Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Storm menahan rasa nyeri di dadanya sambil membuka penutup botol kecil berisi ramuan yang ia siapkan sendiri. Dengan tangan gemetar, ia menelan obat tersebut. Rasa pahit menyengat sampai ke tenggorokannya.
“Meski obat ini tidak bisa menyembuhkan,” pikirnya, “setidaknya bisa meredakan rasa sakit untuk sementara. Aku harus mencari tahu siapa yang berniat meracuniku. Bagaimana bisa seseorang menyusup ke kediaman Jenderal…?”
Dengan perlahan, Storm bangkit dari posisi duduknya. Setiap gerakan membuat luka di tubuhnya terasa seperti ditarik. Namun ia tetap bergerak. Ia mengambil mangkuk berisi obat yang tadi diberikan pelayan, lalu menuangkannya ke vas bunga di dekat jendela.
Ramuan pekat itu menyerap ke tanah. Tidak sampai beberapa detik kemudian, kelopak-kelopak bunga yang tadi segar tiba-tiba mengerut dan layu, seolah disentuh kobaran api tak terlihat.
Storm menatapnya tajam.
"Racun ini kuat… seseorang benar-benar ingin menghabisiku."
Ruang Tamu Kediaman Jenderal Fang
Di ruang tamu, Lucien duduk tegak di kursi rodanya. Aura seorang jenderal yang sedang menahan rasa frustasi terlihat jelas dari rahang yang mengeras. Max berdiri di sampingnya, sementara Ahao berdiri memberi laporan.
“Jenderal,” ujar Ahao sambil menunduk hormat, “kelompok mereka telah dibasmi. Selain itu, ada kabar dari medan perang. Salah satu prajurit musuh kita berhasil lolos. Sepertinya dia sudah merencanakannya sejak awal.”
Lucien mengerutkan alis. “Bisa lolos? Prajurit kita begitu banyak jumlahnya. Bagaimana mungkin satu orang lolos begitu saja?”
Ahao menjelaskan, “Dia membuat jalan rahasia, mungkin dari arah pegunungan. Kami menemukan jejaknya mengarah ke sana.”
Suasana kamar langsung tegang. Max menatap Jenderal dengan khawatir.
Lucien menatap peta yang terbentang di meja. “Dia adalah otak dari seluruh kekacauan ini. Sangat berbahaya jika bisa lolos begitu saja. Jangan sampai dia masuk ke kota. Kakiku masih belum dapat bergerak… dan Ah Zhu pun terluka.”
Ia memejamkan mata, kemudian memberi perintah dengan suara mantap, “Jika musuh menyerang, kita tidak akan berada dalam posisi kuat. Kirim prajurit sebanyak mungkin untuk berjaga di setiap gerbang. Periksa setiap orang yang mencurigakan.”
“Siap, Jenderal. Perintah segera saya laksanakan,” jawab Ahao sebelum bergegas keluar.
Malam Hari
Kediaman Jenderal Fang mulai tenggelam dalam kesunyian. Lampu-lampu minyak redup menerangi koridor, sementara hanya beberapa prajurit yang berjaga di luar dan di halaman. Udara malam terasa dingin, menyelip masuk lewat celah-celah jendela.
Di dalam kamarnya, Storm sudah tertidur pulas setelah menelan obat buatannya sendiri. Napasnya pelan namun stabil.
Tiba-tiba, suara pintu kamar berderit pelan.
Seorang pria masuk dengan langkah hati-hati. Pakaian pelayan kediaman menempel rapi di tubuhnya, namun gerak-geriknya mencurigakan. Ia menutup pintu perlahan—sangat perlahan—seolah berharap tak seorang pun menyadarinya.
“Seharusnya dia sudah mati,” gumamnya lirih.
Ia mendekati tempat tidur dan menatap Storm dari jarak sangat dekat. Wajah Storm yang pucat tampak seperti tiada kehidupan, membuat pria itu mengangkat dagunya sedikit, seakan bangga pada dirinya sendiri.
“Asalkan dia mati… aku akan mendapat bayaran yang besar,” bisiknya.
Dengan hati-hati ia mencondongkan tubuh ke arah Storm, lalu mengulurkan jari ke bawah hidungnya, memeriksa napas sang dokter muda.
Pria itu tersenyum lebar melihat Storm tidak bergerak.
“Akhirnya… berhasil,” pikirnya. “Tidak ada yang akan tahu kalau dia mati karena racun yang kucampur di obatnya.”
Ia berdiri lagi, menyunggingkan senyum puas, lalu berbalik menuju pintu.
Namun begitu ia membuka pintu sedikit, suara langkah berat terdengar dari luar.
Beberapa prajurit masuk terlebih dahulu. Tepat di belakang mereka, Lucien didorong oleh Max masuk ke kamar Storm. Wajah Jenderal itu penuh kekhawatiran.
Pria penyusup itu terdiam membeku. Matanya melebar, bibirnya kaku seketika.
Ia tidak menyangka akan ada orang masuk pada saat ini.
Di saat itu, semua kesombongannya hilang, berganti dengan rasa takut yang menusuk tulang.
Lucien menatap pria itu dengan sorot mata yang dingin dan tajam, seperti pedang yang siap menebas.
“Kau pelakunya?” suara Lucien rendah namun penuh tekanan.
Pria itu tersentak. “J-Jenderal, saya… saya tidak mengerti maksud Anda,” ujarnya gugup. Tangannya tampak gemetar, keringat mulai membasahi pelipisnya.
“Kau meracuni obat yang diberikan untuk Ah Zhu, dan kau masih berani menyangkal?” Lucien mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Tempat ini dijaga ketat. Hanya orang dalam yang bisa melakukannya.”
“Jenderal, tidak! Mana mungkin saya melakukan itu…” suaranya pecah, penuh kepanikan.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun tegas dari ranjang.
Storm perlahan bangkit, meski wajahnya masih pucat. Ia menyandarkan diri pada sandaran tempat tidur, matanya menatap lurus ke arah pria itu.
“Obat yang kau berikan… memang untuk membunuhku,” ucap Storm.
Pria itu menoleh cepat, matanya terbelalak tak percaya ketika melihat Storm sudah duduk tegak.
“K-Kenapa…?” bibirnya bergetar.
Storm memotong, “Kenapa aku masih hidup? Itu yang ingin kau tanyakan?”
Storm menghela napas pendek lalu melanjutkan, “Aku sama sekali tidak minum obat itu. Jangan lupa, aku seorang dokter. Aku tahu cara meracik obat—bahkan racun. Obat yang kau bawa aromanya aneh, terlalu pekat. Mana mungkin aku menelannya begitu saja dan mati sesuai rencanamu?”
Wajah pria itu langsung pucat pasi.
Lucien mengetukkan jarinya pada lengan kursi rodanya, suaranya tajam dan mantap, “Katakan. Siapa yang mengutusmu untuk membunuh Ah Zhu?”
Tekanan suara Jenderal Fang bagaikan angin dingin yang menusuk tulang.
Pria itu tak sanggup menahan tatapan tajam Lucien. Lututnya lemas. Ia jatuh berlutut, tubuhnya bergetar hebat.
“J-Jenderal… maafkan… saya… saya akan bicara…!”