"Namamu akan ada di setiap doaku,"
"Cinta kadang menyakitkan, namun cinta karena Allah tidak akan pernah mengecewakan"
Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Malam turun dengan kelam yang menyesakkan. Hujan rintik yang sejak sore mengguyur pondok masih belum reda, meninggalkan hawa dingin yang menusuk tulang. Di kamar kecilnya, Dilara terbaring pucat. Nafasnya pendek-pendek, keningnya basah oleh keringat dingin, sementara di sampingnya, Salsa setia duduk sambil mengipas pelan dengan selembar kertas.
Dewi dan Mita baru saja kembali dari dapur, membawa semangkuk bubur dan segelas air hangat. Namun, saat melihat wajah Dilara yang semakin pucat, hati mereka mencelos.
“Ya Allah, Salsa… wajah Lara tambah pucat. Kok kayak gini, ya?” bisik Mita panik.
Salsa menggeleng dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga takut, Mit. Dari tadi badannya panas banget, terus dia sering mual. Aku sudah kasih obat dari dokter, tapi kok nggak ada perubahan.”
Dilara membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, namun suara yang keluar hanya serak pelan.
“Salsa… jangan khawatirkan aku. Aku… aku baik-baik saja,” ujarnya lemah, berusaha tersenyum.
“Baik-baik saja apanya, Lara? Kamu sakit parah begini!” seru Dewi, nyaris menangis. “Kalau nggak kuat, kita bawa ke rumah sakit aja, jangan cuma dokter pondok.”
“Betul, Dewi. Aku juga kepikiran begitu,” timpal Mita.
Namun, ucapan mereka terhenti saat suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Salsa bangkit membuka, dan mendapati seorang santri putra berdiri sambil menunduk hormat.
“Assalamu’alaikum, Ustadzah Aminah titip pesan… kalau kondisi Dilara tambah parah, nanti malam akan dipanggilkan dokter dari kota,” ucapnya.
Salsa mengangguk. “Wa’alaikumsalam. Iya, terima kasih.”
Santri itu berlalu, meninggalkan mereka bertiga kembali diliputi kecemasan.
Menjelang tengah malam, kondisi Dilara semakin mengkhawatirkan. Suhu tubuhnya naik, keringat bercucuran, dan ia beberapa kali muntah. Salsa, Dewi, dan Mita bergantian menjaganya.
“Ya Allah… semoga ini bukan penyakit berat,” bisik Salsa lirih, menahan tangisnya.
Dilara, meski lemah, sempat menggenggam tangan Salsa. “Salsa… kalau aku nggak kuat, tolong… jangan salahkan siapa-siapa. Semua ini sudah takdir…”
Salsa langsung menutup mulut Dilara dengan telapak tangannya. “Jangan ngomong kayak gitu! Kamu pasti sembuh, Lara! Kamu harus sembuh!”
Air mata Salsa jatuh mengenai tangan sahabatnya. Dilara hanya tersenyum tipis, sebelum akhirnya kembali memejamkan mata.
Sementara itu, di ndalem, Gus Zizan tak bisa memejamkan mata. Kata-kata keras Abi-nya siang tadi masih terngiang-ngiang di telinganya,
"Kamu harus melupakan Dilara! Dia bukan siapa-siapa!"
Namun, hatinya justru semakin tak tenang. Ia tahu, Dilara sedang sakit parah. Dari kabar yang beredar, kondisi Dilara tak kunjung membaik.
Gus Zizan duduk di ruang kerjanya, kitab di meja hanya terbuka tanpa pernah tersentuh. Tangannya menggenggam tasbih, namun pikirannya melayang pada wajah Dilara yang pucat.
“Ya Allah… kenapa hati ini begini? Kenapa setiap kali mendengar namanya, dada ini serasa terhimpit?” gumamnya, hampir tak terdengar.
Rasa khawatirnya memuncak ketika menjelang dini hari, seorang santri putra berlari tergopoh ke ndalem.
“Gus… maaf mengganggu. Katanya, Dilara makin parah. Ustadzah Aminah sudah memanggil dokter dari kota.”
Wajah Gus Zizan langsung berubah pucat. Ia bangkit berdiri, hendak bergegas pergi, namun langkahnya tertahan. Ia tahu, jika ketahuan Abi, ia akan dimarahi lagi.
Namun, hatinya menolak diam. Ia tidak peduli lagi. Dengan jubah yang masih menempel di tubuh, ia keluar menembus hujan deras menuju asrama putri.
Di kamar asrama, dokter dari kota baru saja selesai memeriksa Dilara. Wajahnya serius, sementara Ustadzah Aminah berdiri di sampingnya dengan wajah khawatir.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ustadzah Aminah.
Dokter itu menghela nafas panjang. “Tekanan darahnya sangat rendah, suhu tubuh tinggi, dan ia tampak kekurangan nutrisi. Saya khawatir ini bukan sekadar kecapekan. Bisa jadi ada penyakit lain yang lebih serius. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan.”
Salsa langsung panik. “Ya Allah… serius, Dok? Jangan-jangan… ini bahaya?”
Dokter itu hanya mengangguk berat.
Saat suasana makin tegang, pintu kamar terbuka. Semua orang menoleh, dan betapa terkejutnya mereka melihat sosok Gus Zizan berdiri di ambang pintu, wajahnya basah kuyup oleh hujan.
“Dilara… bagaimana keadaannya?” suara Gus Zizan bergetar.
Semua orang terdiam. Ustadzah Aminah hendak menegur, namun melihat wajah Gus Zizan yang begitu cemas, ia mengurungkan niat.
Gus Zizan melangkah mendekat, duduk di samping ranjang Dilara. Ia menatap wajah pucat santri yang diam-diam telah mencuri hatinya.
“Dilara…” bisiknya lirih.
Mata Dilara terbuka perlahan. Ia terkejut melihat Gus Zizan di sisinya. Air mata langsung menetes di sudut matanya.
“Gus… kenapa… Anda di sini?” suaranya pelan, hampir tak terdengar.
“Aku tidak bisa diam, Lara. Aku tidak bisa berpura-pura tenang sementara kamu seperti ini,” jawab Gus Zizan, matanya berkaca-kaca.
Dilara ingin berkata sesuatu, namun batuk keras membuat tubuhnya terguncang. Gus Zizan refleks meraih tangan Dilara, menggenggamnya erat.
“Bertahanlah, Lara… demi Allah, bertahanlah,” ucapnya dengan suara parau.
Sayangnya, momen itu tidak berlangsung lama. Dari balik pintu, suara berat dan tegas terdengar.
“Zizan! Apa yang kamu lakukan di sini lagi?!”
Kyai Zainal berdiri dengan wajah murka. Hujan yang membasahi sorbannya membuat sosoknya semakin menyeramkan.
Semua orang terdiam, termasuk Ustadzah Aminah yang menunduk dalam-dalam. Salsa, Dewi, dan Mita panik, tak berani bicara sepatah kata pun.
Gus Zizan bangkit berdiri, namun ia tetap menggenggam tangan Dilara. “Abi… tolong dengarkan saya. Dilara sakit parah, Dokter bilang harus segera dibawa ke rumah sakit. Biarkan saya ikut mengurus—”
“Cukup!” potong Kyai Zainal, suaranya bergemuruh. “Kamu sudah keterlaluan, Zizan! Berulang kali Abi peringatkan, tapi kamu masih saja mendekati santri itu! Bahkan” Kyai Zainal menatap genggaman tangan anaknya. "Memalukan!!" Desis Kyai Zainal.
“Abi…” Zizan menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Saya tidak peduli dengan aturan atau nama baik. Saya hanya peduli dia selamat! Apa Abi rela melihat santri kita meninggal hanya karena gengsi?”
Semua orang tercekat. Kata-kata itu bagai petir di dalam ruangan.
Wajah Kyai Zainal menegang. Ia ingin marah, tapi kilatan mata anaknya penuh dengan rasa sakit yang jujur.
Dilara yang mendengar perdebatan itu hanya bisa menangis. Tubuhnya terlalu lemah untuk menengahi, tapi hatinya remuk melihat Gus Zizan berani melawan ayahnya demi dirinya.
Akhirnya, dengan suara berat, Kyai Zainal memutuskan. “Baik. Kita bawa dia ke rumah sakit. Tapi kamu, Zizan, tidak usah ikut. Abi yang akan mengurus semua.”
Namun Gus Zizan menggeleng tegas. “Tidak, Bi. Saya akan ikut. Saya tidak akan meninggalkan Dilara.”
Sebuah keheningan panjang menyelimuti ruangan.
Dokter, yang sejak tadi terdiam, akhirnya angkat bicara. “Maaf, Kyai. Saya rasa memang sebaiknya Gus Zizan ikut. Pasien ini membutuhkan dukungan moral. Tadi saja, saat Gus hadir, tekanan darahnya sempat sedikit naik. Itu tanda penting.”
Kyai Zainal terdiam. Wajahnya merah padam, tapi ia tidak bisa membantah penjelasan medis.
“Baik,” katanya akhirnya, dengan nada menahan amarah. “Tapi ingat, Zizan. Jangan sekali-kali kamu melupakan siapa dirimu.”
Perjalanan menuju rumah sakit ditempuh dengan mobil pondok. Dilara terbaring lemah di kursi belakang, didampingi Salsa dan dokter. Gus Zizan duduk di sisi lain, tak lepas menggenggam dzikir.
Sepanjang jalan, Gus Zizan berbisik lirih, “Bertahanlah, Lara. Demi Allah, kamu harus kuat.”
Dilara membuka mata sebentar, menatapnya dengan senyum samar. “Kalau aku sembuh… aku janji, aku akan menjauh… agar Gus tidak dimarahi lagi.”
Gus Zizan tercekat, hatinya bagai ditusuk. “Jangan bilang begitu. Aku tidak peduli apa kata orang. Aku hanya… aku hanya tidak sanggup kalau kehilanganmu.”
Air mata Dilara jatuh lagi. Ia ingin menjawab, tapi tubuhnya terlalu lemah.
Sesampainya di rumah sakit, Dilara langsung dibawa ke ruang IGD. Tim medis segera menangani, memasang infus, oksigen, dan melakukan berbagai pemeriksaan.
Gus Zizan menunggu di luar dengan hati gelisah. Salsa duduk di sampingnya, juga menangis.
“Gus… kalau sampai sesuatu terjadi pada Lara, aku nggak tahu harus bagaimana,” ucap Salsa tersedu.
Gus Zizan menghela nafasnya. “Insya Allah, tidak. Allah tidak akan sekejam itu pada kita.”
Namun, hatinya sendiri penuh ketakutan.
Beberapa jam kemudian, dokter keluar dengan wajah serius.
“Kondisinya kritis. Kami curiga ada penyakit bawaan yang selama ini tidak terdeteksi. Kami akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Mohon keluarga menyiapkan mental.”
Gus Zizan berdiri terhuyung. Dunia seakan runtuh menimpa kepalanya.
“Dok… berapapun biayanya, apapun risikonya, tolong… selamatkan dia,” suaranya pecah.
Malam itu, di mushola rumah sakit, Gus Zizan bersujud lama. Air matanya jatuh membasahi sajadah.
“Ya Allah… kalau Engkau ingin mengambil nyawaku, ambillah. Tapi jangan ambil dia. Selamatkan dia, ya Rabb… jangan biarkan aku hidup dengan penyesalan karena tak bisa menjaganya.”
Suaranya pecah di tengah doa panjang itu.
Di ruang perawatan, Dilara terbaring dengan selang infus menempel di lengannya. Dalam tidurnya yang gelisah, ia bermimpi melihat Gus Zizan menangis, memanggil namanya.
Air mata jatuh dari sudut matanya, seolah jiwanya masih mendengar panggilan itu.