Jangan main HP malam hari!!!
Itu adalah satu larangan yang harus dipatuhi di kota Ravenswood.
Rahasia apa yang disembunyikan dibalik larangan itu? Apakah ada bahaya yang mengintai atau larangan itu untuk sesuatu yang lain?
Varania secara tidak sengaja mengaktifkan ponselnya, lalu teror aneh mulai mendatanginya.
*
Cerita ini murni ide penulis dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar itu hanyalah karangan penulis, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
follow dulu Ig : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : Pemakaman aneh
"Hari ini saudari kita Elizabeth telah pergi dalam keadaan damai, untuk ketenangan kita semua mari kita sama-sama menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan." Suara Barsha terdengar lantang dalam rumah duka. Dia berdiri di atas panggung kecil yang digunakan untuk pertunjukan terakhir sang jenazah.
Jenazah nenek Elizabeth didudukkan di atas kursi kayu yang sudah sangat tua, Varania bahkan meyakini kursi itu memiliki usia lebih tua darinya.
Barsha berdiri di belakang kursi lalu menundukkan kepala diikuti oleh para pelayat.
Varania diam-diam mengangkat sedikit kepalanya untuk melihat jenazah nenek Elizabeth untuk terakhir kalinya.
Varania hampir terlonjak kaget ketika melihat ada pergerakan kecil dari tangan nenek Elizabeth yang terlipat di atas perutnya.
Sebelum ia melihat keanehan lain, varania dengan cepat menundukkan kepala.
"Mari kita antarkan saudari Elizabeth ke peristirahatan terakhirnya." Kata Barsha sebagai tanda berakhirnya pengurusan jenazah.
Orang-orang masih berwajah dingin berjalan mengikuti Barsha dari belakang, mereka berjalan dalam barisan rapi menuju tengah-tengah kota.
Keanehan lain di kota Ravenswood yaitu pemakaman terletak di tengah kota, berdampingan dengan kantor walikota dan rumah sakit umum Ravenswood.
Tempat pemakaman berupa rumah panjang dengan atap hitam yang lebih tinggi daripada atap bangunan lain.
Bangunan itu bisa dilihat dari setiap sudut kota karena terlalu mencolok.
"Kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat?" Tanya Celina yang berjalan bersama Varania di barisan paling belakang.
"Aku baik-baik saja." Sahut Varania.
Berjalan kaki dari rumah duka ke pemakaman di pusat kota menghabiskan waktu sekitar satu jam.
"Aku lelah, mereka kok bisa jalan cepat dan nggak lelah sama sekali." Ujar Celine menatap takjub pada barisan pelayat yang berjalan cepat tanpa lelah, sedangkan dia dan varania tertinggal cukup jauh.
"Cel, kita harus cepat biar nggak ketinggalan." Kata Varania dengan wajah sedikit panik, dia menarik tangan Celine berlari menyusul pelayat yang susah semakin jauh.
"Kenapa?" Tanya Celine yang tidak terlalu paham mengenai tradisi Ravenswood. Orang tua Celine bercerai sejak dia masih kecil. Sedari dulu Celine sering tinggal bersama ibunya di kota lain, hanya sesekali datang ke Ravenswood untuk mengunjungi ayahnya.
"Disini ada mitos kalau ada pelayat yang tertinggal dari rombongan kemudian rombongannya sudah tidak terlihat maka arwah orang yang sudah meninggal akan mendatangi orang yang tertinggal itu." Varania menjelaskan, ia tersenyum lega karena akhirnya bisa bergabung lagi dengan rombongan pelayat.
"Itu cuma mitos, Vara. Arwah orang mati akan pergi ke surga, nggak mungkin mereka gentayangan di bumi." Kata Celine skeptis.
"Terserah mau percaya atau nggak. Aku nggak mau mengambil resiko, jadi aku harus tetap ada dalam rombongan."
"Oke."
Halaman luas yang dipenuhi bunga kenanga sudah terlihat dari kejauhan. Pada barisan paling depan, Barsha terus menuntun Elizabeth berjalan. Matahari bersinar terik tepat di atas kepala namun tidak ada satupun orang dari rombongan yang berhenti, mereka terus berjalan hingga memasuki halaman rumah panjang.
"Saya akan mengantarkan Elizabeth ke kamar peristirahatan. Pelayat semuanya bisa mandi di kolam penyucian untuk menghindari aura negatif raga tak bernyawa." Barsha melangkah tegas ke pintu utama rumah panjang, jenazah Elizabeth tetap berada dalam rangkulannya.
Saat Barsha sudah berada dalam rumah, pintu kembali ditutup. Tidak ada satupun yang diizinkan masuk.
"Mau kemana?" Tanya Celine heran melihat semua orang menuju bagian belakang rumah.
"Kita harus mandi di kolam penyucian," kata Varania.
"Kenapa?"
Sambil berjalan Varania menjelaskan dengan suara rendah, "sudah menjadi tradisi disini. Semua orang yang masuk ke rumah duka harus mandi di kolam penyucian."
"Kalau tidak?" Tanya Celine. Mereka sudah sampai di belakang rumah, ada kolam panjang berisi air jernih. Hampir semua pelayat masuk kesana.
"Entahlah, aku juga nggak terlalu tahu. Tapi, karena kita tinggal disini berarti kita harus mengikuti semua aturan dan tradisi. Ya, meskipun terkadang tidak masuk logika." Kata Varania tersenyum lalu melompat ke dalam kolam.
"Aku setuju denganmu." Celine ikut melompat dan sedikit terpekik saat kulitnya bersentuhan dengan air kolam yang sangat dingin.
Padahal matahari sangat terik namun air dalam kolam masih sangat dingin.
"Wow, menakjubkan." Celine terpana melihat air kolam yang sangat jernih dan juga dingin. "Apakah kita bisa mandi di kolam ini setiap hari?" Tanyanya.
"Nggak bisa, cel. Kolam ini hanya bisa digunakan oleh pelayat."
Semua orang mandi selama kurang lebih setengah jam.
Setelah waktu habis, Barsha keluar dari dalam rumah dan memimpin semua orang pulang.
---
Varania berbaring di ruang tengah sambil menonton televisi. Dengan adanya orang yang meninggal di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, secara otomatis Varania libur kerja.
Varania sesekali membuka ponselnya yang sudah di kembalikan Matilda. Ia sudah mencari informasi seputar kampus, namun tidak ada satupun yang sesuai dengan tabungannya.
"Duh, bagaimana ya? Ibu nggak mungkin mau menambah uangnya." Gumam Varania. Ia tahu betul karakter ibunya yang tidak mau mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak penting.
Kuliah bukanlah sesuatu yang penting bagi Matilda. Saat Varania lulus SMA dia langsung menegaskan jika Varania ingin kuliah maka dia harus mencari uang sendiri.
"Ada Celine di depan, dia mau ketemu kamu." Kata Matilda sambil berlalu ke dapur.
Varania bangun dengan malas-malasan.
"Masuk, cel." Kata Varania membuka lebar pintu.
Celine menggeleng, ia mengeluarkan kertas dari dalam tasnya. "Untukmu."
Varania mengambilnya, dan wajahnya langsung berbinar senang.
Celine memberikan formulir pendaftaran di kampusnya, biayanya tidak terlalu mahal. Varania hanya perlu mengisinya dan mengirimkan jam sembilan malam nanti.
Tapi, jam sembilan? Apakah Varania akan punya kesempatan?