“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Yang ke Lima
Setelah mendapatkan persetujuan dari anak dan istrinya, Ardi meraih ponsel usang di atas meja kayu reyot dengan tangan yang bergetar hebat. Layarnya buram, penuh goresan, bahkan retak di sudutnya.
Ponsel itu sudah lama sekarat, tapi masih dipaksa bekerja, menjadi penghubung dengan rumah sakit, pengingat jadwal cuci darah, bahkan jalan satu-satunya bagi Kevia agar tak ketinggalan informasi dan tugas sekolah lewat grup wali murid.
Ardi menatap layar itu lama, seperti menatap jalan buntu. Dadanya naik turun, napasnya berat. Tangannya gemetar merogoh saku, mengeluarkan secarik kertas yang sudah kusut, tulisan tangan Rima dengan nomor yang sejak tadi tak juga ia sentuh. Ia menatap angka-angka itu lama, seolah tiap digit menuntut keberanian yang belum sanggup ia bayar.
Dengan jemari kering, kasar, dan sedikit gemetar, ia mengetik perlahan, memasukkan nomor itu ke daftar kontak di ponselnya.
Sesaat ia terdiam, menatap nama yang baru saja ia simpan, lalu menutup mata, menahan gelombang sesak yang kian menghimpit. Dan akhirnya, dengan sisa keberanian yang terkumpul, ia mengetik pesan pelan.
Aku mau. Ardi.
Tiga kata.
Hanya tiga kata… tapi serasa menandatangani vonis seumur hidup.
Pesan terkirim. Centang dua berubah biru. Beberapa detik kemudian balasan masuk, cepat, singkat, menusuk.
Oke. Kita ketemu di rumah sakit. Kamu kirim aja jadwal cuci darahnya.
Ardi menarik napas panjang, lalu segera menghubungi dokter dengan suara serak. Setelah mendapatkan jadwal baru, ia mengetikkannya dan langsung mengirim ke Rima. Tanpa basa-basi. Tanpa tambahan kata. Seperti tangan yang menuliskan sesuatu di atas pasir, lalu dibiarkan ombak menggulungnya pergi.
Ponsel ia letakkan kembali. Tangannya menutup wajah, lalu turun memijit pelipis yang berdenyut. Tubuhnya terasa hampa, jiwanya remuk.
Dalam hati, ia berbisik lirih, doa yang pecah di antara rasa bersalah dan pasrah,
"Tuhan… apapun ujian yang Kau berikan, semoga hamba dan keluarga bisa melewatinya. Hamba tak tahu apakah keputusan ini benar… hamba hanya berusaha semampu hamba. Semoga… masih ada kebahagiaan untuk kami. Meski harapan itu setipis tisu yang rapuh di genggaman."
Air mata akhirnya jatuh, membasahi tangan yang menutup wajahnya.
***
Keesokan harinya, Ardi mendorong kursi roda Kemala melewati lorong rumah sakit yang berbau antiseptik. Napas Kemala pendek-pendek, tapi ia tetap berusaha menegakkan tubuhnya, seakan tak ingin terlihat terlalu rapuh di hadapan suaminya.
Tak lama kemudian, langkah berirama sepatu hak terdengar mendekat. Rima muncul dengan penampilan yang serba rapi. Blus pastel yang pas di badan, rambut hitam terurai lembut, dan wajah yang dipoles riasan tipis namun cukup untuk memberi kesan segar dan terawat. Tubuhnya proporsional, tidak gemuk tidak kurus. Kehadirannya seperti kilau asing di tengah ruang rawat yang kusam.
“Ah… Kemala.” Rima tersenyum, tapi senyum itu lebih mirip kilatan kemenangan ketimbang keramahan. Tatapannya menyapu dari ujung rambut hingga ujung kaki Kemala, lalu ia menegakkan tubuh dengan angkuh, seakan menegaskan siapa yang lebih unggul di ruangan itu. “Lama sekali kita tak berjumpa. Bagaimana kabarmu sekarang?”
Kemala terdiam sejenak. Ada sesak yang menekan dadanya ketika menyadari betapa kontrasnya dirinya dengan perempuan di hadapannya. Kulitnya yang pucat, pipinya yang kian tirus, dan tubuhnya yang semakin kurus jelas tak bisa menandingi kesegaran Rima. Meski wajahnya tetap cantik, sakit yang ia derita telah merampas sinar dari kecantikannya.
Namun, ia hanya tersenyum tipis. Senyum yang dipaksakan, getir, nyaris tanpa tenaga.
“Kau sudah tahu bagaimana kondisiku, Rima. Dan sekarang… kau pun sudah melihatnya sendiri.” Suaranya pelan, tanpa emosi.
Tatapan Kemala jatuh pada jemari yang kurus di pangkuannya. Ada getar di hatinya saat menyadari perempuan di hadapannya adalah calon madunya. Sosok yang, suka atau tidak suka, akan mengisi ruang di antara dirinya dan Ardi.
Seakan membaca guncangan batin itu, Ardi lekas meraih tangannya. Jemarinya menggenggam hangat, mengusap pelan seolah menyalurkan keteguhan yang nyaris hilang dari istrinya. Tatapan matanya menunduk ke arah Kemala, penuh kelembutan, seolah berkata tanpa suara:
"Aku di sini. Jangan risau. Kau tetap satu-satunya di hatiku."
Kemala menelan perih di dadanya. Ia tak berani menatap lama ke arah Rima, sebab setiap percaya diri yang terpancar dari perempuan itu, membuat luka di hatinya kian menganga.
Rima memerhatikan dengan seksama bagaimana Ardi menggenggam tangan Kemala. Hanya sentuhan sederhana, tapi begitu penuh makna. Tanpa kata, lelaki itu seakan meneguhkan bahwa Kemala tetap segalanya baginya.
Ada semburat panas yang tiba-tiba menyeruak di dada Rima. Cemburu. Rasa yang sempat padam, kini membara kembali. Dalam hati ia bergumam getir,
"Apa sih, lebihnya perempuan ini? Tubuhnya tinggal tulang, wajahnya pucat, hidupnya pun hanya menunggu giliran… tapi Ardi masih mencintainya. Rela jungkir balik bekerja, bahkan nekat menikahiku hanya demi dia tetap bisa hidup."
Rima cepat-cepat menegakkan tubuhnya. Ia sembunyikan rasa getir itu di balik kepercayaan diri yang berlebihan. Suara dehaman kecil terdengar, seakan menyingkirkan duri di tenggorokannya. Duri bernama cemburu.
Ia tersenyum tipis, penuh percaya diri, lalu berkata dengan nada lembut namun tajam,
“Setelah aku dan Ardi menikah nanti, kau jangan khawatir, Kemala. Istirahatlah dengan tenang. Aku akan mengurus Ardi sebaik-baiknya. Melayaninya hingga dia tidak merasa kekurangan apapun… termasuk hal-hal yang jelas tidak bisa lagi kau berikan sejak sakit.”
Kata-kata itu meluncur manis, tapi menusuk tepat ke jantung Kemala.
Ardi langsung menoleh, wajahnya menegang. “Cukup, Rima!” suaranya rendah, tapi dinginnya menusuk tulang. “Kalau kau tak bisa menjaga lisanmu—”
“Apa?” potong Rima cepat, senyum sinisnya mengoyak udara. “Kau tak jadi menikah denganku, lalu membiarkan dia…” Rima menoleh pada Kemala, matanya berkilat penuh ejekan, “…dijemput malaikat?”
Ardi hampir meledak, namun jemari Kemala meremas tangannya erat, menahan amarah itu. Ia menoleh pada Rima, tersenyum tipis meski jelas ada luka yang membakar dadanya.
“Kau benar, Rima,” suaranya tenang, hampir berbisik, tapi tajamnya bagaikan belati. “Sejak sakit aku tak bisa melayani Ardi. Aku harap setelah kalian menikah, kau bisa menjaganya dan membuatnya bahagia lebih dari aku. Semoga… Ardi bisa menerima keberadaanmu tanpa membayangkan wajahku saat bersamamu.”
Senyum itu terlihat lembut, tapi tamparan yang tak kasat mata menghantam wajah Rima. Keras sekali.
Rima membalas dengan senyum percaya diri, berusaha menyelamatkan harga dirinya.
“Kita lihat saja nanti,” ucapnya lirih, seakan menantang.
Ardi hanya mengusap lembut punggung tangan Kemala, tatapannya penuh janji yang tak terucap:
Tak ada yang bisa menggantikanmu. Kau tetap satu-satunya di hatiku.
Tegangan di ruangan itu belum mengendor ketika pintu tiba-tiba terbuka. Seorang perawat masuk, tersenyum ramah.
“Bu Kemala, waktunya cuci darah.”
Suasana panas itu seketika mereda, berganti dengan keheningan yang menyisakan luka di udara. Tak terlihat, tapi terasa menusuk di dada masing-masing.
Saat kursi roda Kemala didorong keluar oleh perawat, bayangan tatapan Rima masih menempel di benaknya. Dada terasa sesak, tapi ia menegakkan kepala.
"Aku tidak boleh terlihat lemah. Tidak boleh terlihat terluka. Kalau aku goyah, dia akan semakin menyerang. Demi Ardi yang sudah berkorban, demi Kevia yang masih kecil… aku harus tetap berdiri. Aku harus hidup. Aku tidak boleh menyerah."
Dalam hati, Kemala menggenggam tekad itu erat-erat, seakan menjadi perisai rapuh yang menjaga hatinya dari tusukan kata-kata Rima.
Di ruang tunggu, Rima melangkah ringan, lalu duduk di samping Ardi. Terlalu dekat. Terlalu berani. Aroma parfumnya menyergap, namun Ardi tetap diam. Wajahnya datar, dingin, matanya lurus ke depan, seakan kehadiran Rima sama sekali tidak ada.
Rima berdehem, mencoba memecah hening. “Ardi, jadi… kapan kita akan menikah?”
Tanpa menoleh, tanpa menatap, Ardi menjawab datar, “Terserah.”
Rima mendengus kecil, hatinya mendidih. "Kenapa dia malah dingin begini? Seperti es balok. Apa karena kata-kataku pada Kemala tadi? Menyebalkan."
Tapi bibirnya pandai menipu, senyum manis kembali mengembang.
“Kalau begitu… akan aku atur semua secepatnya. Dalam seminggu.” Ia menoleh, mencari tatapan Ardi. “Aku akan buat pernikahan yang—”
“Cukup sah saja,” potong Ardi dingin. “Tak perlu perayaan besar.” Akhirnya ia menoleh, sorot matanya menusuk. “Lagi pula, kalau tidak salah… ini bukan yang kedua bagimu. Yang kelima, bukan?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....