Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAGI YANG MEMBAWA PERHITUNGAN
Langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis ketika Maya menjejakkan kaki di depan gedung kantor Adrian Lesmana. Lobi marmernya terasa dingin di bawah sepatu, seakan ikut menarik sisa kehangatan dari tubuhnya yang semalam hampir tidak tidur.
Ia mengenakan blus putih sederhana dan rok hitam, rambutnya diikat rapi. Bedak tipis menutupi kantung mata, tapi tidak bisa menyembunyikan kelelahan yang menempel di wajahnya. Resepsionis mengangkat wajah dari komputer.
“Silakan duduk, Pak Adrian akan memanggil Anda sebentar lagi.”
Maya duduk di sofa hitam yang empuk, menatap lantai marmer yang licin. Ia mencoba mengatur napas, tapi pikirannya masih memutar kejadian kemarin. Reza. Perempuan itu. Kata “menikah” yang menusuk seperti pisau berulang kali.
Tak lama, pintu kaca buram di ujung ruangan terbuka. Adrian keluar, setelan jas abu gelapnya terlihat rapi tanpa cela.
“Maya. Masuk,” suaranya singkat, tapi dalam.
Ia mengikutinya masuk ke ruangan kerja yang luas. Meja kayu besar dengan tumpukan berkas tertata rapi. Rak buku memenuhi dinding, sebagian besar jilid hukum dan literatur kasus. Cahaya pagi menyinari sebagian ruangan lewat jendela besar di belakangnya.
“Duduk.” Adrian mengisyaratkan kursi di depannya.
Begitu Maya duduk, Adrian langsung membuka map hitam di depannya.
“Kita akan gunakan fakta bahwa kamu dan Reza secara hukum masih menikah. Pernikahan keduanya cacat hukum. Itu akan menghancurkan kredibilitasnya.”
Maya mengangguk. “Tapi mereka akan mainkan simpati. Istrinya itu nggak bisa punya anak. Dia bilang Nayla bisa jadi anak mereka.”
“Kita tidak bermain di ranah simpati, Maya,” jawab Adrian tajam. “Kita bermain di ranah hukum. Narasi mereka tidak akan bertahan lama kalau kita potong fondasinya.”
Adrian memaparkan strateginya panjang lebar. Tentang saksi-saksi yang akan dipanggil, dokumen yang harus dikumpulkan, dan kemungkinan taktik kotor dari pihak lawan. Setiap kali Maya mencoba menyela dengan kekhawatiran, Adrian mengembalikan fokusnya ke rencana.
Namun di tengah pembicaraan, Maya merasakan matanya panas. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan air mata.
“Semalam aku buka kotak kenangan,” katanya pelan. “Foto pernikahan. Foto Nayla waktu bayi. Rasanya… kayak ditusuk dari semua arah.”
Adrian menatapnya lama. Tatapannya tidak sekadar pengacara yang menilai klien, tapi seperti seseorang yang sedang menimbang apa ia boleh menunjukkan sisi lain dirinya.
“Kamu harus biarkan itu jadi bahan bakar, bukan beban,” katanya, suaranya lebih rendah.
Maya menunduk. “Aku takut, Adrian. Takut mereka menang. Takut… kehilangan dia.”
Adrian berdiri, berjalan memutari meja, lalu berhenti di sampingnya. Ia bersandar ringan di tepi meja, tubuhnya hanya sejengkal dari Maya.
“Kamu nggak akan kehilangan dia. Bukan selama aku yang memegang kendali,” katanya pelan, tapi tegas.
Maya mendongak, dan mata mereka bertemu. Ada ketegangan di sana—campuran antara rasa aman dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum berani mereka sebut.
Adrian mengulurkan tangannya, menyentuh ringan punggung tangan Maya di atas meja. Sentuhan itu singkat, tapi hangatnya mengalir cepat ke seluruh tubuh Maya.
“Mulai sekarang, apapun yang terjadi… kamu nggak sendirian,” katanya.
Maya menahan napas, membiarkan sentuhan itu bertahan beberapa detik sebelum Adrian perlahan menarik tangannya kembali.
“Sekarang, fokus. Kita punya perang yang harus dimenangkan.”
Ia lalu menyerahkan selembar kertas padanya. “Ini daftar saksi. Hubungi semua yang mungkin membantu. Termasuk Bu Ina. Aku mau laporan sore ini.”
Maya menerima kertas itu. “Oke.”
Saat ia berdiri untuk pergi, Adrian membuka pintu untuknya. Gerakan kecil itu sederhana, tapi tatapannya yang tetap mengikutinya hingga keluar ruangan meninggalkan rasa yang sulit diabaikan.
Maya melangkah keluar dengan napas yang sedikit lebih stabil—dan dada yang berdenyut aneh, bukan hanya karena strategi yang mereka susun, tapi juga karena sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka.
kamu harus jujur maya sama adrian.