Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Kargo Berdarah di Lambung Kapal
Bahtera Roh "Awan Guntur" bukanlah sekadar alat transportasi. Ia adalah benteng terbang yang memisahkan kasta penghuninya dengan ketebalan lantai kayu.
Di dek atas, di bawah naungan layar bersulam perak, para murid terpilih menikmati anggur hangat sambil menatap lautan awan yang diterangi bulan. Suara tawa Fang Yu dan Lei Hao sesekali terdengar, membicarakan strategi penaklukan atau sekadar merendahkan sekte-sekte kecil yang akan mereka hadapi nanti.
Namun, sepuluh meter di bawah kaki mereka, di perut kapal yang gelap, realitanya jauh berbeda.
Ling Tian duduk bersandar pada sebuah peti kayu yang berbau apek. Palka bawah ini sungguh bising. Suara gemuruh mesin penggerak formasi terdengar seperti raungan binatang yang tak henti-henti. Udaranya panas, lembap, dan berbau minyak bakar yang menyengat hidung.
Tidak ada jendela di sini. Hanya ada beberapa lampu kristal redup yang berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang yang menyeramkan.
"Tempat yang cocok untuk sampah, ya?" gumam Ling Tian, melempar sepotong dendeng keras ke dalam mulutnya.
"Jangan mengeluh," suara Tuan Kun terdengar santai, seolah menikmati suasana kumuh ini. "Di atas sana terlalu terang. Energi bintangnya tercemar oleh formasi pelindung kapal. Di sini... energinya kotor, tapi padat. Cocok untuk menyembunyikan hawa keberadaanmu."
Ling Tian mengunyah dendengnya pelan. Dia mengamati sekeliling.
Selain dirinya, palka ini dihuni oleh para pelayan bisu dari Istana Shenxiao. Mereka adalah manusia biasa tanpa kultivasi, mengenakan seragam abu-abu kusam. Wajah mereka kosong, mata mereka cekung. Mereka bekerja seperti mesin yang mengangkut batu spirit ke dalam tungku pembakaran, mengelap lantai, dan menjaga tumpukan kargo yang ditutupi kain terpal tebal.
Mereka tidak bicara. Lidah mereka sepertinya sudah dipotong.
"Istana Shenxiao..." batin Ling Tian. "Sekte yang katanya menegakkan keadilan langit, tapi memotong lidah pelayannya sendiri agar 'rahasia' tidak bocor."
"Rahasia itu mahal, Ling Tian," sahut Tuan Kun. "Dan ngomong-ngomong soal rahasia... hidungku mencium sesuatu yang menarik."
Ling Tian berhenti mengunyah. "Apa?"
"Di ujung lorong itu. Di balik Pintu Besi Hitam yang dijaga dua pelayan bisu itu."
Ling Tian melirik ke arah yang dimaksud. Memang ada sebuah pintu logam berat di ujung palka. Pintu itu ditempeli puluhan jimat kertas berwarna kuning yang bergetar pelan mengikuti irama guncangan kapal.
"Baunya..." Tuan Kun mendesis pelan, nadanya campuran antara jijik dan lapar. "Bau darah purba yang sudah membusuk. Sangat mirip dengan bau Boneka Mayat kemarin, tapi jauh lebih tua dan lebih murni. Dan ada bau lain... seperti bau es yang sangat dingin."
Ling Tian menyipitkan mata. Rasa penasarannya terusik.
Tiba-tiba, Bahtera Roh berguncang hebat.
DUG!
Mungkin mereka menabrak aliran udara turbulen di luar sana. Guncangan itu membuat tumpukan peti di palka bergeser. Para pelayan bisu terhuyung jatuh.
Namun, reaksi paling keras datang dari Pintu Besi itu.
BRAAAK!
Pintu itu bergetar hebat seolah ada sesuatu yang menabraknya dari dalam. Jimat-jimat kuning di permukaannya menyala terang, lalu salah satunya terbakar menjadi abu.
Suhu di palka turun drastis dalam sekejap. Uap napas Ling Tian berubah menjadi kabut putih.
"Dingin sekali," bisik Ling Tian. Dia berdiri, menyelinap di antara tumpukan peti, mendekati pintu itu tanpa suara. Langkah Ghost Flicker-nya membuat gerakannya seringan asap.
Saat dia mengintip dari balik sebuah tong minyak, pintu besi itu terbuka sedikit.
Seorang sosok berjalan keluar dari dalam ruangan terlarang itu. Dia berjalan sempoyongan, satu tangannya berpegangan pada kusen pintu agar tidak jatuh.
Itu Xueya.
Tapi ini bukan Xueya yang dingin dan angkuh seperti biasanya.
Wajah gadis itu pucat pasi, nyaris transparan. Bibirnya membiru. Butiran keringat di dahinya telah membeku menjadi kristal es. Jubah birunya basah oleh keringat dingin, menempel di tubuhnya yang menggigil hebat.
Dia terlihat seperti lilin yang hampir padam.
Dua pelayan bisu yang berjaga segera memapahnya, tapi Xueya menepis tangan mereka dengan kasar.
"Jangan sentuh..." desis Xueya, suaranya lemah dan gemetar. "Tubuhku sedang tidak stabil. Kalian bisa mati beku."
Xueya merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah botol pil. Tangannya gemetar begitu hebat hingga botol itu terlepas dan jatuh menggelinding ke arah persembunyian Ling Tian.
Xueya jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. Uap dingin keluar dari mulutnya, membekukan lantai kayu di bawah lututnya.
"Sial..." rintihnya.
Sebuah tangan terulur, memungut botol pil itu.
Xueya tersentak kaget. Dia mendongak, matanya yang sayu berubah waspada. Dia melihat sepatu goni kotor, lalu celana pelayan yang lusuh, dan akhirnya wajah Ling Tian yang menatapnya datar.
"Kau..." Xueya mencoba memanggil Qi-nya, tapi tubuhnya terlalu lemah. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku tidur di sebelah tumpukan kentang di sana," jawab Ling Tian santai. Dia membuka tutup botol itu, mengendus isinya.
"Pil Api Matahari tingkat rendah. Kualitasnya buruk, banyak residu belerang. Kau minum ini untuk menghangatkan jantungmu?"
Xueya merampas botol itu dari tangan Ling Tian, lalu menelan dua butir sekaligus tanpa air.
Dia memejamkan mata, menunggu reaksi obat. Perlahan, rona merah tipis kembali ke pipinya, meski tubuhnya masih menggigil.
"Ini bukan urusanmu," kata Xueya dingin, mencoba berdiri. "Kembalilah tidur. Dan lupakan apa yang kau lihat."
"Sulit untuk lupa," kata Ling Tian, bersandar di dinding. Dia menunjuk ke arah pintu besi yang sedikit terbuka di belakang Xueya.
Dari celah pintu itu, Ling Tian melihat sekilas. Di dalam ruangan gelap itu, ada sebuah peti batu hitam yang dililit rantai. Peti itu berdenyut merah seperti jantung, mengeluarkan suara Dug... Dug... yang berat. Dan seluruh ruangan itu dilapisi es tebal, es yang diciptakan oleh Xueya untuk menekan panas peti itu.
"Kau bukan sekadar utusan murid di kapal ini, kan?" tebak Ling Tian tajam. "Kau adalah pendingin ruangan berjalan."
Mata Xueya melebar sedikit. Rahasianya terbongkar.
"Kau menjaga benda itu agar tidak meledak atau membusuk selama perjalanan," lanjut Ling Tian. "Fang Yu dan Lei Hao berpesta di atas, sementara kau di sini, membakar nyawamu sendiri untuk menekan kargo busuk sekte kalian."
"Tutup mulutmu!" desis Xueya. Matanya berkilat marah, tapi ada kepedihan di sana. "Kau tidak tahu apa-apa tentang kewajibanku. Benda itu... penting bagi sekte."
"Penting bagi sekte, atau penting bagi penyembuhanmu?"
Tembakan tepat sasaran. Tubuh Xueya menegang.
"Mereka menjanjikan obat untuk kutukan Nine-Yin-mu jika kau berhasil mengantar barang ini, kan?" Ling Tian menggeleng pelan. "Transaksi yang bodoh. Kau bisa mati sebelum sampai tujuan."
"Aku tidak punya pilihan!" seru Xueya, suaranya pecah. Pertahanan dinginnya retak. "Aku punya sisa waktu tiga tahun, Ling Tian! Tiga tahun sebelum darahku membeku total! Aku akan melakukan apa pun... menjadi alat, menjadi penjaga, menjadi apa pun... asalkan aku bisa hidup!"
Suaranya bergema di palka yang bising itu. Para pelayan bisu hanya menunduk, tidak bereaksi.
Ling Tian menatap gadis itu. Dia melihat bayangan dirinya sendiri, seseorang yang rela melakukan apa pun demi bertahan hidup. Bedanya, Ling Tian memilih menjadi pemangsa, sementara Xueya dipaksa menjadi martir.
Tiba-tiba, BOOOM!
Guncangan kedua datang, lebih keras dari sebelumnya. Petir menyambar tepat di luar lambung kapal.
Di dalam ruangan terlarang, peti batu itu bereaksi. Rantai yang melilitnya berderit. Aura merah gelap merembes keluar dari celah peti, menghancurkan lapisan es yang dibuat Xueya.
"Tidak..." wajah Xueya berubah horor. "Segelnya retak karena turbulensi!"
Aura merah itu menyebar cepat keluar pintu.
Salah satu pelayan bisu yang berdiri paling dekat terkena uap merah itu.
"Argh..." Pelayan itu membuka mulutnya, mencoba berteriak tanpa lidah. Kulit wajahnya melepuh, matanya mendadak merah menyala. Dia berbalik dan menyerang temannya dengan kuku yang tiba-tiba memanjang.
"Kekacauan Qi!" teriak Tuan Kun. "Energi benda itu membuat manusia biasa menjadi gila! Ling Tian, mundur!"
Xueya memaksakan dirinya berdiri. "Aku harus menutupnya... aku harus membekukannya lagi..."
Dia mencoba melangkah, tapi kakinya lemas. Dia jatuh lagi. Racun dingin di jantungnya sedang kambuh, dia tidak bisa memanggil Qi-nya.
Uap merah itu bergerak mendekati Xueya seperti asap yang memiliki kesadaran.
"Sialan," umpat Ling Tian.
Ling Tian tidak lari. Dia melangkah maju, melewati Xueya yang terkapar.
"Jangan!" teriak Xueya lemah. "Itu akan membakarmu!"
Ling Tian tidak peduli. Dia berdiri tepat di depan pintu besi, menghadang gelombang uap merah itu.
Dia mengangkat tangan kirinya (tangan yang sehat). Gelang segel yang sudah mati melingkar di sana.
"Tuan Kun," batin Ling Tian. "Apakah benda ini bisa dimakan?"
"Rasanya seperti daging busuk yang dibumbui cabai rawit," jawab Tuan Kun. "Tapi ya, itu energi murni. Makanlah. Jangan sampai tersisa."
Ling Tian menyeringai.
Saat uap merah itu menerjangnya, dia tidak menggunakan Qi pelindung. Dia membuka pori-pori di telapak tangannya.
Gerbang Energi Purba di perutnya berputar terbalik.
WOOOONG!
Daya hisap yang mengerikan muncul dari telapak tangan Ling Tian.
Uap merah yang seharusnya membakar kulit dan merusak pikiran itu... tersedot. Masuk ke dalam telapak tangannya, mengalir lewat meridian lengan kirinya, dan ditelan bulat-bulat oleh kegelapan di dalam perutnya.
Xueya terbelalak melihat pemandangan itu dari lantai.
Dia melihat Ling Tian berdiri tegak di tengah badai merah. Uap itu tidak melukainya. Justru sebaliknya, kulit Ling Tian tampak bersinar samar, otot-ototnya menegang seolah sedang menikmati suntikan tenaga. Wajahnya... wajahnya terlihat puas.
"Apa... dia itu apa?" batin Xueya shock.
Satu menit kemudian, seluruh uap merah yang bocor itu tersapu bersih oleh 'hisapan' Ling Tian.
Peti batu di dalam ruangan kembali tenang, seolah energinya baru saja dikuras habis.
Ling Tian menurunkan tangannya. Dia bersendawa kecil.
"Lumayan," gumamnya. "Sedikit pedas."
Dia berbalik menatap Xueya yang masih menatapnya dengan horor. Ling Tian berjongkok di depan gadis itu.
"Dengar," kata Ling Tian pelan, matanya menatap tajam ke dalam mata Xueya. "Barang itu sudah aman. Nyawamu terselamatkan. Dan aku juga jadi kenyang."
"K-kau... kau menyerapnya?" bisik Xueya. "Itu 'Darah Iblis Asura'. Tetua bilang itu bisa melelehkan logam."
"Aku punya perut besi," jawab Ling Tian asal. "Lagipula, aku tumbuh besar dengan memakan sesuatu semacam itu."
Ling Tian mengulurkan tangan, membantu Xueya berdiri. Tangan Ling Tian terasa hangat, panas malah, akibat energi barunya. Kehangatan itu mengalir ke tangan Xueya yang dingin, memberikan kenyamanan yang aneh.
"Ini rahasia kita, Kakak Senior," bisik Ling Tian. "Aku tidak akan bilang pada siapa pun kau gagal menjaga barang itu. Dan kau... kau tidak melihat apa-apa soal caraku membersihkannya. Anggap saja kau berhasil membekukannya kembali."
"Setuju?" tambah Ling Tian.
Xueya menatap pemuda pelayan di depannya. Di balik baju goninya yang kotor dan status rendahnya, dia melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan dan lebih bisa diandalkan daripada seluruh Tetua Istana Shenxiao.
Dia mengangguk pelan. "Setuju."
Ling Tian tersenyum tipis. Dia berjalan kembali ke tumpukan karung kentangnya, merebahkan diri seolah tidak terjadi apa-apa.
"Sekarang semua sudah beres, kau tidurlah."
Di kegelapan palka, Xueya masih berdiri mematung, memegang tangannya yang masih terasa hangat bekas sentuhan Ling Tian. Di belakangnya, pelayan bisu yang tadi mengamuk sudah pingsan.
Bahtera Roh terus melaju menembus malam, membawa kargo berbahaya dan monster yang baru saja mencicipi rasanya.