Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4.
"Melihat Mumu berani melawannya, agak kecut juga nyali Rani. Tapi dia tak mau kalah, Berani melawan kamu sekarang ya! Awas kamu!
Aku laporkan nanti sama kak Zulaikha, biar kamu tahu rasa!"
Rani bergegas pergi. Dia takut jika tiba-tiba Mumu menjadi gila dan berani main fisik dengannya.
Mumu mendengus. Ia bukanlah tipe orang yang suka cari masalah. Tapi jika masalah sengaja datang menyongsong maka bagaimana pun caranya akan ia hadapi.
Sesampainya Mumu di ruangan pustaka, Buk Zulaikha langsung memanggil Mumu.
"Saya sudah mendapat laporan tentang ulah kamu. Kamu harus ingat, kamu kerja di sini karena pak Kadis yang menolongmu. Jadi jangan bikin masalah!"
"Tapi, Buk..."
Saya tak perlu penjelasan kamu! Saya dan Rani sudah lama bekerja di sini dan saya percaya dengan sifatnya. Jadi tak perlu kamu menghabiskan energimu untuk mempengaruhi saya!" Tegas buk Zulaikha.
Mumu bengong. Sehina inikah dirinya dalam pandangan semua orang.
"Kamu bersihkan gudang buku yang satu lagi. Yang dipojok sana. Buku-buku itu sudah tak berguna lagi, jadi kamu bakar saja!" Perintahnya.
Mumu hanya mengangguk dan beranjak pergi. Tak perlu ia memperpanjang kata. Tak perlu ia menyebut alasan jika pada akhirnya kata-katanya tidak dianggap.
Mumu bertekad bahwa ia akan menjadi orang yang berguna agar tidak ada lagi orang yang merendahkan dirinya semaunya.
Mumu menuju gudang buku yang dimaksud. Ini bukan gudang, ini lebih mirip tempat pembuangan sampah.
Sepertinya gudang ini sudah bertahun-tahun tak pernah dibersihkan.
Debu dan sarang laba-laba menutupi buku dan ruangan tersebut.
Mumu terpaksa membuka baju dan digunakan untuk menutup hidungnya. Lalu mengambil sapu dan mulai membersihkan dengan bersungguh-sungguh.
Entah mengapa sepertinya ada yang sedang menatap Mumu.
'Apa mungkin Rani datang untuk mencari gara-gara?' pikirnya.
Ia berbalik melihat ke arah pintu tapi tidak ada orang.
'Apa hanya perasaanku saja.' Mumu melanjutkan aktivitasnya lagi.
Tak berselang lama, Mumu kembali merasa diperhatikan.
Tanpa peringatan, secepat kilat Mumu langsung berlari menuju pintu. Ingin memergoki. Tapi di luar sepi. Tak ada orang sama sekali.
Bulu kuduk Mumu sontak merinding.
Hal itu terus berulang hingga akhirnya Mumu bosan mencari siapa pelakunya. Akhirnya Mumu fokus melanjutkan pekerjaannya.
Matahari sudah condong ke ufuk barat ketika Mumu menyelesaikan pekerjaannya.
Kantor sudah sepi. Karena semua orang sudah pulang dari tadi.
Mumu mengelap keringatnya dengan punggung tangan.
Ruangan ini sudah bersih.
Tak semua buku Mumu bakar.
Masih ada beberapa buku yang menurut Mumu masih layak dibaca dan sudah ia pilah ke dalam satu kotak besar.
Mumu kembali ke kamarnya sambil membawa buku tersebut.
Selama tinggal di sini Mumu belum pernah keluar jalan-jalan malam. Pada hal motor ada. Tapi ia lebih suka duduk-duduk di rumah sambil membaca buku.
Seperti saat ini, ia sedang membongkar dan membolak-balik buku yang tadi sore dibawa dari gudang tua.
Ada satu buku yang menarik minatnya.
Buku yang berjudul pengobatan tradisional karangan Syeik Abdurrahman.
Dilihat dari daftar isi buku ini mengkatagori pengobatan menjadi tiga bab besar yaitu pengobatan dengan cara urut, pengobatan dengan cara menekan titik-titik akupuntur dan pengobatan dengan cara doa dan tenaga dalam.
Dilihat dari daftar isinya saja, buku ini agak terlalu berlebihan menurut Mumu.
Terlalu lebay.
Di mana zaman sekarang ini ilmu kedokteran sudah semakin maju sehingga pengobatan tradisional ini sudah semakin ditinggalkan.
Walau pun kurang percaya tapi entah mengapa hati Mumu merasa ada daya tarik yang dipancarkan dari buku tersebut.
Tanpa terasa Mumu sudah menyelesaikan bab yang pertama. Ini sudah jam 04.00 wib dini hari.
Tapi Mumu tidak merasa ngantuk sedikitpun.
Buku yang awalnya lebay menurutnya tapi sekarang ia merasa sayang terhadap buku tersebut.
Ilmunya sangat bermanfaat. Tapi sayangnya daya serap Mumu agak lambat sehingga ia hanya sekadar membaca tapi tidak bisa menghafalnya.
Tapi tak mengapa, ia akan membacanya sesering mungkin dan mencoba untuk menghafalnya dengan perlahan-lahan.
...****************...
Seminggu berlalu semenjak Mumu terakhir kali disuruh datang ke rumah pak Wahab.
Saat ini malam hari sekitar waktu isya.
Pak Wahab dan istrinya dengan duduk di ruang tv. Tapi fikiran mereka berdua tidak fokus ke acara tv. Mereka sedang dirungsingkan dengan kondisi anaknya Mirna yang tak selera makan.
Berat badannya mulai menurun.
"Coba kamu pesan makanan lewat go food, ma, mana tahu Mirna mau makan." Ucap pak Wahab memecah kebisuan.
"Sudah, Pa." Jawab istrinya. Malah sebelum memesan makanan, mama sudah tanya dulu sama Mirna, tapi setelah pesanannya sampai malah tak dimakannya sama sekali. Baru mencium baunya saja sudah mau muntah." Keluhnya.
Mereka berdua sangat sedih. Mirna anak semata wayangnya yang dahulu sangat ceria kini hanya berdiam diri di kamar.
Jauh dari pergaulan teman-temannya.
Teman curhat banyak tapi teman yang bisa jaga rahasia susah dicari.
Mirna tak punya teman seperti itu.
Kalau teman yang suka membuka aib sesama teman tinggal dipilih.
Maka jadilah Mirna kini hanya main handphone dan nonton tv. Tapi lama-lama bosan juga.
Apa lagi tubuhnya sekarang lemah, makanan tak ada masuk tapi malah sering keluar karena muntah.
"Kita harus bawa Mirna ke rumah sakit, Pa." Saran buk Fatimah.
Pak Wahab mengela nafas, "Hal itu sudah ada dalam fikiran aku, Ma. Tapi jika kita bawa ke rumah sakit atau ke klinik dokter, maka akan ketahuan bahwa anak kita hamil.
Apa Mama tak malu jika seluruh Selatpanjang ini tahu anak kita hamil tanpa suami."
Mereka kembali terdiam. Sepuluh menit berlalu. Tiba-tiba buk Fatimah berseru, "Suami...!"
Pak Wahab terkejut, "Ada apa sih, Ma? Mengejutkan saja." sentaknya.
"Suami, Pa."
"Suami sia...?" Mulut pak Wahab terbuka dan menutup kembali. "Iya, Ma, baru teringat aku. Untung kamu mengingatnya." Ujar pak Wahab sambil menepuk jidatnya.
"Coba ambil handphone di kamar, Ma biar aku telpon agar besok pagi dia datang ke sini."
"Hallo, Mumu."
"Iya, Pak."
"Besok pagi kamu datang ke rumah ya! Jam 07.00 wib kamu sudah stand by di sini. Faham kamu?"
"Siap, Pak!"
Pak Wahab memutuskan sambungan telponnya.
"Besok kita suruh Mumu membawa Mirna ke klinik dokter, Ma. Tapi jangan dokter umum. Ke dokter kandungan saja. Bagaimana menurut mama?"
"Iya, Pa, mama fikir juga begitu. Kasus Mirna ini pasti karena kehamilannya. Cuma mama tak tahu bagaimana cara mengatasinya. Karena seingat mama waktu mengandung dahulu, mama tidak mengalami hal seperti ini."
"Iya iya lah, Ma. Kan pengalaman orang beda-beda. Contohnya si Lidi..." Pak Wahab langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
"Siapa, Pa? S Lidi siapa?" Buk Fatimah mendadak berdiri. Matanya melotot ke arah suaminya yang diam membatu.