Awalnya pura-pura, lama-lama jadi cinta. Aku, Renata Priyanka, menghadapi kenyataan hidup yang tidak terduga setelah calon suamiku memutuskan hubungan satu minggu sebelum pernikahan.
Untuk memperbaiki nama baik keluarga, kakek mengatur pernikahanku dengan keluarga Allegra, yaitu Gelio Allegra yang merupakan pria yang terkenal "gila". Aku harus beradaptasi dengan kehidupan baru dan konflik batin yang menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anak Balita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Pembatalan Pernikahan
12 Maret 2025, sore.
"Kakek ada dimana?" tanya Rain tergesa-gesa menanyakan keberadaan kakek kepada salah seorang pelayan.
"Sepertinya beliau ada di taman belakang," sahut si pelayan.
"Terimakasih," ucap Rain, lalu memberikan kode kepada Regan yang tidak terlalu suka banyak bicara, jadi dia mengandalkan Rain untuk itu.
Rain bergegas pergi ke taman belakang, diikuti oleh Regan dibelakangnya. Mereka menemukan kakek terduduk santai di kursi rodanya sambil menghisap sebatang rokok. Dengan damai dia menatap langit yang ditutupi sedikit awan putih yang dibawa terbang oleh angin.
"Untuk apa kalian datang kemari?" tanya kakek, yang ternyata sudah menyadari kedatangan dua cucu laki-lakinya.
"Kakek tahu maksud kedatangan kami berdua kemari," sahut Rain berjongkok didepan kakek.
"Kalian tidak ada mengatakan apa-apa, bagaimana kakek bisa mengetahuinya?" tanya kakek, pura-pura tidak tahu maksud kedatangan Rain dan Regan pergi menemuinya.
"Ini tentang Regina," sahut Regan yang masih berdiri sambil menyenderkan badannya di pintu geser.
"Ada apa dengannya?" tanya kakek.
"Kenapa kakek berpura-pura tidak mengerti seperti ini? Apa kakek benar-benar menyetujui pernikahan nya dengan laki-laki miskin itu? Lakukan sesuatu kek!" desak Rain merengek kepada kakek.
"Tidak ada orang yang miskin, jangan menilai orang seperti itu. Biarkan dia menikah, dia akan bahagia jika bersama orang yang dia cintai. Kita hanya bertugas memberikan jalan itu untuk kebahagiaan nya, kenapa kalian sangat menentang keinginan nya? Apa kalian ingin menghalangi jalannya menuju kebahagiaan yang selalu dia impikan?" tanya kakek.
"Dia tidak akan bahagia," Regan nyeletuk.
"Benar, aku sependapat dengan mu. Lihat saja sifat laki-laki itu, dia bahkan hanya bisa mengandalkan Regina saat berhadapan dengan kita waktu itu. Benar-benar pengecut, tidak cocok untuk Regina kita yang luar biasa!" Rain menambahkan.
"Hahahaha, ternyata kalian sangat menyayangi adik kalian dengan sangat baik! Kakek suka semangat kalian yang seperti itu. Daripada mengurusi pernikahan Regina, lalu bagaimana dengan pernikahan kalian berdua? Lihat umur kalian sudah tua," kakek tertawa lepas.
Rain dan Regan terlihat kecewa dengan sikap kakek yang terlihat benar-benar akan membiarkanku menikah dengan Edward, laki-laki pas-pasan yang memiliki sifat pengecut, tidak percaya diri, dan suka mengeluh.
Mereka berfikir, bagaimana nanti nasibku jika menikah dengan pria yang seperti itu? Sangat tidak bisa diandalkan, sangat lemah, dan mudah menyerah. Mereka berharap jika kakek telah mencoba mengatasi masalah itu. Namun, mereka tidak benar-benar mengharapkan sesuatu dari kakek.
"Kakek tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari kami kan? Jangan bilang kakek sudah melakukan sesuatu secara diam-diam tanpa sepengetahuan kami?" tanya Rain yang masih penasaran dengan sikap kakek yang terlihat biasa saja.
"Apa yang kau katakan? Memangnya apa yang bisa kakek lakukan?" kakek mengelak.
"Jangan berbohong," Regan menekan.
"Aduh... Baiklah, kalian berdua. Mendekatlah!" kakek membisikkan sesuatu kepada Regan dan Rain yang dengan semangat mendekatkan telinga mereka ke kakek.
...----------------...
Sementara itu, saat semua karyawan perusahaan pergi ke rumah saat pulang kerja, aku pergi ke rumah Edward yang di lantai bawahnya merupakan sebuah toko ramen milik orang tuanya.
"Halo kakak cantik!" sambut kedua adik kembar Edward menyambut kedatangan ku.
"Edward nya ada?" tanyaku.
"Tentu! Dia ada di atas, mau kami panggilkan untukmu?"
"Ah tidak, aku kemari untuk membeli ramen. Bibi, tolong berikan semangkuk ramen untukku!" aku memesan.
Ibunya Edward hanya mengangguk lalu membuatkan ramen sesuai dengan apa yang telah ku pesan. Kami tampak terlihat sangat canggung antara satu sama lain, tidak seperti seorang ibu dengan calon menantu pada umumnya. Melihatku yang merupakan seorang putri dari keluarga terpandang, ibu Edward merasa tidak nyaman dengan itu.
"Ini ramen yang anda pesan Nona, silahkan dinikmati!" kata Ibu Edward membawakanku ramen pesananku.
"Hmm, ibu!" panggilku yang sontak membuat ibu Edward mematung karena terkejut.
"A-anda memanggil saya Nona? Anda tidak seharusnya memanggil saya dengan panggilan 'ibu' seperti itu! A-anda membuat saya merasa tidak nyaman," sahut ibu Edward melihat ke sekeliling. Banyak pelanggan sedang menikmati ramen buatannya, dia takut seseorang akan mendengar nya.
"Kenapa kau bersikap seperti itu ibu? Aku dengan Edward akan segera menikah! Aku akan segera menjadi menantumu!" aku bersemangat. Ibu Edward memalingkan wajahnya ke arah lain.
Hingga tak lama kemudian, Edward turun dari lantai atas dan menemukanku sedang berbincang dengan ibunya. Melihat anaknya turun dari atas, ibu Edward menggunakan kesempatan itu untuk pergi menghindari ku.
"Regina! Apa yang kau lakukan?" Edward terlihat panik begitu melihat sosokku di rumahnya.
Dengan cepat Edward menarik tanganku lalu membawaku keluar dari resto milik keluarganya. Hari mulai petang, padahal aku masih belum sempat memakan ramen buatan ibunya Edward, tapi Edward tiba-tiba datang lalu membawaku pergi.
"Lepas! Ed, ada apa denganmu?" tanyaku berontak.
Edward pun tersadar jika dirinya telah menyakiti diriku. Dengan cepat dia melepaskan cengkraman tangannya dariku, lalu melihat bekasnya yang memerah di pergelangan tangan ku. Dia memelukku sebagai bentuk permintaan maaf.
"Sayang, kenapa kau datang kesini?" tanya Edward.
"Kenapa kau terlihat sangat panik seperti itu? Memangnya ada masalah jika aku datang ke restoran ramen milik calon mertuaku?" aku balik bertanya.
Edward menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin menyakiti perasaanku dengan mengatakan sesuatu hal yang tidak pantas aku dengar. Pria itu tampak linglung, dia menundukkan kepalanya, sesekali dia melirik ke arahku yang terus menatapnya.
"Apa benar kita akan menikah 3 minggu depan?" tanya Edward yang membuatku merasa keheranan. Untuk apa pria ini menanyakan hal yang sudah pasti seperti itu?
"Ada apa denganmu sayang? Tentu saja kita akan menikah sesuai dengan rencana kita sebelumnya. Bahkan kita sudah menentukan tanggal pernikahan nya, fitting dress pernikahan, sudah memesan jasa dekorasi, sudah membuat janji dengan MUA, janji dengan pendeta, semuanya sudah siap kecuali kartu undangan yang belum di jalankan. Tapi aku sudah memberitahu beberapa orang dan para karyawan di perusahaan juga sudah mengetahui nya," jelas ku dengan ekspresi bahagia saat menceritakan nya.
Edward memalingkan wajahnya ke arah dimana dia tidak akan bertatapan langsung dengan mataku. Sepertinya ada sesuatu hal yang sedang pria ini sembunyikan dariku. Namun, aku tidak memiliki kecurigaan sedikitpun, padahal jelas-jelas Edward terlihat sedang dalam perasaan yang tidak tenang.
"Aku sangat tidak sabar menunggu hari dimana kita sudah sah menjadi pasangan suami istri," kata Edward seraya menatapku dengan tatapan datar.
"Aku juga! Aku ingin memiliki dua anak laki-laki dan satu anak perempuan, seperti aku dan kedua kakak laki-lakiku! Karena jika anak laki-laki lahir duluan, maka dia akan bertanggungjawab melindungi adik-adiknya yang lain!" kataku.
"Tapi aku menginginkan anak perempuan yang lahir pertama," sahut Edward.
"Apa? Kenapa kau selalu bertolak belakang dengan apapun yang aku inginkan?" aku memencet hidung Edward hingga berwarna merah seperti hidung badut.
Kami bercanda romantis hingga tak sadar jika hari sudah menjelang malam. Aku izin pamit pulang, agar keluargaku yang lain tidak mengkhawatirkan diriku.
"Biar ku antar kau pulang," Edward menawarkan tumpangan.
"Tidak usah, aku membawa mobil sendiri," sahutku.
Seketika Edward terdiam. Dia meragukan dirinya apakah dia benar-benar akan cocok jika dia menikah denganku. Saat itu dia sedang memikirkan dirinya sebagai seorang laki-laki yang masih belum memiliki aset pribadi apapun, sedangkan aku sudah memiliki segalanya.