Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - Kembali Belatih
Wisnu melihat jam di kamarnya, sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
“Duh, besok masuk jam pertama…” Ia menarik napas panjang, merebahkan diri di kasur yang dingin.
Dari kamar seberang yang pintunya tidak ditutup, terdengar napas Rendi yang teratur. Pemuda itu sudah memeluk guling dengan damai, tenggelam dalam tidurnya.
Wisnu menoleh pelan. “Katanya mau nemenin begadang,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
Sebelum benar-benar merebahkan diri, ia mengambil kotak kalung milik Nayla yang masih ia bawa.
Ia mengangkat benda itu, menatap ukiran halus di permukaannya. Jemarinya menyusuri guratan kecil yang mirip tulisan kuno.
“Hmm… apa terjemahan Nayla di catatannya bener, ya?” gumamnya lirih.
Ia membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, kalung berwarna tembaga tua dengan liontin batu zamrud terbaring tenang, sederhana, tapi indah.
Cahaya lampu redup membuat batu itu memantulkan kilau lembut.
Sesaat kemudian, mata Wisnu terasa berat. Kelopak matanya menurun perlahan.
“Wira…”
Suara itu pelan, seperti dari kejauhan, tapi jelas memanggil namanya.
Wisnu membuka mata perlahan.
“Kau mau tidur sampai kapan?”
Seseorang melemparkan kain ke arahnya.
Ia memicingkan mata, menatap wajah yang familiar namun asing.
“Kakang… Waja?” ucapnya pelan, separuh bingung. “Apakah sudah pagi?”
Waja mendengus kesal. “Kau… kalau tidak bangun sekarang, siap-siap saja sabung dengan Kakang Suraghana nanti!”
Wira terperanjat. Ia menegakkan badan, pandangannya cahaya matahari pagi yang sudah menembus dari celah-celahnya ukiran kayu di bilik kamarnya.
"Aku tahu kau baru pulang dari perjalanan jauh menjemput kekasihmu,” suara Sempakwaja terdengar tegas di ambang pintu. “Tapi latihan tetaplah latihan, Wira.”
Wira langsung bangkit. “Maafkan aku, Kakang. Aku akan bersiap-siap.”
Ia menyambar bajunya, lalu bergegas membasuh muka di bokor perunggu yang entah sejak kapan sudah diisi air segar oleh emban.
Percikan air itu membuatnya sedikit tersadar.
Sempakwaja bersedekap, memandang adiknya dengan senyum tipis.
“Kau sudah melewatkan makan pagi bersama. Untung saja kekasihmu ikut. Kalau tidak, Ayahanda dan Ibunda pasti sudah marah besar padamu.”
Wira berhenti mengeringkan wajahnya.
“A… apa?” suaranya tercekat. “Puspa ikut? Aduh…”
Sempakwaja menepuk bahu Wira.
“Kau tak perlu panik. Dia pandai beradaptasi. Ibu Ratu sendiri yang mengajaknya berbincang di taman. Ramah sekali gadis itu…”
Ia menatap Wira. “Pantas saja kau terpesona padanya.”
"Kau bisa saja Kakang." Wira menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Aku sudah siap, Kakang. Ayo, kita berangkat ke alun-alun,” ujar Wira sambil menenteng busur dan panah di punggungnya. “Sebenarnya aku hanya khawatir… kalau Puspa merasa canggung.”
Sempakwaja meliriknya sambil menyunggingkan senyum.
“Kenapa harus canggung? Kemarin sore waktu kalian tiba di Galuh, kita sudah beramah-tamah dengan baik. Wajar saja kalau pagi ini makan bersama keluarga.”
“Tapi tadi Kakang bilang… dia bersama Ibu Ratu di taman, kan?” Wira menatapnya ragu.
Sempakwaja mendecak, separuh jengkel separuh tertawa.
“Hei, hei! Kita menuju alun-alun utara. Taman itu di selatan, Wira…” Ia menatap adiknya. “Kau benar-benar ingin dihukum Kakang Suraghana karena datang terlambat?”
Wira langsung tegap, wajahnya panik.
“Tidak, Kakang! Aku berangkat sekarang!”
Sempakwaja terkekeh kecil melihat adiknya.
“Sudah kuduga, hanya uspa yang bisa membuatmu di hukum Kakang, biasanya aku yang selalu dihukum.”
Begitu mereka tiba di gerbang istana, sebuah kereta berhenti tak jauh dari sana.
Dari dalamnya, seorang gadis muda melangkah turun anggun, dengan gaun terkena sinar matahari pagi.
“Kakang Waja… Kakang Wira!” serunya dengan nada manja.
Sempakwaja langsung menghela napas. “Kencana? Kenapa kau di sini pagi-pagi begini?”
Gadis itu tersenyum lebar. “Aku dari rumah. Ingin menemui Bibi Ratu. Aku dengar beliau pandai meronce bunga… aku ingin belajar darinya.”
“Kenapa tidak berlatih saja dengan para emban?” sahut Wira polos.
Kencana menatapnya sambil tersenyum kecil, matanya berkilat. “Aku sudah belajar dari mereka. Tapi kali ini, aku ingin tahu penilaian Bibi Ratu sendiri.”
Wira menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, alisnya terangkat. “Bajumu—”
Namun sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Sempakwaja cepat-cepat menyikut lengannya pelan.
“Sudahlah...,” bisiknya.
“Kalau begitu kami ke alun-alun dulu, Kencana,” ujar Sempakwaja lebih keras sambil menarik lengan Wira.
“Tapi, Kakang…” Kencana mencoba menahan langkah mereka, namun dua pangeran itu sudah lebih dulu berlari menjauh.
Ia berdiri di tempat, bibirnya manyun.
“Hmph… selalu saja seperti itu. Tapi nanti, pasti Kakang Wira akan menyesal tak menatapku lebih lama,” gumamnya sambil memainkan ujung selendangnya.
Wirabuana dan Sempakwaja berlari menuruni jalan setapak menuju alun-alun latihan. Angin pagi menampar wajah mereka, disertai tawa yang lepas.
“Aku jadi tidak enak dengan Kencana,” ujar Sempakwaja di sela napasnya yang mulai terengah. “Kau lihat bajunya? Entah siapa emban di Kadipatennya yang memilihkan itu.”
Wira ikut tertawa kecil. “Aku rasa bukan emban sepuh yang memilihkannya, Kakang… Sepertinya—” ia menahan senyum, “—Jalir yang memilihkan baju itu.”
“Hus! Mana boleh Jalir masuk istana,” sahut Sempakwaja cepat-cepat, tapi sudut bibirnya menahan tawa. “Kau ada-ada saja.”
Wira mengangkat bahu. “Padahal dulu dia tidak begitu. Entah apa yang membuatnya berubah. Dia dulu adik perempuan yang baik, sopan, tak pernah berpikir aneh-aneh.”
Sempakwaja mengangguk pelan. “Benar. Padahal dia sudah cantik kalau tampil sederhana. Tapi entah kenapa, selalu ingin menarik perhatian.”
Mereka saling pandang, lalu tertawa lagi.
“Setahuku, sejak ibunya sering jatuh sakit… dia jadi lebih dekat dengan ayahnya,” ujar Sempakwaja sambil mengatur napas, masih berlari ringan di samping adiknya.
“Wajar Kakang tahu,” balas Wira sambil terkekeh. “Kakang kan murid strategi perangnya Paman Jagatpati. Tapi… apakah Kakang selalu diikuti Kencana ke mana pun pergi?”
Sempakwaja menoleh cepat, menatap adiknya dengan ekspresi geli. “Targetnya bukan aku, Wira. Yang sering diikuti itu kau—dan Kakang Suraghana.”
“Apa maksudnya?” Wira hampir tersandung langkahnya karena heran.
Sebelum Sempakwaja sempat menjawab, dari kejauhan terlihat sosok tinggi berwibawa berdiri di tepi alun-alun.
Suraghana.
Tangan kakang tertua itu bersedekap, wajahnya dingin dengan tatapan tajam.
“Kakang Suraghana seperti harimau…” bisik Wira dengan nada panik.
“Cepat, sebelum dia marah lagi,” Sempakwaja mendorong punggung adiknya.
Mereka berdua sontak mempercepat langkah, berlari kecil melewati halaman, meninggalkan debu tipis yang menari di udara pagi.
“Waja…” suara berat itu memecah udara pagi.
“Kau ku suruh menjemputnya… bukan mengasuhnya.”
Langkah Sempakwaja langsung melambat. Ia menelan ludah, sementara Wira berusaha menahan tawa yang hampir lolos.
“Apa yang kalian tertawakan?” lanjut Suraghana tanpa menunggu jawaban. “Bahkan tawa kalian sudah terdengar sampai sini sebelum wujud kalian terlihat.”
Sempakwaja dan Wira saling pandang, yang satu berusaha tampak serius, yang satu justru semakin ingin tertawa.
“Maaf, Kakang…” ujar Wira cepat-cepat, menunduk sopan. “Kami hanya sedikit berbincang soal… pakaian."
"Pakaian?” Suraghana menaikkan alis, langkahnya mendekat pelan tapi berwibawa. “Pakaian seperti apa? Aku lihat kau bahkan masih menggunakan baju yang kemarin malam kau pakai?”
Sempakwaja menegakkan badan. “Pokoknya pakaian yang...mungkin...nanti saat makan siang masih ada, kakang bisa menilai sendiri. Bukan begitu Wira?” ia menepuk bahu Wira.
Wira mengangguk mantap. "Kita semangat latihan pagi ini Kakang"
Suraghana menatap keduanya lama, lalu menghela napas berat. “Semangat tanpa disiplin hanya akan jadi angin kosong. Sekarang, ambil busur kalian. Kita mulai.”
Kedua adiknya langsung tegak, menahan senyum gugup.
Wira berbisik pelan, “Kakang Suraghana ini… kalau marah, lebih tegas dari prajurit penjaga gerbang.”
“Dan suaranya lebih keras dari gong kerajaan,” balas Sempakwaaja dengan nada geli.
“Waja, Wira!” suara Suraghana menggelegar, membuat beberapa prajurit yang sedang berlatih menegakkan tubuh.
“Panah sasaran sampai busur kalian habis!”
Wira menelan ludah, melirik kakaknya yang justru hanya tersenyum kecil.
“Ini gara-gara Kakang tertawa terlalu keras,” bisiknya kesal.
Sempakwaja bersiap menarik busur. “Lebih baik kau fokus, Wira. Hari ini… Ayahanda akan menonton dari balkon.”
Wira sontak menoleh cepat. “A… Ayahanda?”
Sebelum sempat ia bertanya lebih jauh, suara sang Suraghana kembali terdengar lantang—
“Mulai!”
Tali busur tertarik serempak, udara bergetar…
dan di antara deru panah yang melesat, bayangan seseorang muncul di sisi Ibunda Ratu.
Puspa datang ke tempat berlatih.
Menatap ke arah Wira dengan senyum samar yang entah menguatkan… atau justru membuat jantungnya berdebar lebih cepat.