul di Balairung Perak, membicarakan strategi diplomasi dan perdagangan. Para panglima memimpin latihan di halaman luas, sementara para guru mengajarkan ilmu kesaktian dan filsafat leluhur kepada generasi muda.

Sultan Al Fariz kerap berjalan di lorong-lorong istana, menatap lukisan-lukisan para pendahulu. Ia tersenyum pada rakyat yang menyapanya, namun hatinya selalu teringat pada sumpahnya di Gerbang Langit. Setiap kali memandang pedang pusaka, ia merasakan beratnya janji yang harus dijaga.

“Tuanku,” kata Bendahara Iqbal, seorang pria tua bijak yang rambutnya sudah memutih, “musuh dari Timur mulai mengumpulkan pasukan. Mereka mendengar tentang kekuatanmu, dan ketakutan itu bisa menjadi keuntungan… atau bencana.”

Al Fariz menatap jendela yang menghadap perbatasan. Cahaya senja menembus awan, memantul di bendera istana.

“Jika kita mundur, rakyat akan menderita. Tapi jika kita menyerang… aku harus memastikan sumpahku tidak menjadi sia-sia,” gumamnya.

Musuh datang bagai badai dari negeri jauh. Perbatasan Nurendah dilahap api perang, desa-desa terbakar, dan tangisan rakyat memekakkan telinga. Amarah membakar hati Sultan Al Fariz. Ia tak lagi mendengar suara leluhur. Dalam satu langkah, ia memanggil Api Langit, kekuatan yang bahkan para pendeta takut untuk menyebutnya.

Petir menyambar, tanah berguncang, dan ribuan musuh hancur dalam sekejap. Darah mengalir di tanah, menghitamkan sungai yang murni. Nurendah menang, tapi kemenangan itu berbau kehancuran—gedung terbakar, ladang hangus, dan rakyat yang selamat menatap Sultan dengan campuran kagum dan takut.

Di tengah medan perang, Penasihat Iqbal menjerit, “Tuanku! Ini… terlalu jauh! Kekuatan ini bukan untuk dendammu!”

Namun Al Fariz menutup telinga, matanya membara. Ia sadar, sumpah itu telah dilanggar. Gerbang Langit retak, cahaya putih memudar, dan suara leluhur bergema murka:

> “Engkau melanggar sumpahmu, Al Fariz. Kekuasaan langit bukan untuk dendammu. Sejak hari ini, kekuatanmu tersegel, hingga kau menebus dosamu dengan darah dan air mata.”

Al Fariz jatuh terduduk, tubuhnya gemetar, wajah pucat. Para panglima terkejut melihat raja yang agung kini seperti manusia biasa, dan Nurendah terselimuti bayangan kutukan.

Tahun-tahun berlalu. Istana tetap megah, menara-menara menjulang, rakyat tetap makmur. Namun bayang-bayang sumpah yang dilanggar selalu membuntuti. Setiap kali Al Fariz menatap purnama, ia merasakan bisikan leluhur menuntut pertanggungjawaban. Setiap kali memegang pedang pusaka, tangannya gemetar, seolah leluhur menahan kekuatan yang semestinya ia miliki.

Di Balairung Perak, ia berbicara pada penasihatnya:

“Bagaimana aku bisa menjadi raja yang adil, jika kekuatan yang diberikan langit kini terhenti? Jika aku kembali memakainya, apakah aku hanya akan menghancurkan segalanya lagi?”

Iqbal menunduk, wajahnya menampilkan kepedihan:

“Tuanku, Nurendah membutuhkanmu. Tapi bukan amarah atau keserakahan. Kekuatan harus menjadi pelindung, bukan pedang dendam.”

Setiap keputusan Al Fariz kini dipenuhi dilema. Ia harus menjaga kerajaan, melindungi rakyat, namun sumpahnya tetap menghantuinya—sebuah janji suci yang dulu dianggap ringan, kini menjadi kutukan yang membekap hatinya.

Di hari-hari penuh badai yang mendekat, Al Fariz menyadari sesuatu: segel itu bukan hanya hukuman. Ia adalah ujian. Hari di mana dunia menguji sejauh mana ia mampu menebus dosa masa lalu, membuktikan bahwa kekuatan yang diberikan langit bukan untuk dendam pribadi, melainkan untuk menegakkan keseimbangan.

Langit yang muram di atas Nurendah tampak menahan napas, seolah menunggu keputusan sang Sultan. Al Fariz menutup mata, mengingat sumpahnya, mengingat darah dan air mata yang akan datang. Ia tahu, waktu akan segera tiba. Dan ketika itu datang, seluruh kerajaan Nurendah akan diuji—bukan hanya oleh musuh dari luar, tetapi oleh dosa yang ditinggalkan oleh Sultan sendiri

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!