"Aku mau putus!"
Sudah empat tahun Nindya menjalin hubungan dengan Robby, teman sekelas waktu SMA. Namun semenjak kuliah mereka sering putus nyambung dengan permasalahan yang sama.
Robby selalu bersikap acuh tak acuh dan sering menghindari pertikaian. Sampai akhirnya Nindya meminta putus.
Nindya sudah membulatkan tekatnya, "Kali ini aku tidak akan menarik omonganku lagi."
Tapi ini bukan kisah tentang Nindya dan Robby. ini kisah tentang Nindya dan cinta sejatinya. Siapakah dia? Mampukah dia melupakan cinta Robby? dan Apakah cinta barunya mampu menghapus jejak Robby?
Happy reading~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ginevra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahun Duda
Happy reading~
.
.
.
Seminggu berlalu Nindya masih belum menjawab ajakan Aan untuk menikah. Hal itu tidak membuat Aan kehilangan kesabarannya. Dia tidak pernah mendesak Nindya untuk segera memberikan jawabannya. Namun Aan juga tidak membiarkannya ambigu. Dia selalu memberikan kesan bahwa dirinya bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Aan selalu mencari alasan agar bisa bertemu dengan Nindya. Pernah suatu hari Aan bertamu tanpa pemberitahuan dengan alasan ingin membuatkan kaligrafi dari kain batik untuk Pak Broto.
Dia mempersiapkan semua bahan yang dia butuhkan, mulai dari kain perca batik, lem, kertas khusus, dan figura.
Tentu saja kedatangannya disambut baik oleh Pak Broto. Beliau juga penasaran dengan cara Aan membuat kaligrafi dari kain batik itu.
Aan sangat senang karena selain bisa dekat dengan calon mertua dia juga bisa sedikit melirik Nindya yang ikut menungguinya. Kalau peribahasa mengatakan "Sambil menyelam minta tolong kalau kelelep."
Nindya yang sudah tahu niat dibalik tingkah laku Aan itu, menjadi tersipu malu. 'Ah abang bisa aja deh!' kalimat itu selalu menggema di pikirannya.
Melihat Nindya yang malu-malu dan salah tingkah, Ibu yang sedari tadi mengintip dari pintu tengah memanggil suaminya itu dengan alasan memasang gas.
Sepeninggalan Pak Broto, suasana menjadi sepi dan canggung. Yang terdengar hanya suara gunting memotong kain.
"Mas kok bisa buat kaligrafi seperti ini?" Tanya Nindya akhirnya memecah keheningan.
"Oh ini dari lihat youtube, kebetulan ada banyak kain batik sisa di rumah jadi coba-coba buat. Alhamdulillah buat tambah-tambah penghasilan," jelas Aan dengan tangan yang masih sibuk memotong kain batik.
"Kok mas punya batik sisa banyak sih?" Nindya melontarkan pertanyaan demi pertanyaan seperti sedang wawancara dengan pengusaha batik.
"Aku di rumah juga penjahit sebenarnya, tapi sekarang sudah jarang ambil pesanan karena Ibu udah kecapekan dan aku malah sering mandorin proyek sekolah."
Nindya manggut-manggut mendengar penjelasan singkat dari Aan. Matanya masih mengamati jemari panjang yang memoles kain batik.
"Kamu mau aku buatin gamis?"
"Hah?" Nindya terbangun dari lamunannya.
"Oh...mmm...boleh deh!" Jawab cepat Nindya.
"Tapi kita menikah dulu," ucap Aan.
"Syarat macam apa itu? Kalau itu bayaran jahitanmu sudah berapa cewek yang kamu nikahin?" Nindya berkata dengan ketus.
Aan masih saja tertawa membuat Nindya semakin gemas. Mungkin bagi Aan melihat Nindya yang cemberut seperti melihat boneka labuwbuw.
"Hahaha... Kamu cemburu ya? Tenang aja cuma adek kok yang mas ajak nikah," canda Aan yang tidak lucu.
"Idih idih... Siapa yang cemburu!"
Aan ingin sekali mencubit pipi gembul Nindya yang semakin mengembang saat dia cemberut tapi apa daya belum halal bro!
Ditengah obrolan malu-malunya adik Nindya yang paling kecil berlarian ke arah mereka. Dengan sambaran cepat Nindya menggendong dan meletakkannya di pangkuannya agar adiknya tidak mengambil gunting di meja.
"Adik kamu masih kecil ya?"
"Iya, aku punya 3 adik cowok, yang pertama sudah jadi TNI di Ambon, yang kedua masih kelas 3 SD dan ini adekku yang terakhir masih 4 tahun."
"Wah kebetulan aku anak terakhir dari 4 bersaudara juga. Cocok nih! Kalau orang dulu bilang anak pertama dan anak terakhir itu cocok," ucap Aan bersemangat.
Entah dapat darimana ilmu cocokloginya itu tapi masuk logika juga sih. Kalau anak pertama dapat anak terakhir maka tanggungan ke adiknya cuma salah satu pihak saja dan tidak ada perebutan orang tua yang ingin tinggal bersama.
Yahh walaupun itu tidak berlaku di keluarga mereka berdua sih. Pasalnya Pak Broto tidak pernah membebankan adiknya kepada Nindya dan Ibu Aan selalu membebaskan Aan untuk mandiri.
"Tapi aku punya banyak adik dari pihak Ibu tiri."
Penjelasan dadakan Aan membuat Nindya sedikit terkejut.
"Aku punya 7 adik dari Ibu tiriku. Tenang aja hubungan kami baik kok. Aku hanya tidak menyukai Ibu tiriku saja. Kalau sama adik mah akur-akur aja!"
"Hahaha... Iya," tanggap Nindya bingung.
"Aku punya banyak anggota keluarga. Keluarga dari pihak ibu juga banyak."
Nindya mengomentari dengan asal, "Wah... Pasti sulit ngapalinnya."
"Tenang aja nanti aku bantu ngapalin."
"Oke deh!" Nindya menjawab setengah sadar.
"Berati kamu mau dong nikah sama aku?" Tanya Aan menjebak.
"Iya... Eh!" Nindya tergocek.
"HAHAHA!" Aan tertawa terbahak-bahak karena kemenangannya bermain kata.
Nindya kembali meruncingkan bibirnya. Tangannya ia lipat di depan dada dan matanya beralih ke arah bersebrangan dengan pelaku.
"Hahaha...iya maaf..."
Seketika Nindya melirik ke arah Aan untuk melihat ekspresi yang dikeluarkannya. Betapa terkesannya Nindya melihat lesung pipit yang bertengger di pipinya. Seperti menularkan virus berbahaya, lesung pipitnya membuat Nindya tersenyum juga.
Setelah lama saling memandang, Aan mengalihkan pandangannya seakan kalah dari perlombaan tanpa kedip.
"Kurasa nomormu sudah aman," ucap Aan untuk mengalihkan pembicaraan.
"Hm?? Dia nggak ngehubungin nomerku lagi?"
"Iya, 4 hari lalu dia sempet telpon tapi sudah aku atasin. Kayaknya dia nggak berani lagi deh."
"Makasih ya mas..."
"Iya...aku juga nggak mau ada yang gangguin kamu. Cukup aku aja yang gangguin kamu," ledeknya.
"Idih..." Ucap nindya sambil mengambil kembali kartu sim yang diletakkan Aan di meja depan Nindya.
"Tapi kalian sudah berakhir kan? Bukannya kenapa-kenapa, aku cuma nggak mau dia jadi penghalang di pernikahan kita nanti."
"Aku udah lama putus kok, tapi kamu percaya diri banget kalau kita bakalan nikah?"
"Lah emangnya enggak? Tadi kan kamu udah bilang iya," jebak Aan.
"Lah... Itu kan...itu.."
"Hahaha... Itu apa? Nggak bisa ngelak kan?"
"Ck.."
Aan hanya tertawa geli melihat ekspresi Nindya yang kebingungan mencari pertolongan.
Nindya yang mendadak diam membuat adik bungsunya melarikan diri darinya. Hal itu membuat Ibu Nindya yang dari tadi mengintip tanpa ketahuan itu berlari mengejar adik Nindya.
"Hah!" Nindya heran dengan kelakuan ibunya yang aneh itu.
Setelah menangkap sang adik, ibu Nindya tiba-tiba nimbrung duduk di sebelah Nindya.
"Iya, Ibu saksinya. Kamu tadi udah bilang iya," ujar Ibu.
Nindya menghembuskan nafasnya panjang.
'Ya udah lah, mau lama mikirnya juga jawabanya sudah pasti iya. Aku cuma nggak mau terburu-buru aja,' batinnya.
"Baiklah," jawabnya dengan wajah dibuat sedatar mungkin untuk menyembunyikan kebahagian di hatinya.
Aan tersenyum lebar mendengar jawaban yang sudah ia perkirakan itu.
"Nah... Sekarang nak Aan tahu kan langkah selanjutnya?" Ibu Nindya memancing Aan.
"Besok saya akan bertamu bersama Ibu saya," ucap Aan mantap.
"Iya kita bisa langsung tentukan tanggal bersama calon besan," ujar Ibu tanpa aba-aba.
"Mom!" Nindya mendelik ke arah Ibunya.
"Sampaikan ke calon besan dua minggu lagi tahun duda!"
.
.
.
.