Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Hari itu halaman rumah keluarga Bagaskara dipenuhi bunga ucapan selamat. Spanduk besar terbentang di pagar bertuliskan “Selamat atas Kelulusan Celin Aurora Bagaskara”. Celin berdiri di teras, mengenakan toga hitam dan topi persegi dengan jambul emas, wajahnya berseri-seri.
Arka dan Aksa berlari mengitari kakaknya.
“Kak Celin sekarang resmi jadi alumni SMA! Horeee!” seru Arka, tangannya mengacungkan spidol, menandatangani toga Celin dengan coretan jahil.
“Jangan coret sembarangan, Ka!” protes Aksa, meski tangannya juga sibuk menorehkan tanda tangan kecil. “Kak Celin kan mau difoto!”
Celin hanya tertawa, mengusap kepala dua adiknya. “Coret aja, nggak apa-apa. Tanda kalian berdua selalu ada di setiap langkah Kakak.”
Arini datang membawa nampan berisi minuman dingin. Matanya berbinar melihat putrinya. “Rasanya baru kemarin Mama mengepang rambutmu di hari pertama Tk, sekarang kamu sudah lulus SMA, Nak.”
Bagas berdiri di samping istrinya, menaruh tangan di bahu Celin. “Papa bangga sekali. Nilaimu masuk tiga besar di sekolah favorit kota ini. Semua universitas sudah terbuka untukmu.”
Celin menunduk, merasakan getar hangat di dadanya. Ia memang selalu berusaha keras bukan hanya demi dirinya, tapi demi keluarga. Ia tahu, sejak kecil sudah menjadi cahaya bagi adik-adiknya, dan kini ia ingin jadi kebanggaan bagi ayah dan ibunya.
----
Beberapa minggu setelah kelulusan, Celin resmi diterima di universitas ternama dengan jurusan Manajemen Bisnis. Ia memilih jurusan itu bukan sekadar karena tren, melainkan karena ingin memahami lebih banyak tentang perusahaan keluarga, Bagaskara Corp, yang bergerak di bidang properti dan investasi.
Hari pertama kuliah, ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana bahan hitam. Di kampus, ia tampak seperti mahasiswi biasa, namun di balik itu ada kecerdasan tajam yang membuat dosen-dosennya cepat memperhatikan.
Seusai kuliah, Celin langsung dijemput oleh sopir keluarga. Namun, kali ini tujuan mereka bukan rumah, melainkan kantor pusat Bagaskara Corp.
“Celin,” kata Bagas saat mereka tiba, “Papa ingin kamu mulai belajar. Tidak harus penuh, cukup sore sepulang kuliah. Anggap ini laboratorium nyatamu.”
Celin menelan ludah. “Papa yakin? Aku belum tahu banyak.”
Bagas menepuk pundaknya. “Kamu belajar cepat. Papa percaya padamu.”
Celin memasuki gedung megah itu. Karyawan yang berpapasan menatap kagum; mereka sudah mengenal nama putri Bagaskara, gadis yang sejak kecil dikenal cerdas dan sederhana. Namun, Celin sendiri menunduk rendah, menyapa dengan senyum hangat.
Di ruang rapat, ia duduk di sudut, mendengarkan diskusi para eksekutif. Laporan keuangan, rencana proyek, strategi investasi semuanya terdengar rumit. Tapi Celin tidak hanya duduk diam. Ia mencatat, menghubungkan, menganalisis.
Suatu ketika, seorang manajer menjelaskan proyek pembangunan kawasan perumahan yang terhambat karena biaya material membengkak.
“Jika terus begini, margin keuntungan kita tergerus,” katanya.
Celin yang awalnya diam mengangkat tangan. “Maaf, boleh saya usul?”
Semua menoleh. Bagas memberi anggukan.
“Bagaimana kalau kita kerja sama langsung dengan pabrik semen, bukan lewat distributor? Kita bisa nego harga lebih murah, dan sebagai gantinya, kita kontrak jangka panjang. Saya hitung, penghematan bisa sampai 18%.”
Ruang rapat terdiam. Beberapa eksekutif saling berpandangan.
Seorang manajer senior menatapnya, sedikit ragu. “Ide yang… menarik. Tapi kamu dapat angka itu dari mana?”
Celin tersenyum tipis. “Dari laporan pembelian tiga bulan terakhir. Saya bandingkan dengan harga pasar langsung di data asosiasi bahan bangunan. Angkanya konsisten.”
Bagas menatap putrinya dengan bangga. “Kamu benar. Ini ide yang bahkan Papa sendiri belum pikirkan.”
Rapat itu ditutup dengan keputusan untuk meninjau saran Celin. Saat keluar ruangan, beberapa eksekutif berbisik kagum. “Anak itu… jenius.”
-----
Hari-hari Celin berjalan padat. Pagi ia kuliah, siang hingga sore ia magang di perusahaan ayahnya. Malam, ia belajar atau membantu Arka dan Aksa dengan PR mereka.
Arka dan Aksa kini kelas 1;SMA, keduanya mulai sibuk dengan kegiatan ekskul. Meski demikian, mereka sering protes karena Celin jarang punya waktu santai.
“Kak Celin sekarang sibuk banget, kayak orang dewasa beneran,” keluh Arka.
“Iya,” tambah Aksa, “tapi Kak Celin jangan lupa janji, kita tiga bintang Bagaskara. Jangan sampai Kakak pergi terlalu jauh.”
Celin terdiam, lalu meraih mereka berdua. “Kalian benar. Kakak memang sibuk, tapi kalian selalu prioritas. Nanti malam, kita makan es krim bertiga, deal?”
Dua bocah itu langsung bersorak. “Deal!”
Di kampus, Celin cepat jadi pusat perhatian. Tidak hanya karena kecantikannya yang sederhana, tapi juga karena kecerdasannya. Ia aktif di kelas, cepat menangkap materi, bahkan sering membantu teman-teman mengerjakan tugas.
Namun, Celin tidak pernah sombong. Ia tetap rendah hati, membuatnya disukai banyak orang.
Salah satu dosennya, Prof. Wirawan, pernah berkata, “Celin, kamu punya kombinasi langka: otak cerdas, hati tulus, dan sikap rendah hati. Kalau kamu terus begini, masa depanmu sangat cerah.”
Suatu sore, Bagas tampak gelisah di ruang kerjanya. Celin baru saja selesai kuliah dan langsung ke kantor. Ia melihat ayahnya menatap layar penuh grafik merah.
“Ada masalah, Pa?” tanya Celin hati-hati.
Bagas menghela napas. “Salah satu proyek investasi kita di luar kota gagal. Partner kita kabur, dan dana hampir 50 miliar terancam hilang.”
Celin mendekat, membaca cepat laporan. Matanya menyipit. “Kenapa due diligence-nya lemah? Kenapa bisa kerja sama dengan pihak yang tidak jelas?”
Bagas terdiam. “Itu kelalaian kita. Papa terlalu percaya.”
Celin duduk, mengambil laptop. “Aku coba cari celah, Pa. Kalau masih ada aset yang bisa kita amankan, mungkin kerugiannya tidak sebesar itu.”
Ia bekerja selama dua jam, memeriksa data kontrak, rekening bersama, dan dokumen hukum. Akhirnya ia menemukan bahwa masih ada lahan 20 hektar atas nama bersama yang bisa ditarik sebagai ganti rugi.
“Kalau kita gerak cepat, kita bisa amankan lahan itu, Pa,” katanya tegas.
Bagas menatap putrinya dengan campuran kagum dan haru. “Celin… kamu menyelamatkan perusahaan ini.”
Keesokan harinya, berkat langkah cepat itu, kerugian berhasil ditekan hingga setengahnya. Di rapat dewan direksi, nama Celin kembali jadi sorotan.
Seorang direktur berbisik pada Bagas, “Anakmu ini bukan sekadar pewaris, Pak. Dia benar-benar masa depan perusahaan.”
----
Di tengah semua kesibukan itu, Celin tetap gadis muda biasa. Kadang ia lelah, kadang ia ingin bermain seperti mahasiswi lain. Rani, sahabat lamanya dari SMP, kini kuliah di jurusan psikologi, sering menegurnya.
“Lin, kamu itu manusia, bukan robot. Sesekali kita jalan yuk. Nonton film, atau sekadar nongkrong.”
Celin tertawa. “Aku mau banget, Ran. Tapi jadwalku padat. Kalau ada celah, aku kabarin.”
Meskipun begitu, Celin tetap menjaga kehangatan rumah. Ia sering memasak bersama Arini di akhir pekan, atau menemani Oma Ratna berjalan sore.
Bagi keluarga Bagaskara, kebahagiaan mereka bukan pada harta, melainkan kebersamaan.
----
Waktu berjalan cepat. Semester demi semester berlalu. Celin berhasil mempertahankan IPK tinggi di kampus, sekaligus menjadi motor penggerak inovasi di perusahaan ayahnya.
Di usia 20 tahun, ia sudah dipercaya memimpin satu divisi kecil—divisi Riset dan Inovasi. Para karyawan muda di bawahnya kagum, tapi juga termotivasi.
“Bu Celin,” sapa seorang staf muda, “kerja sama dengan Anda itu bikin semangat. Rasanya ide-ide kami dihargai.”
Celin hanya tersenyum. “Kalian bukan bawahan. Kalian partner. Bagaskara Corp besar karena semua orang di dalamnya, bukan karena satu orang.”
Bagas yang mendengar diam-diam merasa matanya panas. Ia tahu, perusahaan yang ia bangun akan aman di tangan putrinya kelak.
----
Suatu malam, setelah rapat panjang, Celin pulang larut. Ia membuka pintu kamar dan mendapati dua adiknya tertidur di sofa dengan buku PR berserakan.
Hatinya teriris. Ia membetulkan posisi mereka, lalu duduk di samping sambil berbisik, “Maaf, Kakak sibuk. Tapi janji Kakak tetap sama. Kita tiga bintang Bagaskara. Kakak akan selalu jaga kalian.”
Di luar jendela, langit malam penuh bintang. Celin menatapnya dengan senyum kecil. Ia tahu, perjalanan masih panjang. Tapi ia siap.
Karena ia adalah Cahaya Bagaskara, yang bersinar bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh keluarga dan orang-orang yang mencintainya.
Bersambung...
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭