Jelita Sasongko putri satu satunya keluarga Dery Sasongko dipaksa menikah dengan Evan Nugraha pengawal pribadi ayahnya. Jelita harus menikahi Evan selama dua tahun atau seluruh harta ayahnya beralih ke panti asuhan. Demi ketidak relaan meninggalkan kehidupan mewah yang selama ini dia jalani dia setuju menikahi pengawal pribadi ayahnya. Ayahnya berharap selama kurun waktu dua tahun, putrinya akan mencintai Evan.
Akankah keinginan Dery Sasongko terwujud, bagaimana dengan cinta mati Jelita pada sosok Boy?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4
Pagi ini Jelita bangun lebih pagi, dia berniat membantu Evan membuat sarapan pagi. Kejadian tadi malam membuatnya merasa bersalah dan ingin menebusnya dengan membantu Evan.
Langkah Jelita terhenti di ambang pintu dapur, matanya tak berkedip menatap Evan yang sudah sibuk dengan alat dapur. Tapi bukan itu yang jadi perhatiannya. Baju kaos tanpa lengan di padu dengan celana pendek sebatas lutut yang mengespos bentuk tubuh Evan membuatnya risih.
"Ehem," Jelita mendehem pelan sebagai pemberitahuan kalau dia ada disini.
"Sudah bangun." sapa Evan tanpa beralih dari kuali didepannya. Jelita tak menyahut, perhatiannya masih pada bentuk tubuh Evan yang menggoda.
Evan mematikan kompornya lalu beralih pada Jelita, menatapnya penuh. Membuat jantung Jelita berdetak tak karuan.
"Di rumah hanya berdua memakai baju seseksi itu, apa pantas." Gumamnya, sementara netranya tak lepas dari tubuh Evan. Evan tertegun, matanya yang mana yang melihat dia pakai baju seksi. Bukankah ini biasa dipakai lelaki saat santai dirumah.
Evan menatap kearah Jelita dengan tatapan tajam. Perlahan dia mendekati Jelita yang mulai gelisah. Jarak mereka sangat dekat sekarang, bahkan wangi tubuh Evan sudah memenuhi rongga penciuman Jelita. Jantungnya terasa lompat keluar saat Evan mengulurkan tangannya menyibak rambutnya lalu menyelipkannya dibalik daun telinga Jelita.
"Kau mau apa?!" Sentak Jelita. Dia gugup dan takut.
"Kenapa gugup. Aku hanya ingin lihat, matamu yang mana yang melihatku memakai baju seksi. Jangan-jangan kau seorang maniak." Bisik Evan dengan suara datar.
Maniak! Bola mata Jelita membulat seketika. Dengan sekali gerak dia memukul lengan Evan dengan kepalan tangannya.
"Aku bahkan tak pernah berciu man. Seenaknya kau bilang aku maniak!" pekik Jelita tersulut emosi. Evan terbahak dan Jelita semakin terkesima. Lelaki ini bila tertawa semakin menarik.
"Pantas saja kau mudah terang sang. Hasratmu itu juga perlu disalurkan.Terlalu lama dipendam bisa bikin bodoh. Bagaimana kalau kita lakukan sekarang. Bagaimanapun aku adalah suamimu." Dengan gerakan lembut Evan bergerak mendekat.
"Jangan asal bicara kamu, kapan kamu lihat aku terang sang!" Bentak Jelita sengit.
"Apa harus aku buktikan, kalau ucapanku nyata," bisik Evan sembari terus mendekat.
"Evan! jangan macam-macam kamu. Kalau kau ingin hal itu, pergi sana dengan kucing tetangga!" pekik Jelita sembari mendorong tubuh Evan sekuat tenaga. Dorongan Jelita membuat Evan terhuyung kebelakang, tapi dia kembali mendekat ke Jelita.
"Ada kamu, kenapa harus kucing." Ujar Evan sembari mengacak rambut Jelita. Lalu berbalik badan, melangkah pergi meninggalkan Jelita yang masih mematung ditempatnya.
"Sudahlah mari makan. Atau makanan ini jadi dingin semua." Ajak Evan. Dia meletakkan dua piring kosong untuk dia dan Jelita.
Dengan bersungut-sungut Jelita menarik kursi didepan Evan lalu duduk disana. Lelaki ini sungguh tak bisa ditebak, kadang diam kadang sangat menakutkan, tapi kadang penuh pesona.
"Je, nanti pulang kuliah aku pesankan taksi ya. Aku tidak bisa menjemputmu."
"Kenapa? Kau ada janji kencan." Selidik Jelita.
"Aku sudah punya kamu, gak butuh kencan," sahut Evan dengan suara datar.
"Cih, aku bukan teman kencanmu." Sangkal Jelita seraya mencebik kesal.
"Tapi kau istriku," balas Evan acuh. Jelita terdiam, kata istri akhir-akhir ini selalu mengena dihati Jelita. Apapun tujuan pernikahan mereka, pernikahan ini sah adanya.
"Bukan kencan, aku ada pekerjaan penting," jelas Evan sembari menatap wajah Jelita lekat. Hanya sepersekian detik Jelita tergesa membuang tatapannya kearah lain. Dia tak pernah segugup ini saat boy menatapnya, tapi tatapan Evan mampu membuatnya olahraga jantung.
"Tidak usah pesan taksi, aku minta tolong sama Boy aja nanti." Evan tak merespon, dia tak mengiyakan juga tak melarang.
****
Jelita pulang kuliah benar-benar diantar oleh Boy. Sebenarnya Boy mengajaknya berkencan, tapi entah mengapa hatinya sedang tak ingin. Dengan berat hati Boy mengantar Jelita pulang.
Menjelang makan malam, Jelita mengirimi Evan pesan.
(Malam ini aku makan apa?)
(Aku pesankan makan malam, kau ingin makan apa?)
(Apa benar sesibuk itu, sampai gak sempat pulang!)
(Iya)
(Aku mau bistik daging sapi)
(Yang lebih murah bisa gak?)
(Aku maunya bistik!!!)
(Ini namanya pemerasan.)
(Kau suamiku apa bukan? Cuma bistik kau bilang pemerasan!)
(Baiklah, tunggu bistikmu di rumah oke. Ini pesan terakhir, aku sibuk tidak bisa mengirimu pesan lagi.)
Membaca pesan itu jelita pasang muka manyun. Sesibuk apa sih dia, kirim pesan saja tidak bisa.
Satu jam kemudian, bistik yang dipesan baru diantar keapartemen Jelita. Bistik yang dipesan Evan benar-benar sesuai selera Jelita. Tapi walau begitu dia tak berselera memakannya. Entah mengapa tanpa Evan selera makannya hilang.
Sudah hampir pukul satu malam, tapi Evan belum juga pulang. Jelita benar-benar gelisah, matanya tak mau terpejam. Menjelang jam dua malam barulah Jelita bisa terlelap.
Tapi baru saja terlelap, diaa tersentak ditengah tidur lelapnya, ingatannya langsung tertuju pada Evan. Tergesa dia bangkit dari tempat tidur, berjalan keluar kamar menuju kamar Evan.
Langkahnya terhenti saat netranya menangkap bayangan Evan di bawah sinar temaram.
"Evan apa itu kau?"
Tak ada jawaban hanya suara mendesis kesakitan yang terdengar. Bulu kuduk Jelita meremang, pikiran buruk langsung memenuhi kepalanya.
Jelita mendekap mulutnya dengan telapak tangannya. Berusaha menahan seruannya yang nyaris lepas dari bibirnya. Dengan jarak yang begitu dekat, Jelita bisa melihat darah merembes membasahi kemeja putih Evan. Sementara tubuh Evan terlihat tersandar disofa dengan mata terpejam.
"Evan, kau terluka," bisik Jelita dengan suara bergetar. Evan membuka matanya perlahan, ada senyum disudut bibirnya saat netranya menatap wajah pucat Jelita.
"Kau, kembalilah kekamarmu. Aku tidak apa-apa." ujar Evan lirih.
"Kau ini bukan hanya miskin! tapi juga bodoh! Luka seperti ini kau bilang tidak apa-apa? kau ingin aku menjadi janda!" umpat Jelita. Evan tertawa pelan mendengar umpatan istrinya.
"Buka bajumu, aku mau lihat lukamu!"
"Aku hanya butuh istrahat, lukaku sudah dijahit tadi," jelas Evan dengan suara lirih.
"Ikut denganku kekamar."
"Sayang, suamimu terluka, kau malah ingin bercinta," bisik Evan.
"Diam! berhenti bercanda!" Bentak Jelita garang.
Susah payah Jelita memapah tubuh Evan kedalam kamar, membaringkan tubuhnya diatas ranjang.
"Buka bajumu," titah Jelita.
"Kau terlalu agresif sayang," ujar Evan sembari meringis menahan sakit.
"Evan, tunggu kau sembuh. Akan ku sumpal mulutmu dengan kaus kakiku!" umpat Jelita geram. Sudah sekarat masih saja bercanda.
Jelita terpaksa menggunting kemeja Evan agar lebih mudah. Jelita tertegun menatap tubuh Evan. Tubuh kekar itu dipenuhi luka jahitan. Apa yang dilakukannya diluar, hingga terluka begini.
Setelah membuka kemeja Evan. Jelita membersihkan sisa darah ditubuh Evan dengan air hangat dan handuk kecil. Tiba-tiba dia teringat pada papanya, apakah hal ini juga terjadi pada paapanya.
"Apa yang terjadi pada papaku, bukankah kau pengawal papa?" Tanya Jelita sembari membersihkan sisa darah di tubuh Evan.
"Tidak ada yang terjadi pada papamu. Aku terluka saat menjalankan tugasnya." Jelas Evan tanpa membuka matanya. Sesekali dia mendesis menahan sakit saat tak sengaja Jelita menyentuh lukanya. Jelita sebenarnya takut, tapi melihat keadaan Evan membuat keberaniannya muncul.
"Apa papa lupa kau itu suamiku. Tega sekali dia menempatkanmu pada misi berbahaya." sungut Jelita ada getar pada nada bicaranya.
"Itu tugasku Je. Melindungi papamu adalah tugasku," bisik Evan lemah.
"Sudahlah jangan bicara lagi. Cepat tidur kau butuh istrahat."
Evan benar-benar terlelap, tapi tidurnya tak benar-benar nyenyak. Beberapa kali dia merintih karena demamnya yang cukup tinggi.
Keadaan Evan membuat Jelita tak bisa tidur. Berulangkali dia harus mengganti kompres ditubuh Evan agar panasnya turun. Menjelang subuh barulah panas tubuh Evan mereda. Dan Jelita tanpa sadar tertidur disamping Evan.
To be continuous