Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Keesokan harinya.
Storm baru saja keluar dari kamarnya ketika seorang pelayan kediaman menyapanya.
“Nona, Anda sudah bangun,” ucapnya dengan sopan.
“Mey, di mana Jenderal?” tanya Storm.
“Nona, Jenderal sudah keluar,” jawab Mey. “Beliau berpesan, jika Nona membutuhkan sesuatu, silakan sampaikan pada kami. Kami akan melayani Anda.”
“Hari ini aku ingin keluar. Temani aku,” kata Storm.
Mey tampak ragu. “Nona, Jenderal berpesan agar dalam seminggu ini Anda tidak keluar terlebih dahulu. Situasi di luar belum aman. Sebelum berangkat, Jenderal menerima informasi bahwa banyak pembelot telah memasuki kota. Bahkan, banyak prajurit penjaga gerbang yang meninggal.”
“Meninggal?” Storm terkejut. “Apakah jumlah mereka lebih banyak daripada prajurit negara kita?”
“Mereka menggunakan bahan peledak,” jawab Mey dengan suara lirih. “Peledak itu diikatkan ke tubuh mereka sendiri, hingga menewaskan beberapa prajurit Jenderal. Jenderal sangat murka dan pergi bersama pasukan lainnya.”
"Mey, peperangan tahun ini terjadi sudah berapa kali?" tanya Storm.
"Ini kali keempat, Nona," jawab Mey.
"Apakah sebelumnya Jenderal baik-baik saja, dan tidak terluka?" tanya Storm.
"Terakhir kali adalah saat Jenderal terluka pada bagian kakinya, itu adalah peperangan ketiga. Dan peperangan kedua Jenderal terluka di bagian jantung dan untung saja diselamatkan oleh dokter. Dokter mengatakan ini adalah keajaiban," ungkap Mey.
"Jantung? Bukankah kalau tidak salah Lucien meninggal karena tembakan yang menembus jantungnya, kenapa tidak mirip dengam sejarah?" gumam Storm.
***
Lokasi tempat Lucien berada telah berubah menjadi medan perang yang mengerikan.
Tubuh-tubuh bergelimpangan di mana-mana—bukan hanya prajurit negara, tetapi juga para pembelot. Seragam hijau dan pakaian gelap bercampur di tanah yang basah oleh darah. Beberapa jasad tergeletak tak bernyawa, sementara yang lain masih merintih, menggeliat di antara puing bangunan yang hancur.
Asap mesiu mengepul tebal, membuat udara terasa panas dan sesak. Suara baku tembak terdengar begitu jelas dan brutal, saling bersahutan dari dua arah.
“Dor! Dor! Dor!”
Peluru menghantam dinding, memercikkan serpihan batu. Di sisi lain, ledakan kecil mengguncang tanah saat salah satu pembelot meledakkan dirinya, menyeret prajurit dan sesama pembelot ke dalam kobaran api.
Kedua kubu saling menembak tanpa ampun.
Lucien berdiri di tengah kekacauan itu, terjebak di antara hidup dan mati. Napasnya berat, tubuhnya dipenuhi debu dan darah. Namun tatapan matanya tetap tajam, penuh tekad. Meski kakinya masih sakit ia memaksakan untuk berdiri kokoh melawan musuhnya.
Ia mengangkat senjatanya dan membalas tembakan.
Dor!
Seorang pembelot terjungkal, senjatanya terlepas dari genggaman.
Tanpa menoleh, Lucien kembali menarik pelatuk, menghabisi musuh lain yang berusaha menyerbu. Di sisi lain, seorang prajurit negara tumbang terkena tembakan balasan, darah muncrat membasahi tanah.
“Bertahan! Jangan biarkan mereka menembus barisan!” teriak Lucien.
Teriakannya nyaris tenggelam oleh dentuman senjata dan jeritan kesakitan. Di kejauhan, para pembelot juga berteriak, saling memberi aba-aba, menembak membabi buta ke arah pasukan negara.
Peluru beterbangan dari dua arah.
Lucien terhuyung saat ledakan mengguncang tanah di dekatnya. Ia hampir jatuh, namun dengan susah payah memaksa dirinya berdiri, bersandar pada puing bangunan yang retak.
Dengan tangan gemetar, ia kembali membidik.
Dor! Dor!
Dua tubuh kembali ambruk, satu prajurit negara, satu pembelot jatuh hampir bersamaan, seolah medan perang tak peduli pihak mana yang benar atau salah.
Darah, asap, dan kematian menyatu.
Di tengah kegilaan itu, Lucien terus menembak, memaksa tubuhnya yang kelelahan untuk bertahan. Selama peluru masih tersisa, selama napas masih ada, ia tak akan membiarkan siapa pun menang dengan mudah.
Medan perang itu bukan hanya soal kemenangan…
melainkan soal siapa yang lebih lama bertahan hidup.
Max dan Ahao menembak tanpa henti ke arah musuh. Peluru mereka melesat cepat, memaksa para pembelot mundur selangkah demi selangkah. Keduanya berdiri di depan Lucien, membentuk perisai hidup demi melindunginya.
Mereka tahu, kondisi Lucien tidak baik.
Kaki Lucien terlihat mengeluarkan darah. Luka tembak di kakinya kembali terbuka akibat ia memaksakan diri untuk terus berdiri. Setiap kali tubuhnya bergerak, rasa sakit itu menusuk hingga ke tulang.
Namun Lucien tetap bergeming.
Wajahnya semakin basah oleh keringat dingin, rahangnya mengeras menahan perih yang tak tertahankan.
“Jenderal, mundur!” teriak Ahao tanpa menoleh, sambil terus menarik pelatuk.
"Aku tidak akan mundur sebelum musuh dikalahkan," jawab Lucien yang melanjutkan tembakannya ke lawannya.
***
Seminggu kemudian
Storm masih menunggu kepulangan Lucien. Setiap detik terasa berat baginya, gelisah dan cemas menghantui setiap napas yang diambil. Kabar dari medan perang sama sekali tak datang, membuat hatinya semakin tak tenang.
“Kenapa tidak ada kabar dari mereka? Apakah mereka sudah aman?” gumam Storm sambil menatap pintu kediaman yang tertutup rapat.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah tegas dari luar. Seorang pria berdiri di halaman, wajahnya serius dan tegang.
“Kepung kediaman ini, dan tahan semua orang!” perintahnya keras, memotong udara yang hening.
“Nona, Jenderal Tang sudah datang!” teriak Mey dengan cemas, suaranya bergetar.
“Siapa dia?” tanya Storm, alisnya berkerut.
“Berdasarkan informasi, dia datang untuk mengambil ahli kediaman ini. Jenderal dicurigai bekerja sama dengan para pembelot. Sehingga mereka sengaja datang untuk menahan kita,” jawab Mey.
Storm menahan napas sejenak, lalu melangkah keluar. Pandangannya segera tertuju pada barisan prajurit yang telah mengepung kediaman. Ketegangan menyelimuti udara.
Di depan mereka berdiri sosok Jenderal Tang, wajahnya angkuh dan penuh wibawa.
“Semuanya dengar baik-baik! Kalian semua ditahan!” tegas Jenderal Tang, suaranya menggema. “Lucien Fang berkomplotan dengan para pembelot, mengkhianati negara, dan sudah tewas di tangan prajurit negara.”
Storm menatapnya dengan mata membara, napasnya memburu. “Jenderal, apa bukti Anda bahwa Jenderal Fang adalah pengkhianat? Beliau pergi untuk membela negara kita, bukan untuk berkhianat!” suaranya terdengar lantang, menentang otoritas Jenderal Tang.
“Kenapa aku bisa sampai melupakan orang ini…” batin Storm, matanya tetap menatap Jenderal Tang. "Jenderal Tang, musuh ketat Lucien. Walau mereka sama-sama jenderal, tapi Tang Ming tak pernah menyukai Lucien. Dia dikenal ambisius dan selalu berusaha menyingkirkan Lucien Fang."
trus itu gmn?
jadinya
semoga semua akan baik-baik saja...
dan berakhir bahagia.....🤲
kasian juga q am ortux tp klo.yg begitu tiba2 ngilang, pasti sepi n sedih