Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30:Ledakan di gudang
Tiba-tiba, sebuah peluru menghantam salah satu drum minyak di sudut gudang.
BOOOMMMMM!
Ledakan besar mengguncang seluruh bangunan. Api menjilat atap yang setengah bolong, asap hitam memenuhi udara.
Anak buah Boris panik sesaat, beberapa mundur untuk menghindari api.
Surya memanfaatkan kekacauan itu. “Sekarang! Kita keluar lewat belakang!” teriaknya pada Raka dan Iman.
Mereka bertiga berlari menembus asap, melompati pecahan kayu dan besi yang berserakan. Boris melihatnya, wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi matanya berkilat marah.
“Kejar mereka. Jangan ada yang lolos!” perintahnya dingin.
Gudang tua itu kini terbakar hebat. Api menyebar cepat karena banyak bahan mudah terbakar di dalamnya.
Surya, Raka, dan Iman berlari sekuat tenaga menuju pintu belakang. Di belakang mereka, suara tembakan terus mengikuti.
Raka yang terluka mulai tertinggal. “Bos… aku nggak kuat…”
Surya menarik lengannya. “Bertahan, Rak! Kita hampir sampai!”
Di luar pintu belakang, terlihat sungai kotor yang mengalir ke arah laut. Ada perahu kecil terikat di sana. Surya langsung mengarahkan mereka ke perahu itu.
“Cepat! Lepaskan talinya!”
Iman melompat ke perahu, melepaskan tali pengikatnya. Surya membantu Raka naik, lalu ia sendiri menyusul terakhir.
Boris muncul di pintu belakang gudang, wajahnya disinari cahaya api di belakangnya. Ia mengarahkan senjatanya, tapi perahu sudah mulai menjauh terdorong arus sungai.
“Kejar mereka lewat dermaga! Jangan biarkan kabur!” teriak Boris kepada anak buahnya.
Perahu kecil yang ditumpangi Surya, Raka, dan Iman meluncur di sungai hitam yang berbau amis. Arus sungai membawa mereka menjauh dari gudang yang kini dilalap api. Suara letupan di belakang masih terdengar, bercampur dengan teriakan anak buah Boris yang mengejar dari darat.
Raka memegangi bahunya yang berdarah, wajahnya pucat.
“Bos… aku nggak yakin kita bisa selamat. Mereka nggak bakal berhenti ngejar.”
Surya memegang kemudi perahu, rahangnya mengeras. “Kita belum mati, Rak. Selama aku bisa bernapas, kita nggak akan berhenti.”
Iman yang duduk di haluan memandang ke belakang. Di kejauhan, lampu-lampu perahu motor milik Boris mulai muncul, melaju cepat di permukaan air yang bergelombang.
“Bos… mereka punya perahu lebih cepat,” suara Iman terdengar putus asa.
Surya memandang lurus ke depan. Matanya berkilat, bukan hanya karena ketakutan, tapi juga amarah yang menyala-nyala. Boris sudah merampas semua yang dia punya—jalur pelabuhan, uang, dan sekarang nyawanya pun diincar.
DORRRR! DORRRRR!
Peluru dari perahu Boris mulai menghantam air di sekitar mereka. Percikan air menyembur ke segala arah.
“Bos! Mereka makin dekat!” teriak Iman sambil menunduk menghindari peluru.
Surya menggertakkan gigi. Ia mengangkat pistolnya, menembak balik ke arah lampu perahu Boris.
DORRRR!
Salah satu lampu pecah, membuat perahu pengejar sempat goyah karena gelap. Tapi jumlah mereka terlalu banyak.
Boris sendiri berdiri di perahu depan, tubuhnya tegak, wajahnya dingin seperti patung di bawah cahaya bulan. Ia tidak menembak, hanya memberi perintah singkat kepada anak buahnya.
“Dekati mereka. Jangan kasih kesempatan kabur.”
Arus sungai membawa perahu Surya ke jalur yang makin sempit. Di kanan-kiri hanya ada hutan bakau gelap dan akar-akar besar yang menjuntai ke air.
“Bos, kalau kita terus ke sini, bisa-bisa perahu kita nyangkut,” kata Raka dengan suara lemah.
Surya melihat ke sekeliling. Memang benar, jalurnya makin sulit dilewati. Tapi kalau balik arah, mereka pasti langsung disergap Boris.
“Kita terus aja. Di ujung sungai ini ada jalur ke laut. Kalau kita bisa sampai ke sana, mereka bakal susah ngejar,” ujar Surya mantap.
Iman menatap Surya. “Bos yakin? Laut itu terbuka, mereka bisa ngepung kita dari segala arah.”
“Kalau di sini, kita mati di tangan Boris. Di laut, setidaknya ada peluang kabur,” jawab Surya cepat.
Tiba-tiba suara tembakan dari perahu Boris terdengar lagi. Peluru menghantam tangki bensin perahu kecil milik salah satu anak buah Surya yang mengikuti dari belakang.
BOOOMMMM!
Ledakan besar membuat api menjilat permukaan air. Satu perahu terbakar habis, dua orang tercebur ke sungai sambil berteriak-teriak.
Surya menoleh sekilas, rahangnya mengeras. Boris benar-benar ingin menghabisi mereka malam itu juga.
“Cepat! Tambah kecepatannya!” teriak Surya ke Iman yang membantu mengayuh mesin perahu.
Perahu mereka meluncur makin kencang, memecah air sungai yang gelap.
Setelah beberapa menit melaju gila-gilaan, suara ombak mulai terdengar di kejauhan. Bau asin laut menyambut mereka.
“Bos… kita hampir sampai ke laut,” kata Iman dengan napas terengah.
Surya melihat ke depan. Bulan purnama menggantung di langit, memantulkan cahaya perak di permukaan laut yang berombak pelan.
Tapi Boris masih mengejar. Perahu motornya lebih cepat, dan jumlah anak buahnya dua kali lipat dari mereka.
“Begitu kita sampai ke laut, kita pisah jalur,” kata Surya cepat. “Biar mereka bingung ngejar yang mana.”
Raka menatap Surya dengan cemas. “Kalau kita pisah, bos? Kita bisa ketemu lagi?”
Surya menatapnya sekilas. “Kalau masih hidup… kita bakal ketemu lagi, Rak.”
Begitu perahu mereka keluar dari muara sungai ke laut lepas, angin malam langsung bertiup kencang. Ombak bergulung, memantulkan cahaya bulan yang pucat.
Boris memerintahkan anak buahnya menyebar. Empat perahu mengurung Surya dari berbagai arah.
“Bos… kita dikepung!” teriak Iman panik.
Surya menggertakkan gigi. “Kita tembus yang di kiri. Siap-siap tembak kalau mereka mendekat!”
Perahu Boris mendekat dari belakang, senjata otomatis siap menghujani peluru. Tapi sebelum mereka sempat menembak, Surya lebih dulu melepaskan tembakan ke perahu kiri.
DORRRRR! DORRRRR!
Peluru menghantam mesin perahu musuh.
BOOOMMMM!
Perahu itu meledak hebat, dua orang terlempar ke laut. Celah terbuka di sisi kiri, Surya langsung memacu perahunya menembus keluar dari kepungan.
“Cepat! Sebelum mereka nutup lagi!” teriak Surya.
Di kejauhan, Boris melihat perahu Surya mulai menjauh. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapan matanya dingin dan penuh amarah.
“Kejar mereka. Kalau perlu sampai ke tengah laut. Jangan ada yang pulang sebelum Surya mati,” perintahnya datar.
Anak buahnya segera memacu perahu-perahu lain menyusul Surya ke laut lepas.
Di perahu kecilnya, Surya memandang ke depan. Ombak makin besar, angin makin kencang. Tapi ia tak peduli. Malam itu, hanya ada dua pilihan—kabur atau mati di tangan Boris.
Ombak laut lepas bergulung besar, diterpa angin malam yang semakin kencang. Perahu-perahu kecil milik Surya dan Boris terombang-ambing di antara gelombang. Di kejauhan, samar-samar terlihat cahaya mercusuar yang berputar pelan, seperti mata raksasa yang menyaksikan pertempuran berdarah di bawahnya.
Surya memegang erat kemudi perahunya, wajahnya tegang tapi matanya menyala penuh tekad. Di belakangnya, Raka yang masih terluka dan Iman dengan senjata di tangan duduk waspada, keduanya tahu pertempuran belum selesai.
Dari belakang, suara mesin perahu-perahu Boris mendekat. Lampu-lampu sorot menyilaukan berpendar di permukaan ombak.
“Bos… mereka tidak menyerah. Boris akan kejar kita sampai mati,” ujar Iman dengan suara parau, berusaha menahan rasa takut.
Surya tidak menoleh. “Biarkan dia datang. Malam ini harus ada yang berakhir. Entah dia… atau aku.”