Zian Ali Faradis
Putih dan hitamnya seperti senja yang tahu caranya indah tanpa berlebihan. Kendati Ia hanya duduk diam, tapi pesonanya berjalan jauh.
Azaira Mahrin
kalau kamu lelah, biarkan aku jadi jedanya.
🥀🥀🥀🥀🥀🥀
Ketika lima macam Love Language kamu tertuju pada satu orang, sedangkan sudah ada satu nama lain yang ditetapkan, maka pada yang mana kamu akan menentukan pilihan.
Dira: pilih saja yang diinginkan.
Yumna: pilih yang sesuai dengan hati.
Aira; gak usah memilih, karena sudah ada
Yang memilihkan.
Kita mungkin bisa memilih untuk menikah dengan siapa. Tapi, kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa.
Ada yang menganggap cinta pilar yang penting dalam pernikahan. Tapi, ada pula yang memutuskan bahwa untuk memilih pasangan, cinta bukan satu-satunya alasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Sudah lewat lima puluh menit dari waktu terakhir Zian mengirimkan chat.
Setengah jam lagi, gue nyampek kak.
Artinya sudah dua puluh menit berlalu dari waktu yang dijanjikan oleh lelaki itu.
Toleransi waktu yang cukup menurut Aira untuk menghubungi Zian, dan menanyakan kesanggupannya untuk mengantar seperti yang dijanjikan.
Jika memang Zian sedang sibuk, Aira sangat memahami, dan ia bisa pergi sendiri. Meskipun saat ini sudah masuk jam pulang kantor. Tapi, gadis itu paham, jika mungkin saja ada hal-hal yang di luar prediksi.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang, Zian tak bisa dihubungi. Sudah tiga kali Aira menelepon lelaki tampan itu, tapi yang memberi jawaban hanya suara operator, yang mengatakan kalau nomor yang dituju sedang berada di luar jangkauan.
Ada di mana Zian sekarang? Mungkinkah para selir sudah menculiknya, dan dibawa ke planet lain?
Kemungkinan yang tak mungkin.
"Kak belum berangkat?" Yumna datang, dan ia heran melihat Aira yang duduk di teras seorang diri.
"Kamu sudah datang, Yum?" Aira balik tanya, sambil melihat penunjuk waktu di layar ponselnya.
"Iya, kak. Sedikit terlambat. Masih ada pekerjaan tambahan. Kupikir kak Aira sudah berangkat ke Darul-Fata?"
"Nunggu Zian."
"Lho? Ada lewat setengah jam lalu aku liat dia keluar kantor. Aku pikir mau jemput kak Aira."
"Seharusnya memang dia sudah tiba di sini setengah jam lalu. Ini, sudah hampir satu jam." Aira menghela napas samar. Rasa gelisah mulai menyerang, dan makin lama, makin besar.
"Sudah ditelepon, Kak?"
"Gak bisa dihubungi."
Yumna juga merasa sangat aneh di hati. Seperti ini bukan kebiasaan Zian sekali.
Namun, ia coba berpikir positif.
"Ditunggu aja sebentar lagi, Kak. Zian orangnya sportif, kalau memang gak bisa dia pasti ngasih tau ke, Kak Aira."
Aira mengangguk. Yang dikatakan oleh Yumna itu, sangat ia setujui.
"Aku masuk dulu, ya kak. Mau mandi, gerah."
"Iya," jawab Aira singkat.
Hampir sepuluh menit gadis itu melewatkan waktunya dengan tetap menunggu di teras. Hingga tiba di titik 17:00 Aira bangkit, dan melangkah pelan menuju jalan depan. Ia putuskan untuk pergi sendiri, karena seharusnya saat ini, Aira sudah tiba di lokasi.
Meskipun begitu ia tetap berusaha untuk menelepon Zian, sekedar memberitahukan. Tapi, lagi dan lagi hanya suara operator itu yang memberi jawaban.
Saat Aira tengah berdiri di tepi jalan, menunggu angkutan umum lewat, seseorang tiba-tiba menghampiri.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Prima?"
"Iya." Lelaki itu tersenyum. Lelaki yang tak pernah ada dalam agenda Aira akan ia temui hari ini. "Mau pergi? Saya antar." Ia langsung menawarkan diri tanpa basa-basi.
"Ee saya--" Aira masih mencari alasan untuk menolak.
"Nunggu diantar Zian?" Prima langsung menebak apa yang dipikirkan Aira.
"Ee." Aira sesaat menatap heran.
"Zian mungkin tidak akan datang menjemput kamu, Aira." Mengabaikan tatapan Aira yang menyiratkan kecurigaan, Prima langsung berkata demikian.
"Dari mana kamu tau?" Kini tak hanya tatapan Aira, pertanyaannya pun mengisyaratkan rasa curiga.
"Ada setengah jam lalu, saya gak sengaja ketemu Zian di jalan. Dia sedang mengalami sebuah insiden kecil."
"Insiden apa?" tanya Aira cepat.
"Biar dia yang ngasih tau kamu nanti. Saya gak berhak." Prima berkata pasti, dari ucapannya, dan raut wajahnya tak terlihat kebohongan sama sekali. Mungkin ia memang tak sedang mengarang cerita. "Tapi mungkin untuk saat ini, Zian belum bisa dihubungi karena insiden itu," tambahnya kemudian.
"Di jalan mana kamu ketemu Zian?"
"Di jalan yang gak sebegitu jauh dari arah jalan yang ke kantor Tanujaya Corp. Saya tadi juga baru dari Tanujaya corp." Kali ini Prima memberikan jawaban seraya mengulas senyum.
"Ada apa kamu ke kantor Tanujaya, ada urusan apa?" cecar Aira.
"Harus ya, saya diinterogasi kayak gitu?"
Aira hanya menghela napas, lalu membanting pandangan ke ujung jalan, berharap Zian datang, dan apa yang disampaikan oleh Prima barusan hanyalah bualan.
"Baik saya jelaskan. Saya ada bikin usaha sama teman-teman. Dan dalam usaha yang kami lakukan itu, kami mengajukan kerja sama dengan Tanujaya Corp. Apa penjelasan saya ini memuaskan?"
"Terima kasih infonya, Prima. Saya mau jalan dulu."
"Saya antar kamu, Aira. Jam segini sudah tidak ada angkot yang lewat. Kamu mau ke Darul-Fata kan?"
Aira sudah mengambil langkah. Namun, pertanyaan Prima itu membuat langkahnya mendadak berhenti.
"Dari mana kamu tau?"
"Sayaaa--" Sesaat Prima gugup, mungkin sambil berpikir untuk mencari alasan.
"Saya dengar Darul Fata sekarang sedang mengadakan acara peringatan maulid nabi. Jadi saya pikir kamu akan ke sana. Karena kamu salah satu pengajar di Darul-Fata."
"Kamu juga tau kalau saya mengajar di Darul-Fata?" Aira menurunkan suaranya. Bukan merasa heran lagi dengan banyak hal yang diketahui oleh Prima. Tapi, juga merasa curiga.
"Saya tau kamu mengajar di sana, karena saya ada beberapa kali menyumbang di Darul-Fata, meski tidak menjadi donatur tetap seperti Zian."
"Wahh ajaib sekali. Kamu ternyata tau banyak hal." Ucapan Aira itu terdengar seperti pujian. Namun, tak selaras dengan tatapannya pada Prima yang kian menyiratkan kecurigaan.
"Saya antarkan kamu." Lagi-lagi Prima mengabaikan reaksi Aira.
"Mobil saya ada di sana!" Prima menunjuk mobilnya yang memang menempati posisi tak jauh dari mereka berdiri saat ini.
"Atau saya panggilkan grab car seperti dua hari lalu?" Melihat keengganan Aira, Prima menawarkan opsi lain.
"Tapi saya akan tetap mengikuti perjalanan kamu, demi keamanan," ucap lelaki itu lagi.
******